Ghaffar mengunci ponselnya seusai membalas pesan singkat dari Stefan dan mengajak sang kakak untuk sarapan bersama. Dengan hati yang masih terasa berat, ia melangkahkan kakinya untuk keluar kamar, disambut oleh Stefan yang sudah duduk di meja makan, menunggunya.
Tak dipungkiri, kejadian kemarin membuatnya memikirkan banyak hal, dan subjek dari segalanya adalah Eijaz Javas Arsalan, pria yang disukainya- yang ternyata adalah seorang public figure yang sangat terkenal. Ghaffar tak pernah menyukai publisitas meski ia juga cukup dikenal sebagai atlit tinju pemula. Ia tak pernah mengindahkan setiap tawaran iklan dan pemotretan majalah yang bertubi-tubi menyerbunya hingga Vito sedikit kewalahan karena Ghaffar tak pernah sekalipun mencoba untuk membaca proposal yang diajukan.
Ia memang selalu begitu, tak pernah menyukai keramaian. Ia tak pernah menyukai ide Vito yang pernah menyarankan ia untuk mengekspansi karirnya, terutama karena Ghaffar memiliki visual yang luar biasa tampan, menurutnya cukup sia-sia jika wajah rupawan itu hanya bisa menjadi sasaran tinju dari lawannya. Namun Ghaffar juga pasti memiliki alasan khusus yang membuatnya tak pernah mengiyakan, dan hingga saat ini Ghaffar tetap menutup diri.
“Abang bikin apa?” tanya Ghaffar memecah keheningan. Stefan yang tadi disibukkan dengan ponselnya kini menaruh perhatian penuh pada adiknya yang sekarang duduk di seberangnya.
“Tuna sandwich aja, Ghaf, takut lo kekenyangan kalo gue bikinin yang berat, mau latihan kan hari ini?”
“Engga, capek.” jawabnya singkat.
Stefan mengangguk, tak memprotes jawaban sang adik yang terdengar lesu. Ia kemudian menyerahkan dua potong sandwich dan meletakkannya pada piring di depan Ghaffar.
Keheningan itu kembali terjadi, hanya terdengar suara kecapan pelan yang keluar dari dua mulut anak laki-laki di ruangan itu. Ghaffar tahu ia harusnya tak bersikap demikian, namun ia juga tak bisa membohongi dirinya yang masih kebingungan. Ia dengan cepat menghabiskan seluruh jatah sarapannya, mengangguk-anggukkan kepalanya pertanda ia menikmati yang dihidangkan Stefan untuknya.
“Abang kalo mau tanya, tanya aja.” ucapnya tiba-tiba. Stefan yang sedikit terkejut itu membelalakkan matanya, kemudian dengan santai mengambil piring kosong yang ada di sana dan menumpuknya di tengah, “Aku ngga akan bandel terus bohong ke Abang.”
Mendengar itu, Stefan tertawa kecil. Sungguh, adiknya ini terkadang nyaris terlihat seperti anak remaja yang masih butuh belai kasih sayang dan perhatian ekstra darinya.
“Tadi malam nyampe rumah jam berapa?” tanya Stefan padanya. Tentu saja itu hanya pertanyaan basa-basi karena matanya tak dapat tertutup rapat hingga pukul satu lewat tiga puluh menit saat sang adik tiba di rumah.
“Kayanya jam satu lewat gitu? Ngga terlalu merhatiin jam,” jawab Ghaffar jujur, “Maaf…”
“Lo bikin salah? Kenapa minta maaf?” Ghaffar kini mendapat perhatian penuh dari sang kakak yang kini menopang dagu menatapnya dengan senyum hangat, “Gak aneh-aneh aja yang penting.”
“Ngga aneh-aneh, Bang. Cuma jalan aja.” sekali lagi ia menjawab jujur. Ghaffar menatap wajah Stefan yang masih dengan lekat menatapnya, merasa sedikit kikuk karena ia merasa seperti sedang dipojokkan- padahal Stefan tak melakukan apapun selain menunggunya.
“Abang, kalo mau ngomong, please just say it. I can’t handle this awkwardness…” ucap Ghaffar pada akhirnya- membuat Stefan tertawa kecil di tempatnya.
“Gak kebalik, Ghaf? Bukannya lo yang punya banyak pertanyaan sekarang?”
Bingo. Stefan menebaknya dengan tepat.
Ghaffar menggigit bibir bawahnya, tiba-tiba merasa bingung karena tak sepatah kata pun mampu keluar dari bilah bibirnya.
“Take your time, Dek. I’ll always be here for you.”
Ghaffar menarik nafasnya panjang, menutup matanya dan kemudian menggelengkan kepalanya cepat. Ia melihat bagaimana Stefan masih dengan sabar menghadapinya.
“Abang kenal Kak Ei?”
Stefan tampak berpikir sejenak sebelum menjawab pertanyaan adiknya, “Kak Ei? Eijaz maksudnya?”
“Iya, Eijaz…”
“Ya kenal, Ghaf. Kan lagu dia ada beberapa yang gue bikinin?” jawab Stefan apa adanya, “Kenapa emangnya?”
