Call You Mine

raine.
11 min readJul 30, 2022

--

sr: pinterest

Eijaz pulang dengan senyum sumringah terpatri jelas di wajah cantiknya. Kalimat semangat yang Ghaffar tujukan untuknya tadi sukses membuat suasana hatinya jauh lebih baik dari sebelumnya. Ia akui bahwa ia sedang lelah, namun apa daya jika pekerjaan sudah mulai menuntut- terlebih ia baru saja kembali dengan lagu baru. Jadi sudah tak heran jika jam kerjanya jadi lebih gila. Hugo yang bersamanya pun sadar bahwa sesuatu yang baik telah terjadi pada sang sahabat, namun ia lebih memilih untuk bersyukur dalam hati ketimbang mengomentarinya.

Tak menyadari sudah berapa lama ia menempuh jalan, yang Eijaz sadari hanya saat kedua manik sabitnya menangkap sosok yang sangat ia kenal sudah berdiri bersandar pada sisi mobil di depan rumahnya saat Hugo memarkirkan mobil miliknya.

Ghaffar di sana, menunggunya dengan sabar.

Senyuman pria yang menunggunya itu melebar kala melihat ia turun dari kursi belakang sedan hitam yang dikendarai Hugo dengannya. Eijaz berjalan cepat ke arah Ghaffar, merasa sedikit tak nyaman karena telah membuat Ghaffar menunggunya meski tak sengaja.

“Ghaf? Kok udah di sini? Kan aku belum kasih kabar?”

“Ngga apa-apa, I want to see you as soon as possible, ngga betah juga nunggu di rumah sendirian, so here I am.” jawabnya dengan senyuman yang kembali menghangatkan jiwa Eijaz.

Baru saja Eijaz hendak menghambur ke pelukan Ghaffar, namun ia mengurungkan niat kala mendengar Hugo berdehem di belakangnya, “Jaz, ini tas lo mau gue angkut apa lo bawa pulang?”

Eijaz sibuk mengutuk dirinya sendiri yang lupa akan presensi Hugo di sana, kemudian berjalan berbalik ke arah Hugo yang menertawakan tingkahnya, “Makasih, Go. Hati-hati pulangnya.”

“Lah? Gue gak ditawarin masuk nih?” tanya Hugo padanya.

Eijaz paham bahwa Hugo kini sedang menggodanya. Pelototan matanya hanya dijawab dengan ekspresi pura-pura bingung oleh Hugo yang berdiri di depannya, “Kenapa sih? Kan gue juga mau ngobrol sama lo berdua? Boleh kan, Ghaf?”

Ghaffar yang tak menyangka situasi aneh itu dapat terjadi hanya bisa mengangguk kikuk kepada Hugo, “I-iya, boleh kok.”

Eijaz memejamkan kedua matanya sembari menarik nafas panjang karena keluguan Ghaffar kali ini membuatnya sedikit kesal. Bagaimana bisa ia mengizinkan Hugo untuk bergabung sementara yang Eijaz inginkan hanya waktu untuk mereka berdua?

“Tapi sayangnya gue juga ada rencana sendiri sih,” ucap Hugo sambil memperhatikan raut wajah Eijaz yang menatapnya tak percaya, “So, enjoy the quality time for you both, love birds! Ghaf, kalo Eijaz macem-macem, lo bilang ke gue ya!”

Hugo tak menunggu jawaban dari Ghaffar dan langsung berbalik masuk ke dalam mobilnya dengan melambaikan tangannya kepada Eijaz dan Ghaffar sambil tertawa puas karena berhasil mengerjai Eijaz dan Ghaffar. Ia kemudian menyalakan mobilnya dan menurunkan kaca jendela, mengeluarkan kepalanya dan berujar, “Udah buru masuk! Jangan sampe ketauan warga, gue yang repot nanti!”

“Biar aja, biar gue bikin pusing beneran lo!” ancam Eijaz pada Hugo, “Udah sana lo hati-hati jalannya!”

“Bye!”

