Cuaca sore itu cerah sekali, membuat suasana hati Ghaffar yang sudah sangat baik sejak kemarin kian bersemangat. Ditambah dengan rencananya untuk kembali mengajak Eijaz bertemu ternyata disambut baik oleh pihak sana. Ia dengan cepat menyelesaikan diskusi perkara jadwal latihannya bersama Noah dan Vito, mengingat pertandingan yang akan diikutinya akan diselenggarakan tiga bulan dari sekarang. Sesi latihannya pagi ini pun berlangsung dengan baik, berakhir dengan pujian yang tak henti ditujukan pada Ghaffar dari sang personal trainer, Noah.
Senyuman manis yang terlihat jelas di wajah Ghaffar itu sesungguhnya tak disadari oleh sang pemilik wajah. Sepanjang perjalanannya menuju rumah Eijaz, ia tak berhenti tertawa kecil hanya dengan mengingat bagaimana cantiknya wajah Eijaz kala rona merah memenuhinya kemarin saat ia dengan lugunya menyatakan rasa. Lagu ‘10.000 Hours’ yang dinyanyikan Dan + Shay dan Justin Bieber yang secara acak diputarkan pun membuat lelaki dengan mata bulat itu tersenyum lebar sekali. Entahlah, rasanya ia tak pernah merasa sesenang ini saat akan bertemu orang.
Ah, tentu saja. Eijaz bukanlah sembarang orang bagi Ghaffar.
Ghaffar ikut bernyanyi mengikuti lagu, menikmati perjalanan dan pemandangan yang terbentang di depan matanya. Tak banyak yang tahu bahwa Ghaffar sebenarnya memiliki suara yang indah. Lelaki tampan itu terlalu pemalu untuk bernyanyi bahkan di depan keluarganya sendiri. Tentu saja kedua orang tuanya juga Stefan sudah tahu karena tak jarang mereka mendengar Ghaffar bernyanyi di kamarnya. Ia bahkan sudah mahir menggunakan gitar sejak beberapa tahun lalu, diajarkan langsung oleh sang kakak yang memang seorang produser musik terkenal. Bungsu dari dua bersaudara itu memang sudah dikenal banyak bakat sedari kecil oleh orang-orang sekitarnya, maka tak heran jika ia disebut ‘golden boy’ oleh tiga manusia yang paling ia cintai.
Perjalanan ke alamat rumah Eijaz itu memang tak lama, tahu-tahu mobilnya sudah terparkir rapi di depan rumah milik Eijaz- hanya saja kali ini sang pemilik rumah tak berdiri menunggu dirinya di depan rumah seperti terakhir kali. Ghaffar baru saja mengirimkan pesannya pada Eijaz bahwa ia sudah sampai tanpa mengabari bahwa ia sudah berangkat sedari tadi.
Hal yang membuat Eijaz total panik dalam persiapannya. Untung saja Eijaz memang sudah siap sedari tadi, namun ia belum memberikan sentuhan akhir untuk paras indahnya. Ia dengan cepat memoleskan lipbalm cherry pada bibir penuhnya, yang tentu saja menambah kesan cantik pada dirinya. Dengan langkah cepat ia keluar kamar dan berlari keluar, menyapa Ghaffar yang sudah berdiri bersandar pada mobilnya.
Seperti biasa, lelaki tinggi itu terlihat sempurna dengan pakaian bernuansa monokrom khas Ghaffar yang sudah dihapal oleh Eijaz.
“Ghaf! Astaga, kenapa ga ngabarin kalo udah jalan ke sini sih? Kan jadinya nunggu gue gini!” protes Eijaz saat ia dan Ghaffar sudah berdiri berhadapan.
“Where’s the ‘hello’ or, ‘hi, Ghaf?’, Kak Ei?” tanya Ghaffar dengan senyum manis yang kembali membuat perut Eijaz dihujam oleh ribuan kupu-kupu.
“Huh? Hi, Ghaf!” sapanya dengan cepat, “Maaf ya, malah ngomel duluan…”
Eijaz yang merasa sedikit tak nyaman itu kemudian menundukkan wajahnya. Ia tak menyangka bahwa Ghaffar akan menunduk dan memiringkan kepalanya menatap Eijaz, “Ngga apa-apa, it was my fault for not telling you first. But I did that with purpose, dan maksudnya bukan buat Kak Ei ngga nyaman kaya gini, but, here, I hope you smile more today.”
Ghaffar menyerahkan satu paperbag berukuran sedang kepada Eijaz. Ghaffar dapat melihat dengan jelas keterkejutan Eijaz atas sikapnya, hal itu membuat dirinya tertawa kecil kala melihat ekspresi wajah Eijaz.
“Udah yuk? Mumpung harinya masih cerah.” ajak Ghaffar pada Eijaz yang masih terdiam memegangi pemberian Ghaffar.
“Ini apa lagi, Ghaf? Kok sering banget ngasih gue hadiah kaya gini…”
“Tuh, Kakak udah nyebutnya hadiah?”
“Iya, tapi kenapa?”
“Again, no particular reason.”
“He’s the one who want to learn more, tapi kenapa kayak gue yang lagi diserang habis-habisan kayak gini?” tanya Eijaz pada hatinya.
Ghaffar di hadapannya hanya sibuk tersenyum dan menggaruk tengkuknya yang tak gatal, mendadak salah tingkah karena Eijaz menatapnya tanpa suara.
Seulas senyuman hangat kemudian terpatri jelas di wajah Eijaz, “Thank you so much, ya Ghaf. I can’t even say any words right now…”
Ghaffar hanya mengangguk pelan, kemudian membuka pintu di belakangnya dan memberi isyarat pada Eijaz untuk masuk ke sana. Eijaz melangkah maju dan masuk ke dalam mobil, disusul Ghaffar yang duduk di bangku kemudi.
“Ini kita mau kemana?” tanya Eijaz sambil memasangkan seatbelt pada tubuhnya, “Kali ini jangan rahasia boleh ga?”
“Hehe, liat ntar aja ya, Kak?”
“Kenapa sih? Padahal ntar juga bakal tau, kenapa coba pake rahasia-rahasiaan?”
“Ya ngga apa-apa, that’s what surprise’s for, right?” jawab Ghaffar sambil tertawa kecil di sebelahnya, “I can’t promise you that you’ll like it, Kak. But I just want to show you something that I love.”