“Pelan-pelan, makanan masih bisa dipesen lagi kalo lo masih laper.” ucap Stefan kepada sang adik yang sedang menyantap sushi kesukaannya.
Ghaffar yang paham kekhawatiran sang kakak kemudian meletakkan sumpitnya, duduk dengan menegakkan tubuh dan mengunyah dengan pelan. Stefan yang melihatnya lantas tertawa kecil. Ghaffar Ozanich Kayana, di balik usianya yang sudah menginjak dua puluh tiga tahun masih terlihat seperti anak kecil dimatanya.
“Laper, Bang.”
Dua kata yang keluar dari bilah bibir tipis milik yang lebih muda itu kembali membuatnya tertawa. Ghaffar memang selalu menjadi adik kecil baginya tak peduli bagaimana besarnya tubuh lelaki itu saat ini.
“Ya udah sih pesen lagi aja.”
“Ngga mau, besok mau ketemu Kak Ei nanti keliatan gendut.”
“Lo makan sushi kan gak se-restorannya, Ghaffar. Lo mau gendut kaya apa juga Eijaz tetep bucin sama lo.”
Ghaffar terkekeh geli mendengar ucapan Stefan, “Gue yang bucin ke Kak Ei, Bang.”
“Lo berdua emang udah gak ada tandingannya dah!”
Kedua kakak dan adik itu kemudian melanjutkan sesi makan bersama mereka dengan suasana hati yang sudah lebih baik dari beberapa hari yang lalu. Ghaffar yang terus-terusan mencoba untuk mencairkan suasana hati Stefan yang memburuk saat mendengar ia terkena serangan panik itu pada akhirnya mendapatkan apa yang ia mau. Ia paham bahwa Stefan memang mengkhawatirkannya, namun yang tak ia ketahui adalah ketakutan besar yang dengan sangat kuat Stefan sembunyikan darinya.
“Besok udah boleh ketemu sama Eijaz ya?” tanya Stefan padanya, “Udah seminggu emangnya?”
Dengan pipi menggembung karena sedang mengunyah makanannya, Ghaffar mengangkat wajahnya dan menatap Stefan, “Abang jangan bercanda.”
“Telan dulu.”
Menurut, yang lebih muda itu kini dengan cepat menghabiskan makanan yang ada di dalam mulutnya, “Abang jangan bercanda. Kemaren kan bilangnya seminggu cukup buat redam media?”
Ekspresi Ghaffar yang datar itu membuat Stefan kembali tertawa terbahak-bahak. Ia memang dengan sengaja menggoda Ghaffar yang sudah pasti berencana untuk bertemu Eijaz meski ia belum meminta izin, “Ya, kan gue nanya?”
“Pertanyaannya bikin kesel.” Ghaffar kemudian kembali mengambil makanannya, menyuapkannya ke mulutnya sendiri.
“Dokter bilang lo udah oke?” pertanyaan basa-basi. Stefan sebenarnya sudah tahu bahwa Ghaffar sudah membaik dua hari setelah serangan.
“Udah, I got my pills. Abang tenang aja, I won’t do anything careless like before.”
“As long as you’re still my brother, gue gak bakal bisa tenang seratus persen, Ghaf. But it’s ok, gue percaya sama lo berdua.” Stefan kembali memasukkan makanan ke dalam mulutnya, dan menelan habis sebelum kembali bertanya, “Memang mau ketemuan di mana?”
Ghaffar tersenyum ke arahnya, “The place when we first met. The bookstore.”
“Aman?”
“So far, aman. Jauh juga dari kota.”
“Jauh juga belom berarti aman, Ghaf. Panic attack lo kemaren…”
Ghaffar kembali meletakkan sumpitnya di atas piring, mengangkat wajahnya dan menatap Stefan yang menghindari tatapannya, “Abang, I know I made you worried too much, but I can do it better now, I got my pills. Abang juga udah jelasin situasinya ke Kak Ei kan? He will protect me too, Bang. Please, lo kaya gini justru bikin rasa bersalah gue makin gede…”
Stefan menyadari kesalahannya. Ia dengan cepat menyudahi makannya dan membalas tatapan sedih sang adik di seberangnya, “Ghaf, sorry… Bukan itu maksud gue. Cuma emang-”
“Gue paham, I know. It’s not only me who has anxieties, but please, trust me? Rasa bersalah gue belakangan ini udah besar, Bang. Mulai dari tangan gue yang patah, panic attack gue muncul setelah bertahun-tahun. Gue paham that’s to much to handle, but as long as you see me okay, gue harap lo juga bisa sedikit tenang, Bang. I know you love me too much as much as I love you the same way too. Believe in me, ya?”
“Okay…”
Kedua sudut bibit Ghaffar terangkat, “We will protect each other, Bang. Kan Abang sendiri udah mastiin ke Kak Ei if he willing to protect me too? Kak Eijaz juga shock kemaren, so I guess he will not keep his guard down.”
“Gue percaya sama kalian, but the evil will be there, Ghaf. Itu sih yang gue takutin…”
“I am scared too… It wasn’t an easy journey to overcome my fears. After years I finally wanted to be better, but it still haunts me too. But I believe that you and Kak Ei, and also our parents will always be there, kan Bang?”
Bibir Stefan kemudian membentuk senyuman tipis, “Always…”
Sang adik kemudian membalas senyumannya, mengangguk dan mengacungkan kedua jempolnya ke arah Stefan yang sudah mulai sedikit lebih tenang. Mereka kemudian kembali melanjutkan sesi makan yang sempat tertunda sebentar, dan dalam sekejap, seluruh makanan yang tersisa sudah dihabiskan tanpa jejak oleh keduanya.
“Bang?”
“Apa?”
“Kemaren, waktu gue kena serangan, Kak Ei khawatir banget ya?”
“He was so pale, pucat banget. Tangannya gemetaran karena gak gue kasih izin buat ketemu lo. Lo tidur waktu itu.”
“Emang ketemuan di mana?”
“Studio.” jawab Stefan singkat, “Tempat paling memungkinkan buat ketemu cuma di studio gue.”
“Terus…” Ghaffar menjeda kelimatnya, merasa ragu dengan apa yang hendak ia tanyakan. Ia kemudian menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan sebelum melanjutkan kalimatnya, “You told him everything?”
“Enggak. I have no right to tell him even though that’s our story. Nanti bakal ada waktunya Eijaz tau, dan kalopun dia harus tau, gue rasa harus lo sendiri yang cerita. Gue cuma jelasin kondisi lo yang punya panic attack, not the cause of it.”
“Oh, makasih, Bang…”
Stefan menatap lekat sang adik yang sulit ia baca ekspresinya, “Itu arti yang bagus apa sebaliknya Ghaf?”
“Maksudnya?”
“Ucapan ‘makasih’-mu…”
“I don’t even know… Still unsure about anything, but I surely want Kak Ei for a long time.” ucap Ghaffar dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar oleh Stefan.
“Whatever it is, lo harus tau kalo gue bakal selalu di sini apapun yang terjadi nanti. Oke?”
Stefan mengulurkan satu tangannya, membuka telapak tangannya yang besar, memberi isyarat pada Ghaffar untuk menggengamnya. Sang adik kemudian menyambut uluran tangan tulus itu, menggenggamnya perlahan. Ghaffar tahu sebesar apa rasa sayang Stefan kepadanya karena sebesar itu pula Ghaffar menyayangi sang kakak.
Jauh di dalam lubuk hatinya, Ghaffar tahu bahwa akan selalu ada Stefan yang siap menyambutnya pulang.