Senyuman manis seketika sirna dari paras tampan Kaivan saat kedua netranya menangkap jelas sosok Arkana yang duduk di ujung bar tak jauh dari tempatnya — bersama seorang pria yang tentu tak dikenalnya. Ia tak menyangka, tak menduga bahwa setelah dua hari tak bersua, bar adalah tempat di mana ia bertemu lelaki yang ia tunggu kabarnya, pada akhirnya. Lelaki berparas menawan itu tersenyum — manis sekali, bahkan beberapa kali melemparkan kepalanya ke belakang karena tawanya yang cukup keras, mungkin saja cerita yang keluar dari mulut lelaki lain yang duduk di sisi kirinya itu benar-benar lucu. Tak peduli dengan nyaringnya suara musik di sana, Kaivan dapat dengan jelas mengerti situasinya.
Rahang Kaivan mengeras, suasana hatinya memburuk seketika — terlebih lagi karena Arkana sama sekali tak menghiraukan notifikasi yang bertubi-tubi dari Kaivan di ponsel pintarnya. Sorot mata Kaivan tak sedetikpun terlepas dari pergerakan Arkana, tak peduli lagi dengan kondisi Gestara yang sudah mulai menyerocos tanpa henti karena mabuk.
“Van, lo tuh dengerin gue gak sih?” Tara akhirnya memprotes. Dengan mata bulatnya yang mulai sayu ia menatap Kaivan, “Gue udah capek-capek ngomong tapi lo gak merhatiin sama sekali, awas ya kalo lo minta ulangi.”
Kaivan lalu kembali menoleh ke arah Tara, “Sorry, Ra. Iya, aku ngga akan minta diulang.”
Tak peduli dengan banyaknya hari berganti, Kaivan masih berdiri di atas sisa-sisa masa lalu mereka. Masih menyebut dirinya dengan panggilan ‘aku’ meski hubungan mereka tak lagi sama seperti dahulu, dan Tara tentu tersenyum mendengarnya, “Tapi gue yang kesel kalo lo gak dengerin gue, Pak.”
Atensi Kaivan kini kembali penuh padanya, “Terus maunya gimana?”
Senyuman pemuda bernama Gestara Elio Vega itu masih sama, masih seindah dulu saat senyuman itu mengembang untuk dan karenanya — dan Kaivan tentu tak dengan mudah lupa.
“Gak ah, lo malesin! No fun at all, masih muda tapi kaku banget kaya bapak-bapak.”
“You’re picking a fight?”
“Ya enggaklah, Van. Lo udah pasti ngalah kalo harus adu jotos sama gue, mana tega lo liat gue sakit,” Tara menegakkan tubuhnya lalu kembali menolehkan wajahnya pada Kaivan, “Ada yang cakep ya di belakang gue? Dari tadi kayanya lo liat ke sana melulu?Atau ada yang lo kenal?”
“No, it’s fine. Mau nambah lagi minumnya?” Kaivan mengalihkan pembicaraan lalu tersenyum dengan cepat.
Seringaian jahil muncul pada wajah sayu Tara, dan lelaki itu memicingkan kedua matanya ke arah Kaivan, “Langsung ngalihin topik gitu, bikin gue kepo aja…”
Baru saja Tara hendak menolehkan wajahnya, Kaivan dengan cepat menarik lelaki itu mendekat. Kedua mata Tara terbelalak karena terkejut, namun ia masih bisa menguasai diri.
“Ok, sorry. There’s someone I know there,” aku Kaivan pelan, “Tapi kayanya dia lagi have fun sama temennya.”
“Someone, hm? Interesting,” Tara tersenyum penuh arti, lalu dengan perlahan mendekatkan wajahnya pada telinga Kaivan, “Judging from the way you’re staring at him while he’s having fun back there, I bet that you like that person, Mr. Gautama.”
Tak perlu waktu lama untuk Arkana menyadari bahwa ada sosok yang amat dikenalnya di dalam bar yang penuh dengan kerumunan manusia. Lelaki bertubuh tinggi dengan paras rupawan itu tentu dapat dengan mudah ia kenali meski cahaya di dalam sana cukup redup.