“Ah, engga, cuma nanya…” Ghaffar menundukkan kepalanya, sibuk memainkan jemarinya yang bertaut karena rasa gugup yang menyerangnya, “U-udah lama kenalnya?”
“Udah beberapa tahun sih, he’s one of my artist-friend too.”
“Ah, I see…”
Lagi-lagi hening. Ghaffar sebenarnya memiliki banyak sekali pertanyaan yang berputar di kepalanya, namun sulit baginya untuk mengutarakan. Di saat seperti ini pun ia masih bisa merasakan rindu yang teramat kepada lelaki yang menjadi penyebab kebingungannya saat ini.
“Kalo gak ada yang mau ditanyain lagi, gue yang nanya, boleh?”
“B-boleh, Bang…”
Stefan tersenyum lebar melihat tingkah Ghaffar, memperlihatkan gummy smile khas wajah tampannya, “Eijaz ya, cowok yang lagi lo deketin belakangan ini?”
Pertanyaan tanpa basa-basi dari Stefan itu total membuat Ghaffar tersedak. Ia dengan cepat menyerahkan segelas air putih kepada Ghaffar yang masih sedikit terbatuk.
“Kok tau?”
“It’s kinda obvious though? Your confused face last night told me everything.” jawab Stefan santai, “Judged by how confused you were last night, seems like lo baru tau ya dia siapa?”
“I-iya…”
“Pantesan…” Ghaffar kemudian bergerak bersandar pada sandaran kursi, “ Pantesan lo bingung banget sekarang ya, Dek?”
Ghaffar hanya mengangguk pelan, menjawab Stefan tanpa suara.
“Gue kaget juga sebenernya, knowing how you truly are- rasanya kaya gak mungkin aja kalo lo bisa deket sama Eijaz. Tapi ngeliat gimana reaksi lo tadi malam sampe sekarang, kayanya apa yang terjadi di antara lo sama Eijaz udah bukan hal biasa yang bisa gue cegah ya?”
“Maksud Abang?”
“He’s a well-known singer, Ghaf. Means that it’ll be risky if you stay close with him…”
Ghaffar terdiam, berpikir bahwa apa yang dikatakan Stefan memang benar adanya. Ia akan menempatkan dirinya dalam bahaya ketika kedekatannya dengan Eijaz diketahui publik.
“Tapi, gue tau Eijaz gimana. He will never put any harm on you, I promise. And I’ll make him promise to me too.”
“W-why?” tanya Ghaffar kebingungan, “Kalo deket sama Kak Ei beresiko, kenapa Abang justru ngga larang aku buat deket sama dia?”
Satu senyuman hangat lolos dari bibir Stefan. Ia kembali memajukan tubuhnya, menopang wajah tampannya dengan kedua tangan yang saling bertaut, “He’s the one who makes you happy, Ghaf. As simple as that.”
“Gue tau, lo masih perlu belajar banyak. Gue bahkan gak bisa bilang lo beruntung atau malah enggak sama sekali karena kali pertama lo ngerasain itu semua justru sama Eijaz. Tapi gue bisa ngerti kenapa lo bisa jatuh dengan mudahnya sama Eijaz- he’s a lovely guy, gue yang udah temenan sama dia berapa tahun juga udah gak heran kalo orang banyak banget yang sayang sama dia. But, I can call that my baby brother is the luckiest one.”
“Am I? Kenapa? Kan barusan Abang bilang banyak yang sayang sama Kak Ei?”
“Satu-satunya yang Eijaz respon selama gue kenal dia cuma lo, Ghaf. Lucunya lagi, rumah yang lo datengin tadi malam itu rumah pribadi Eijaz. Gue sama Hugo yang udah lama kenal dia aja baru dua bulan belakangan ini tau rumahnya, sementara lo? Udah diajak makan malam di sana, padahal belum juga pacaran?” ledek Stefan pada Ghaffar yang sedikit tersipu.
“Ghaf?”
“Hm?”
“Jangan dipaksain. Kalo lo emang gak bisa, then stop. Tapi our parents ngajarin how to be polite kan? Be a man, Ghaf. Hadapin. Bicarain baik-baik. Gue as your brother paham betul gimana bingungnya lo sekarang- hal yang paling lo hindarin justru jadi hal yang jadi sumber senyum lo belakangan ini. It’s okay to be confused, perasaan lo saat ini valid. Gak salah sama sekali. Cuma, inget- tanpa komunikasi apapun bakal sulit. Ada baiknya untuk diomongin dulu, tapi nanti, tunggu lo udah siap. Tunggu lo udah yakin dengan apa yang lo mau. Eijaz itu orangnya udah dewasa walaupun kadang tingkahnya kaya bocah, tapi gue tau gimana baiknya dia. As a brother, gue dukung apapun yang lo pilih nanti.”
Satu sudut bibir Ghaffar terangkat naik, ia tersenyum tipis kepada Stefan yang selalu menjadi pendengar juga penasihat yang bisa ia andalkan, “Makasih, Bang. I can’t even think clearly right now, but thanks. I’ll think about it.”
Stefan mengulurkan tangannya ke depan, memberi isyarat kepada Ghaffar untuk menyambut tangannya, “Remember these things; good things happen, love is real, you will be okay. Cheer up, baby bro! I got your back, always- everytime, forever.”