Eijaz berjalan dengan membawa dua buah gelas untuknya dan Ghaffar yang sedang duduk menunggu di ruang tengah rumahnya. Ia kemudian memberikan satu gelas di tangan kanannya kepada Ghaffar, sementara ia menaruh miliknya di atas meja. Eijaz memposisikan diri untuk duduk tepat di sebelah Ghaffar, dengan kedua netra yang tak lepas memandang lelaki tampan yang sedang menyesap minuman hangat buatannya.

“Lama ya tadi nunggunya?” tanya Eijaz pada Ghaffar, “Kalo aku tau kamu bakal ke sini duluan, aku bakal minta Hugo buat ngebut nyetirnya tadi…”

Ghaffar menoleh ke samping, melihat ekspresi wajah Eijaz yang penuh sesal, “Engga, Kak. Kayanya baru tiga detik aku nunggu, eh Kak Ei dateng.”

“Bohong banget deh, Ghaf!”

Ghaffar tertawa kecil di sebelahnya, melihat bagaimana Eijaz yang tak mudah percaya dengan ucapannya, “Iya, ngga tiga detik. Tapi tiga menit? Pokoknya ngga lama kok, don’t worry too much.

EIjaz paham bahwa Ghaffar memahami kekhawatirannya. Namun pria itu benar-benar jujur, ia memang belum menunggu lama di sana. Alasannya sama persis dengan apa yang sudah ia utarakan- bahwa ia hanya ingin cepat sampai dan menemui Eijaz.

“Capek ya hari ini?” tanya Ghaffar pada Eijaz yang sedang sibuk memijat pelipisnya, “Kayanya iya nih capek, aku ganggu?”

“Ga sama sekali kok, Ghaf. Justru aku seneng kamu di sini…”

Eijaz dapat melihat bagaimana bibir tipis Ghaffar membentuk senyuman manis ketika mendengarnya, membuat ia sendiri ikut tersenyum dengannya.

“Hari ini ngapain aja emangnya?”

“Ada beberapa interview, terus photoshoots banyak banget sampe mata aku kunang-kunang kena camera flash,” Eijaz masih sibuk memijat pelipisnya karena masih merasa sedikit lelah, “Terus tadi sempet ke agensi sebentar karena ada urgent meetings soal promosi lagu aku, banyak banget PR-nya. Mana besok juga masih ada interview sama shoot buat pre-recording acara musik TV lagi…”

Eijaz yang sibuk menggerutu itu sukses membuat Ghaffar gemas dengan presensinya. Dengan bibir tebal yang mengerucut lucu ia mengutarakan semua isi kepalanya yang mungkin saja tak ia ceritakan pada Hugo tadi. Ia terus mendengarkan semua cerita Eijaz tanpa lelah, membiarkan lelaki cantik itu merasa lega karena ada yang mendengarnya kali ini.

Tak ingin tinggal diam, Ghaffar secara perlahan menggerakkan tangannya untuk mengambil satu tangan Eijaz yang sedang memijat kepalanya untuk ia genggam sejenak, menghangatkan telapak tangan mungil milik Eijaz dalam genggamannya.

You did well, you did great today. Kalo capek boleh nyandar di sini kok, Kak.” ucap Ghaffar sambil menunjuk pundaknya, “Dulu waktu aku capek abis latihan, biasanya Mama suka peluk biar hilang capeknya. Strangely, it works for me. Mau coba?”

Eijaz terkesima dengan bagaimana cara Ghaffar menenangkannya. Jika saja bukan Ghaffar, ia pasti sudah mengira orang tersebut bukan orang yang baik untuknya. Ia kemudian bergerak mendekat, menyandarkan kepalanya pada pundak Ghaffar yang sudah disediakan khusus untuknya.

Benar saja, Eijaz menemukan tenang di sana. Mendengar setiap tarikan dan hembusan nafas Ghaffar sedekat ini membuatnya tenang bukan main. Ia membawa tangannya untuk melingkari pinggang Ghaffar yang tergolong ramping untuk ukuran tubuh muskular seperti dirinya dan mengeratkan pelukan itu sebagai bentuk apresiasinya atas kehadiran Ghaffar hari ini.

“Makasih ya, Ghaf. Capeknya beneran hilang sekarang…”

Ghaffar membawa satu tangannya ke kepala Eijaz, membelai pelan kepala lelaki yang ia sayangi itu, “Glad that I could use my magic to you.”