Dan tentu saja Arkana paham bahwa lelaki itu tak datang seorang diri. Kaivan duduk dengan tubuh yang sedikit condong ke arah di mana Gestara- mantan kekasih Kaivan yang baru saja Arkana ketahui keberadaannya, terlihat dekat sekali. Hatinya kembali ciut, padahal baru saja ia merasa sedikit terhibur dengan cerita konyol yang diceritakan oleh Giandra, teman lamanya.
Sial. Kenapa pula matanya menangkap hal yang paling tak ingin ia pandang saat ini? Kaivan dan mantan kekasihnya; merupakan hal yang paling ingin Arkana hindari saat ini namun semesta justru membuatnya menyaksikan sendiri kedekatan dua lelaki yang tentu pernah saling mengucap cinta meski di masa lalu.
Sementara dirinya masih dibuat bingung oleh perasaannya, seorang diri.
Arkana sibuk mengutuk diri, lalu tanpa sadar menenggak habis minuman keras di hadapannya hingga membuat Giandra terdiam.
“Lo gapapa, Na?” tanyanya pada Arkana, memastikan bahwa pria itu baik-baik saja.
“Gapapa, Gi. Haus aja gue.”
“Setau gue alkohol gak ngilangin haus sih, Na…” Giandra menyeringai, “Lo tuh sadar gak sih, kalo lo gak jago bohong?”
Arkana sedikit terkejut, lalu membalas tatapan Giandra padanya, “M-maksud lo? Gue ga lagi bohong kok?”
Seringaian tipis itu kemudian berubah menjadi gelak tawa, namun tentu Giandra tak bermaksud mengejek Arkana sebab ia tahu betul bagaimana Arkana bersikap, bagaimana cepat perubahan suasana hati Arkana ketika dirinya tengah disuguhi sesuatu yang tak mengenakkan. Giandra paham ke mana arah pikiran lelaki itu.
“Kaivan Atharya Gautama,” ucap Giandra tiba-tiba, membuat kedua manik sabit Arkana terbuka lebar karena terkejut dan takut jika lelaki yang duduk tak jauh dari posisinya itu mendengar namanya disebut asal oleh orang yang tak dikenalnya.
“Gian! Lo gila ya?!”
“Gue cuma nyebut nama orang, Na. Kenapa lo tiba-tiba naik?” dan lagi, tentu saja Giandra sengaja memancingnya, “Lo kenal?”
“You know that he’s my boss, Giandra,” desis Arkana pelan, lalu memajukan wajahnya hingga bibirnya nyaris menyentuh sisi wajah Giandra untuk berbisik, “And for God’s sake, don’t ever mention his name like that again, or I’ll — ”
“You’ll what?”
Jantung Arkana nyaris terhenti begitu mendengar suara yang dengan cepat membuat seluruh darah dalam tubuhnya berdesir hebat.
Suara Kaivan.
Sial.
Suara itu sangat Arkana kenali meski tak terlalu jelas karena nyaris diredam oleh alunan musik di dalam sana. Arkana sibuk mengumpat dalam hatinya, lupa bahwa baik Giandra maupun Kaivan dapat dengan jelas mengetahui apa yang ada di dalam pikirannya.
“Kamu mau ngapain, Na?” tanya Kaivan lagi. Dan, ya. Lelaki yang baru saja disebut itu telah berdiri tepat di samping tubuh Arkana yang masih membeku karena terkejut, “I really want to know what you’ll do if he mention my name like that again.”
Belum sempat Arkana bersuara, Giandra tampaknya paham dengan situasi yang canggung itu — dan tentu mengenali sosok yang namanya baru saja ia sebut dengan mulutnya sendiri.
“I'm sorry if I made things awkward, but, I’m Giandra, Kana’s old friend.” lelaki yang tinggi badannya sama dengan Arkana itu mengulurkan tangannya kepada Kaivan.
“Old friend, huh?” ucapnya dengan suara pelan yang terdengar seperti mengejek, “Old enough for you to already know me?”
