A Piece of Each Other

raine.
5 min readJun 24, 2023

--

Stefan & Ghaffar; 2019

“Abang, kalo pulangnya telat ngga usah bawa kunci!” teriak Ghaffar dari dalam kamarnya, “Nanti gue aja yang bukain pintu.”

“Ribet, Ghaf. Mending gue bawa kunci aja dah.”

“Itu di belakang pintu ada stik golf, mau gue pukul pake itu lo?” ancam Ghaffar pada kakaknya dengan suara yang nyaring, “Ngga ada, pokoknya biar gue yang bukain pintu. Ngga usah bawa kunci!”

Adik kecilnya itu ternyata sudah dewasa. Stefan tak pernah habis pikir entah sejak kapan lelaki pendiam itu tumbuh menjadi pria dewasa yang kini sering memarahinya. Hal kecil yang sebenarnya sepele pun bisa membuat Ghaffar mengomelinya tanpa henti. Seperti beberapa hari yang lalu saat Stefan salah memberi makan anjing-anjingnya, yang seharusnya diberi makanan basah, malah ia beri makanan kering, Ghaffar mengomelinya sepanjang hari sambil berdecak pinggang karena ia sudah berkali-kali mengingatkan Stefan agar tak tertukar saat memberi makan. Stefan hanya bisa terkekeh geli dengan tingkah lucu adiknya yang sudah berusia dua puluh tiga tahun namun tetap seperti anak kecil yang akan selalu mengernyitkan dahi tiap saat ia berbuat salah. Ghaffar itu lucu, amat sangat lucu di matanya. Di balik tubuh besarnya, lelaki tampan itu tetap anak kecil yang akan selalu ia sayangi sepenuh hati, seumur hidupnya.

Entah sejak kapan anak kecil yang telah tumbuh dewasa itu tiba di depan kamarnya, dengan wajah serius memandangi Stefan yang tengah merapikan tasnya sesaat sebelum ia berangkat ke studio untuk melanjutkan project-nya.

“Gue males ya, lo kalo bawa kunci sering ngga pulang. Mentang-mentang kerjaan lagi packed, istirahat tuh jangan pernah dikesampingin. Lo tuh kecil, Bang. Ditiup angin juga lo bisa oleng saking ringkihnya. Sok-sokan mau forsir badannya kerja terus sampe ngga pulang. Udah berhari-hari kaya gini. I bet you haven’t eat properly there, right? Makan junk-foods kan? Tidurnya juga ngga bener kan? Di studio lo tuh ngga ada tempat tidur yang proper. Yang ada balik ke rumah sakit pinggang mulu.”

Stefan tergelak mendengar ocehan sang adik yang nyaris tanpa jeda. Gelengan kepala hingga suara tawa kecilnya itu sukses membuat Ghaffar mendengus sebal sebab sang kakak selalu menganggapnya anak kecil yang tak tumbuh dewasa, yang hanya bisa mengomeli pola hidup tak sehat kakaknya.

“I’m being super serious right now, Abang.”

Intonasi itu. Stefan paham bahwa memang adiknya tak sedang bercanda.

“Iya, iya, bawel. Ini gue ga bawa kunci. Awas aja kalo gue nyampe pintu ga lo bukain ya.”

“Telfon! Kalo gue lama bukain pintunya lo telfon. Awas aja lo tiba-tiba pergi balik ke studio terus tidur di sana, beneran gue bakar studio lo.” ancam Ghaffar padanya dengan intonasi serius.

“Lo galak banget asli, Dek. Takut gue!” Stefan kembali tertawa di tempatnya, menatap Ghaffar yang masih mendengus kesal, “Iya gue pulang, Ghaf. Tenang aja lo, okay? Beneran pulang gue, sampe lo bukain pintu pokoknya.”

“Good.” ucap Ghaffar singkat sambil menganggukkan kepalanya pelan, “Tolong paham kalo gue khawatir, bukannya sengaja galak, marah-marah ngga jelas.”

Stefan lalu menghentikan aktivitasnya, menolehkan wajahnya pada Ghaffar yang kini tengah menatapnya tanpa ekspresi. Hatinya mulai tak karuan ketika menyadari bahwa Ghaffar tak main-main dengannya. Stefan tahu betapa adiknya itu teramat menyayanginya terlebih saat kini mereka hanya hidup berdua.

Senyuman tipis di wajahnya itu dapat dilihat oleh Ghaffar sekilas, sebelum yang lebih muda mengalihkan pandangannya.

Sorry… Gue tau lo khawatir, tapi gue terlalu ambis sama kerjaan gue sampe lupa kalo ada orang yang nungguin gue pulang…” Stefan lalu membalikkan badannya lalu berjalan mendekat kepada sang adik, “Maafin gue ya, Dek?”