“Your mom must be an amazing person…”

“She is.” jawab Ghaffar dengan bangga, “She’s the strongest one.”

“Dari suara kamu aja aku udah bisa tau kalo kamu memang sayang banget ya sama Mama?”

“Uncountable.”

“Ga heran kenapa anaknya bisa semanis ini, soalnya sayang banget sama ibunya.”

Eijaz merasakan jemari Ghaffar menyentuh pelipisnya, memijatnya pelan seperti yang Eijaz lakukan pada dirinya sendiri tadi, “Ghaf? Ga perlu kok, aku udah gapapa.”

Tanpa menghiraukan larangan dari Eijaz, Ghaffar tetap melakukan apa yang ia inginkan- memijat pelan kepala Eijaz untuk meringankannya, “My mom used to do this to Bang Stefan when he’s tired of work too.”

“Oh ya? Manis banget… Jadi pengen kenal…” ucap Eijaz sembarang. Ia dengan cepat menyadari ucapannya yang bisa saja membuat Ghaffar tak nyaman, “Eh, ng-nggak maksudnya tuh ak-”

“Nanti pasti aku kenalin kalo pas Mama pulang.” Ghaffar memotong ucapan Eijaz yang terdengar panik, “Ngga usah panik atau ngga enakan, Kak. Nanti pasti bakal dikenalin kok, soalnya Mama juga tau aku lagi deket sama Kak Ei.”

“Eh? Kamu cerita?” Eijaz tak menyembunyikan keterkejutannya atas apa yang baru saja Ghaffar ucapkan, “Kamu cerita apa emangnya? Terus Mama bilang apa?”

Hatinya berharap namun juga cemas. Ia memberanikan diri untuk menanyakan hal yang membuatnya penasaran karena baru saja kemarin ia dan Ghaffar saling mengungkap rasa, namun hari ini ia sudah mendengar fakta mengejutkan yang tak disangkanya.

“Ngga usah kaget gitu, Kak. Mama udah tau dari awal kita deket kok? I told her about you. She said that she’s glad that I’m okay, and it all thanks to you. Makanya Mama juga bilang nanti kalo pulang mau ketemu sama Kak Ei. Itu juga kalo Kakak ngga keberatan.”

“Mau!” jawab Eijaz dengan suara yang sedikit meninggi karena antusias, “Aku mau ketemu Mama!”

Suara tawa Ghaffar terdengar di sana, membuat Eijaz menunduk malu karena baru saja menyadari tingkahnya yang kekanakan.

“Iya, nanti ketemu sama Mama Papa ya? They’ll love you as much as I am.” tutur Ghaffar sambil mengusap pelan kepala Eijaz, “And I just searched some facts about you on Google today and found out that you’re four years older than me. But you are a kid in front of me sometimes? Lucu banget.”

Eijaz merasa sedikit malu mendengarnya, ia kemudian kembali menyurukkan wajahnya di pundak Ghaffar dan menyamankan diri di sana. Memeluk tubuh Ghaffar saat ini adalah prioritasnya meskipun ia harus menahan malu karena tingkahnya sendiri.

“Gapapa, aku anak kecil di depan kamu soalnya emang kamu lebih besar daripada aku. Tapi, ngomongin soal tingkah, padahal kamu kadang lebih kaya bayi loh? Eh, bukan kadang deh. Tapi sering! But strangely I won’t complain, aku justru seneng jadi orang yang bisa lihat sisi kamu yang ini.”

Pelukannya pada tubuh Ghaffar mengerat, diikuti dengan Ghaffar yang ikut menyandarkan kepalanya kepada Eijaz, “Justru aku yang seneng karna Kakak mau nerima sisi aneh anak kecil ini…”

“Anehnya bikin sayang, gimana dong Ghaf?”

Eijaz dapat mendengar jelas bagaimana bunyi detak jantung Ghaffar yang terasa melalui sisi tubuhnya yang masih memeluk Ghaffar. Sudut bibirnya terangkat otomatis saat ia membawa satu tangannya bersamaan dengan wajahnya yang ia tempelkan tepat di dada Ghaffar untuk merasakan debaran jantung lelaki yang membuatnya jatuh cinta.