Kutukan terhadap dirinya sendiri itu masih terus berlangsung, sampai Arkana ingin sekali membalikkan tubuhnya dan pergi dari sana, ingin segera keluar dari situasi yang sedikit membuatnya sesak karena sepanjang kedua mata Kaivan terpaku padanya, selama itu pula punggung Kaivan ditatap lekat oleh Gestara dari belakang sana.
“Pak Kaivan,” panggil Arkana pelan, “Maaf kalo teman saya sedikit lancang, tapi saya yakin beliau tidak bermaksud demikian.”
“Oh ya? Dari mana kamu tau soal maksud dia?” tanya Kaivan yang kini atensinya berpindah ke Arkana, “Because he’s your old friend, hm?”
Arkana tahu suasana hati Kaivan sedang tak dalam keadaan baik, meski hal itu justru membuatnya bingung sebab yang ada di dalam pikirannya adalah Kaivan sudah pasti sedang merasa senang karena ada Gestara yang datang bersamanya.
“Pak?” panggil Arkana sopan, memberi kode agar Kaivan tak bersikap dingin.
“You’re not calling me ‘Pak’ when we’re together, you’re not calling me ‘Pak’ when we’re not working. And you’re not calling me ‘Pak’, especially when I’m inside y — ”
“Pak Kaivan!”
Kedua manik sabit Arkana membesar, kepanikan jelas terlihat dari bagaimana Arkana bersikap ketika Kaivan dengan santainya membuka rahasia mereka di hadapan Giandra. Arkana yang semakin panik itu lalu dengan cepat membawa kedua telapak tangannya untuk membungkam mulut Kaivan yang entah mengapa justru membuka sesuatu yang harusnya hanya diketahui oleh mereka berdua.
“Apa, Na? Dia ngga boleh tau soal itu? I thought that he’s your old friend, like Raymond, maybe?” tutur Kaivan tanpa peduli, “Harusnya dia tau dong soal kita?”
“Ga semua hal bisa kita ceritain ke setiap orang yang kita kenal, Kaivan. Dan hal itu bukan sesuatu yang harus gue gembar-gemborin ke mana-mana, it’s not an achievement.”
Senyuman tipis itu kembali terukir di wajah Kaivan, yang sialnya justru terlihat semakin tampan kala lelaki itu tidak dengan sengaja mengintimidasi lawan bicaranya.
“There you go, calling my name like that like how it should.”
“Van?”
Suara lain itu muncul di tengah-tengah kecanggungan mereka. Sosok tinggi nan tampan itu berdiri tepat di antara Kaivan dan Arkana, dengan satu tangannya yang menyentuh pelan lengan Kaivan.
“Lo jangan bikin ribut di sini, gue malu.” ucap mantan kekasih Kaivan.
Cahaya di dalam sana masih redup, namun Arkana dapat dengan jelas melihat bagaimana paras tampan Gestara yang sukses membuat hatinya mencelos karena insekuritas itu tiba-tiba muncul di dalam dirinya.
He’s so damn perfect. Way too perfect…
“Ngga ada yang ribut di sini, Ra. Kamu tunggu aja dulu di sana sebentar.”
Intonasi yang selalu Kaivan lafalkan untuk Arkana itu kini ia dengar kembali, namun bukan untuknya.
“Ya terus ini suasana awkward apa kalo bukan lo mau cari ribut, hm?” Gestara lalu menolehkan wajahnya ke arah Arkana, tersenyum manis karena sedikit merasa tak nyaman, “Maaf ya, gue minta maaf banget kalo temen gue ini bikin onar.”
Arkana tentu tak punya alasan khusus untuk tak membalas senyuman itu, dan ia pun mau tidak mau tetap harus bersikap tenang meski hatinya masih terguncang, “E-eh, iya. Gapapa kok? We’re good.”
“No, we’re not. And we definitely need to talk now.” ucap Kaivan ketus, lalu tanpa basa-basi ia menarik pergelangan tangan Arkana untuk pergi dari sana, meninggalkan Giandra dan Gestara yang terdiam tanpa penjelasan.
“Who’s that fucking guy?” tanya Kaivan pada Arkana setelah keduanya sampai pada ruangan kosong yang Kaivan minta untuk privasi.