“Gue cuma ngga mau lo sakit lagi, Bang…” ucap Ghaffar lirih, terdengar jelas bahwa ia khawatir, “I can’t keep my close distance to you for 24 hours, Bang. I can’t be present to take care of you a whole day. But please, take a good care of yourself when I’m away. Gue tau gue ngga sesibuk lo, gue tau kerjaan lo ngga ada batas waktunya, gue tau gimana ambisnya lo terhadap target-target juga mimpi yang mau lo wujudin. Tapi tolong jaga diri, Bang. Terakhir kali lo kayak gini, lo masuk ICU. Lo ngga tau gimana sakitnya gue waktu itu. Maaf gue rese, maaf kalo gue bukan adek yang pengertian buat lo. Gue beneran ngga sanggup kalo harus liat lo sakit lagi…”

Rasa sesal seketika memenuhi hati Stefan sebab ia lagi-lagi membuat tubuh Ghaffar gemetaran sebab rasa sedih yang ia tahan. Adiknya itu nyaris tak pernah menampakkan sedihnya. Ghaffar selalu memilih diam sebagai solusi dari semua masalah yang menderunya. Ghaffar memilih untuk menyendiri di kamarnya, memetikkan gitar yang selalu ia peluk kala rindunya kepada sang adik terlalu besar sebab gitar itu yang menjadi saksi bisu atas luka permanen yang bersarang di hatinya.

Untuk semua kesedihan yang Ghaffar tanggung seorang diri, Stefan merasa bersalah. Ia ribuan kali mengutuk diri sebab tak dapat melindungi dua belahan jiwanya, satu pergi ke tempat yang paling indah, sementara yang masih bersamanya tak ia jaga.

“Ghaf…”

Tubuh kurus itu kemudian mendekat, telapak tangannya ia bawa untuk menangkup satu sisi wajah Ghaffar, mengusapnya pelan penuh rasa sayang. Ghaffar tahu Stefan menyayanginya teramat sangat.

Sorry, beneran ngga maksud buat kaya gini. Ngga maksud buat maksain diri, gue juga ngga mau sakit, gue udah cukup bikin lo khawatir.” ucap Stefan lembut pada adiknya yang masih terdiam, “Maafin Abang ya, Dek?”

“No matter how hard, how bad it was, please, just come home… Pulang, istirahat di rumah, di rumah lo masih ada gue yang nungguin lo pulang, setiap hari. Cuma itu yang gue mau, so please, turutin mau gue yang satu ini…” pinta Ghaffar dengan suaranya yang bergetar, “I only have you in my life…”

Stefan tak lagi sanggup bersuara. Air matanya turun ke wajahnya yang terlihat pucat. Kedua tangannya ia bawa ke belakang tubuh adiknya, menarik tubuh besar Ghaffar untuk masuk ke dalam rengkuhannya. Rasa bersalahnya membesar, hatinya ikut sakit melihat bagaimana Ghaffar menyuarakan isi hatinya yang nyaris tak pernah ia dengar seumur hidupnya.

“Sorry… I’m so sorry…” bisik Stefan sembari menahan isaknya sendiri, merengkuh erat tubuh Ghaffar yang kini juga membalas pelukannya, “Sorry for being selfish and reckless for numerous times, Ghaf. Maafin gue yang ngga pernah mikir sejauh itu. Maaf karena gue kurang peduli sama diri sendiri. Maaf kalo gue ngga peka sebagai saudara. Maafin gue, maafin Abang, Ghaf…”

“Jangan sakit lagi…”

“Ngga, ngga bakal sakit lagi…” janji Stefan pada adiknya, “I promise you that I’ll never get sick again.”

“Pulang.”

“Iya, pulang kok. Pasti pulang, mulai hari ini I’ll keep this in my mind, that my little one is waiting for me in our house, hm?

“I’m not little.” protes Ghaffar pelan yang membuat sang kakak terkekeh geli, “I can throw your tiny body to the pool right now.”

“Memangnya berani?” tantang Stefan pada adiknya.

“Ngga lah, nanti kualat.” jawab Ghaffar singkat, “Tapi kalo ingkar janji sih gue ngga peduli kalo bakal kualat.”

Stefan tertawa, diikuti Ghaffar yang menyusul kemudian. Kedua lelaki yang terikat hubungan darah dan batin yang kuat itu kini sibuk saling berbagi pelukan hangat, menyatakan rasa syukur bahwa di tengah kejamnya luka masa lalu, di tengah kejamnya dunia pada salah satu dari tiga bersaudara itu, keduanya masih memiliki jiwa satu sama lain. Tak ada yang mampu mengalahkan ikatan batin yang keduanya bagi. Terlalu kuat, bak sejiwa meski dalam tubuh yang berbeda.

Ghaffar tak ingin hal lain di dunia selain rasa bahagia yang harus selalu bersarang pada hidup mereka berdua, juga pada Mason di Surga.

--

--

No responses yet