“K-kak…”

“Shush… This is the best music I’ve ever heard in my entire life; your heartbeats.” bisik Eijaz sambil terus merasakan bagaimana jantung Ghaffar mulai berdetak tak karuan karenanya.

Senyum Ghaffar mengembang begitu saja, tak lagi merasa aneh kala Eijaz yang dengan terang-terangan menunjukkan afeksinya. Ghaffar tak pernah mendapatkan kasih sayang lebih selain dari kedua orang tua juga sang kakak, Stefan, dan Eijaz jadi orang pertama yang memberinya rasa damai dan ketenangan yang entah sudah berapa lama ia rindukan. Eijaz hadir disaat ia bahkan tak pernah berpikir lebih. Eijaz hadir disaat yang bahkan tak pernah ia harapkan di dalam doa malamnya. Sosok riang yang kini berada di dalam rengkuhannya itu mampu membuatnya keluar dari tempat amannya. Ia bahkan tak lagi bisa menghitung berapa kali ia mengucap syukur hari ini sebab Eijaz yang tak memilih untuk meninggalkannya hari itu.

Eijaz Javas Arsalan, lelaki luar biasa yang membuat dunianya kembali indah.

Telapak tangannya membelai lembut helaian rambut halus milik Eijaz, sementara tangannya yang lain menggenggam lengan Eijaz yang berada di atas perutnya. Suasana sederhana yang tak pernah gagal membuat keduanya merasa dunia memang hanya milik berdua.

“Hari ini aku liat hasil foto kamu…” tutur Ghaffar memecah keheningan, “You look gorgeous as always…”

“Oh ya? Liat di instastory aku ya? Itu foto beberapa hari lalu, cepet banget selesainya, aku juga kaget.” ujar Eijaz pada Ghaffar, “Makasih pujiannya, it sounds so different coming out from you…

“Di instastory, sama dikirimin screenshoot-an dari twitter kamu, Kak,” Ghaffar menjeda kalimatnya untuk menarik nafas, “Vito sent that to me, and the reactions were just… overwhelming?

Kepala Eijaz terangkat dari posisinya, menatap Ghaffar dengan ekspresi bingung, “Overwhelming? Kayanya emang reaksi orang-orang memang begitu deh setiap aku post sesuatu, makanya kadang suka males update sosmed.”

“Oh udah biasa ya…”

Eijaz menyadari intonasi suara Ghaffar yang berubah dengan cepat meski masih selembut awal, “Ghaf, ada yang ganggu pikiran kamu kah?”

Yang lebih tua kemudian memposisikan dirinya untuk duduk bersila menghadap Ghaffar, membawa satu tangan Ghaffar untuk ia genggam di atas pahanya, “Coba ngomong ada apa?”

“Bingung sih…” ucapnya pelan, “I just got confused, maybe because this is the first time I know you as a singer, dan mungkin emang ngga terbiasa aja kali ya kalo kamu dapat atensi segitu besarnya…”

Hm, okay, terus?”

“And that’s disturbing me…” jawab Ghaffar pelan.

“Ganggu kamu? Bagian mananya?”

“Their responses…?”

“And?” Eijaz masih tak memahami maksudnya, maka ia terus memancing Ghaffar untuk membuka suara, “Apa, sayang?

Eijaz selalu tahu waktu yang tepat untuk melemahkan Ghaffar. Memanggilnya dengan panggilan ‘sayang’ di saat seperti ini sebenarnya tak banyak meredakan keresahannya, namun Ghaffar yang bingung itu menjadi memiliki keberanian lebih untuk bersuara.

I’m jealous, Kak… But I have no right to be jealous at all…

Mulut Eijaz terbuka, terkejut dengan pengakuan Ghaffar yang tiba-tiba, “Jealous? Jealous kenapa? I did nothing?

“You did nothing but everyone started to crave your attention…”

“But no one could catch my attention, Ghaf. You’re all I see…

Ghaffar menarik masuk bibirnya sendiri, merasa ingin teriak seketika ketika mendengar Eijaz menenangkannya.