Arkana menyentakkan tangannya, melepaskan diri dari cengkeraman Kaivan, “Not your business, Sir.”
“It is my business,” ucap Kaivan kemudian, “You know what we’ve committed to, Arkana.”
“Yes, and it’s only the ‘bed thing’, Sir.”
“And you shouldn’t do it with another person.”
Arkana lalu menegakkan tubuhnya, sedikit mengangkat wajahnya untuk menatap Kaivan, “I’m not that cheap to be fooling around with every man I met, Kaivan.”
Kaivan maju selangkah, mendekatkan wajahnya dengan wajah Arkana yang kini tak lagi berekspresi, “Bukan itu maksud aku, Na.”
“Terus apa? Lo barusan bilang kalo gue seharusnya ga ngelakuin itu dengan orang lain. Maksudnya apa kalo bukan itu, hah?” Arkana mulai frustasi, mulai kesulitan untuk menahan emosi yang mulai menguasai dirinya.
“I noticed you haven't responded to my text messages, so I thought that you’re having fun with another man.”
“Lo yang duluan ga bales chat gue, Kaivan. And yes, I had fun with him. He was there when I needed a company. He’s my friend after all.”
“Kamu nge-chat aku? Kapan?” tanya Kaivan dengan wajahnya yang terlihat bingung, “Ngga mungkin aku ngga balas chat kamu, Na. You know you’re one of my priority as well.”
“One of,” gumam Arkana pelan, mengulangi kalimat yang Kaivan lontarkan, “What did I expected if I’m only the ‘one of’ anyway…”
“Apa?” tanya Kaivan yang tak mendengar gumaman Arkana, “Kapan, Na? Kapan aku ngga balas pesan kamu?”
“I don’t know? Kayanya dua hari yang lalu deh. Tapi ya udah sih ngga usah dibahas, ga penting.”
Kaivan lalu merogoh sakunya, tampak mencari sesuatu yang dimaksud oleh Arkana, dan sedikit terkejut kala melihat pesan yang dimaksud oleh Arkana.
“Na, I’m so sorry. Kayanya kelewat karena aku juga ngirim chat ke kamu tentang hal lain, dan mungkin waktu itu aku lagi sibuk,” ungkap Kaivan beralasan, “Maaf, aku ngga ada maksud begitu.”
“Yaudah sih ga usah dibahas, udah lewat juga.” timpal Arkana dingin, enggan menatap wajah Kaivan, “Udah ya, kasian temen gue ditinggalin. Ga sopan.”
“Arkana.”
Sial. Itu adalah namanya, nama miliknya. Namun entah kenapa ketika namanya disebut oleh Kaivan, rasanya berbeda, dan Arkana tak sanggup menggerakkan tubuhnya.
“Apa lagi?”
“Bukan karena chat kan?” tanya Kaivan yang dengan sengaja mengkonfrontasi Arkana, “Bukan karena chat kamu jadi kaya gini, iya kan, Na? Ada sebab lain, kan?”
Arkana menelan ludahnya dengan susah payah, takut bahwa lisannya tak lagi terkontrol karena terus menerus dipancing oleh Kaivan, “There’s no other reason, Kaivan.”
“Liar.”
“Apa?” Arkana meminta Kaivan untuk mengulang ucapannya, “Ngomong apa barusan?”
“You’re a liar, Arkana.”
“Maksudnya apa bilang gue pembohong?”
Kaivan kembali mendekatkan wajahnya dengan wajah Arkana, “Haven’t you noticed that you’re being super nervous when you’re lying?”
“I’m not lying!” protes Arkana ketus, “Bohong dalam konteks apa juga? Kenapa gue harus bohong? Gue bukan lo yang suka bohong, Van.”
Kaivan mengernyitkan dahi, merasa bingung dengan arah pembicaraan mereka, “Aku? Bohong? Bohong apa?”
“Udahlah ga usah dibahas, gue capek. Ga sopan, ga enak sama Giandra udah ditinggalin gini.”
Baru saja Arkana hendak melangkah pergi, satu tangan Kaivan dengan cepat mengukungnya, menghalangi pergerakannya, “Ngga usah ngomong masalah ngga sopan kalo sendirinya juga mau lari disaat lagi ngobrol gini, Na. Jawab dulu.”
“Apa sih, Van?! Gue cuma mau minum aja, cuma mau lepas penat aja, ga boleh? Yang boleh cuma lo doang?”
“Hah?” Kaivan semakin bingung, “Kamu ngomong apa sih, Na?”
Arkana menarik nafas panjang sebelum menjawab kebingungan Kaivan, lalu kembali mengangkat wajahnya untuk menatap lelaki yang sialnya justru membuat degub jantungnya semakin menjadi itu, lalu dengan cepat menguasai diri agar tak lengah oleh pesona Kaivan, “Gue ga tau sebenernya kenapa lo harus bohong soal kesibukan lo ke gue, padahal selama ini juga gue tau-tau aja semua urusan lo, dan itu ga pernah jadi masalah. Tapi ketika lo mulai jadiin ‘sibuk’ sebagai alasan lo untuk ketemu calon pasangan hidup lo, menurut gue lo keterlaluan, Van.”
Kaivan memundurkan kepalanya, menatap Arkana dengan wajah penuh keheranan, “Apa?”
“Iya, gue tau sebenarnya gue ga perlu sejauh ini. Tapi gue juga berhak marah, berhak ga terima. Karena gue ngerasa kalo gue berada di pihak yang dirugikan disaat semua notifikasi dari lo harus segera gue jawab, tapi ga demikian ketika itu berbalik arah — terlebih ketika lo sadar kalo setidaknya gue harus tau di mana gue harus naruh batas, Van.”
“Did Raymond tell you this? That I met someone that night?” tanya Kaivan pada Arkana pelan, tak tersulut emosi yang sama dengan Arkana.
“Ga penting gue tau dari mana, yang jelas apapun itu, sekarang udah waktunya kita selesaiin ini semua.” ucap Arkana pada akhirnya.
“Maksud kamu apa?”
Arkana menunduk, mengumpulkan nyalinya yang mulai bertebaran karena terintimidasi oleh tatapan Kaivan padanya, lalu kembali membiarkan kedua manik sabitnya bersitatap dengan netra bulat paling indah yang pernah ia temui di dunia dan berucap,“We should end whatever is going on between us, Kaivan. You’re surely a very busy person, I don’t deserve your time at all.”
Kaivan mundur selangkah, membuang mukanya setelah menatap Arkana dengan lekat seolah tak mempercayai apa yang baru saja Arkana ucapkan padanya.
“Why the fuck we should end this? It’s not like I’m getting married soon, Arkana. Or at least you can ask me for some explanation before you decide to end this by yourself. Kita di sini berdua, Na. Kenapa harus mutusin sesuatu sendiri?” tanya Kaivan pada Arkana, mulai sedikit terpancing emosi karena tak terima dengan keputusan Arkana yang terkesan tak masuk akal baginya.
“Ya, kan lo sibuk? Nungguin lo ada waktu buat ngobrolin ini berdua kayanya ga bakal terjadi dalam waktu dekat.” jawab Arkana santai sambil menggenggam erat ponselnya yang sedari tadi bergetar karena banyaknya notifikasi yang masuk, “Kemaren lo sibuk, terus ketemu calon istri lo. Sekarang? Sibuk ngehabisin waktu sama mantan lo. Ada gue ga di dalam daftar sibuk lo itu? Enggak, kan?”
“Ini harusnya ngga jadi hal yang bikin kamu se-tensed up ini sih. Tapi aku minta maaf kalo memang kesannya aku ngga ada memprioritasin kamu, Na. Ngga ada maksud begitu. Soal ketemu sama orang yang di-set up sama orang tua aku, I already turned down the marriage offer and said that I wasn’t ready for settle down yet. Dan soal Gestara, I know that you already heard about him before, dan aku yakin Raymond juga yang ngasih tau soal Gestara since both of you are soulmate — and I won’t complaining about that. Tapi lagi-lagi, harusnya hal ini ngga jadi sesuatu yang bikin kamu semarah ini sampe mau udahin ini semua, Na. Kita masih bisa ngomongin ini baik-baik, ngga harus pake emosi kaya sekarang. Semuanya ngga masuk di akal aku.”
Arkana menyeringai tipis, lalu tertawa kecil — menertawakan dirinya sendiri.
“Kenapa ga masuk akal, Van?” tanya Arkana pelan, “Kenapa menurut lo emosi gue ga masuk akal, hm?”
“Ya, we agreed that we’re on this together. Kita mulai ini sama-sama, and we never draw a line for how far we should act towards each other, and our comfort is the top priority. You know that I care about you, maybe more than I can ever explain to you. We can talk about this and that, berdua. Bukan tiba-tiba marah terus malah mau walk out gitu aja, Na.”
Anggukan pelan, juga senyuman tipis muncul di wajah Arkana yang kini tengah menunduk. Terdapat jeda sekian detik sebelum Kaivan akhirnya dapat melihat Arkana mengangkat wajahnya, mengeluarkan ekspresi yang sulit untuk ia terka maksudnya.
“That’s it, Van. That’s the answer.” Arkana maju selangkah untuk mendekati Kaivan yang berdiri menunggunya, “We never draw a line for how far we should act towards each other, so one of us is finally getting comfortable when the other one’s around. One of us is finally getting annoyed by how busy the other is, getting bothered when there’s no call and text from the other, apalagi waktu dengar soal ‘orang lain’ yang mungkin akan berdiri di antara kita nanti,” Arkana menjeda kalimatnya, lalu tersenyum manis kepada Kaivan sebelum melanjutkan, “And the line is getting more blurry when someone’s finally catching feelings…”
Kaivan membeku di tempatnya, tak mampu mengeluarkan suara vokal yang seharusnya bisa ia suarakan setelah mendengar pengakuan tak terduga dari lelaki yang menghabiskan banyak malam untuk berbagi hangat bersamanya.
Arkana jatuh cinta, dan Kaivan tak menyadarinya.
“N-na…”
“Udah, Van. Udah ya?” suara Arkana bergetar, menahan rasa sedih yang kini menguasai dirinya, “Maaf kalo gue harus bikin lo kaget dan bingung sekarang, tapi setidaknya sekarang lo paham kenapa belakangan ini gue lebih attached ke lo. Lebih demanding, yang mungkin menurut lo sah-sah aja — dan syukurnya lo ga pernah protes soal sikap gue yang mulai ga bisa gue kontrol sendiri. Gue ga minta dimaklumi, apalagi untuk bersikap ga tau diri untuk tetap ngelanjutin apa yang terjadi di antara kita sementara gue udah tau lo ada rencana masa depan, sebagai seorang laki-laki. Dan gue harap lo juga bisa lebih bertanggung jawab soal itu dan ga lagi genggam masa lalu lo di saat yang bersamaan.”
Melalui bilah bibir tipisnya yang terbuka itu merupakan pertanda bahwa Kaivan hendak bersuara, namun Arkana dengan cepat mencegahnya dengan menggelengkan kepalanya, tersenyum lebar dengan matanya yang mulai basah, “Lo ga usah ngomong apapun, Van. Gue yang ga tau diri untuk berani-beraninya jatuh di saat kita berdua sama-sama tau kalo hal itu ga boleh terjadi. Gue yang kelepasan, dan gue harap lo ga terlalu terbeban dengan apa yang sekarang lo ketahui tentang perasaan gue yang sebelumnya gue tutupi karena gue takut kehilangan di saat gue lupa kalo memang dari awal gue ga punya. I feel like we are at the end of our book, and I’m just refusing to close it because I’m afraid of losing you — while you’re not even mine…”
Satu tangan Arkana terjulur ke depan, menangkup hangat telapak tangan Kaivan yang tak terasa asing bagi inderanya, “This is where it ends, Kaivan. And it such a beautiful life journey for me to know a person like you — intimately.”
Nolan Arkana kembali tersenyum setelah menghapus dua air matanya yang jatuh, lalu menatap kedua bola mata Kaivan yang masih terlihat bingung secara bergantian, “I’m sorry if everything doesn’t make sense for you, but I deeply fall for you, Kaivan…”