“Hey, denger ya?” Eijaz meminta Ghaffar untuk menatapnya sembari mendengar apa yang akan diucapkannya, “Aku bener-bener ga tau kalo ternyata kamu bisa cemburu over people reactions through my photos. Even if they’re craving for my attention, I wouldn’t give it to them all. Kan sekarang ada kamu di sini, lebih baik aku ngasih seluruh perhatian aku ke kamu. Apa yang aku post pun bener-bener sebatas hasil kerja aja, karena memang dari management juga agency minta aku untuk sesekali update soal kerjaku di samping jadwal nyanyi. I’m sorry if I was careless for not thinking about how’d you feel, tapi aku beneran ga ada maksud sampe bikin kamu jealous begini…”

You did nothing wrong, Kak!” Ghaffar dengan cepat mengoreksi, tak ingin Eijaz salah paham dengan maksudnya, “I said that I’m jealous with those reactions doesn’t mean that what you’ve done was wrong. Engga gitu. Aduh- gimana ya? I’m bad at words, you knew that already. I’m jealous that you- your-” Ghaffar menarik nafasnya untuk menenangkan diri, merasa sulit untuk mengungkapkan apa yang ia maksud sebenarnya. Ia kemudian kembali mengatur nafasnya sebelum melanjutkan kalimatnya, “Aku c-cemburu because you’re just t-too beautiful a-and I’m not the f-first one who saw it… I- I thought that we’re something? But knowing the fact that I’m not t-the one who saw it f-first made me wonder about everything… And being jealous over people reactions are just too much for me because I have no right to be jealous…”

“Kenapa ngerasa ga punya hak buat cemburu?” tanya Eijaz tanpa melepas pandangannya pada Ghaffar.

“Ya, we’re not labeling ourselves… yet?”

Eijaz tersenyum mendengar kalimat penuh ragu yang keluar dari bilah bibir tipis Ghaffar Ozanich Kayana. Entahlah, jika saja ia diizinkan mungkin ia akan berakhir mencubit gemas pipi lelaki lugu di hadapannya itu karena terlalu menggemaskan hingga Eijaz ingin sekali berteriak karena tak sanggup menahan diri.

First, we are something- you need to remember that. Second, aku minta maaf karna ga mikir kesana tadi, aku pikir cukup dengan kamu liat di instastory aja, maaf ya?” Eijaz menunjukkan raut wajah bersalahnya pada Ghaffar, “Aku juga malu kalo tiba-tiba kirim foto aku ke kamu- I mean foto kerjaan aku. Jadi emang bener-bener ga kepikiran aja, Ghaf.”

Eijaz kemudian kembali merapatkan tubuhnya dengan Ghaffar, kembali bersandar pada pundak lelaki itu dengan nyaman, “About label, I thought that it’s obvious already without label? That we want to be with each other. Aku juga mikir gitu semalam, what are we? Aku ga mau mikir terlalu jauh dulu karna aku takut kamunya ga nyaman kalo aku langsung nanyain status- terlebih ini kali pertama buat kamu kan?”

Ghaffar mengangguk pelan, “Iya…”

“Terus kenapa ga ngomong kalo kamu maunya kita ada label?”

You know that I’m that clueless, Kak…”

“Iya ya, aku tuh suka lupa kalo kamu beneran se-clueless itu,” Eijaz tertawa kecil mendengar pengakuan Ghaffar.

“Ghaf?”

“Iya?

“Sayang kan sama aku?”

“Sayang.”

“Terus?”

“Terus apa, Kak?”

“Mau jadi pacar aku?”

Lagi-lagi debaran jantung Ghaffar menjadi melodi favorit di telinga Eijaz yang bersandar padanya.

“K-kamu serius, Kak?” tanya Ghaffar dengan terbata-bata karena rasa gugup yang menyerangnya.

Never been this serious, Ghaffar. Aku ga pernah ‘nembak’ duluan sebelumnya, so you have the honor of being the first one for me.

Eijaz kembali mengangkat kepalanya, menatap kedua manik bambi cantik yang kini sedang menatapnya tanpa jeda, “So? Where’s my answer? Will you be my boyfriend, Ghaffar Ozanich Kayana?”

Secara tiba-tiba, Eijaz mendapat satu pelukan erat dari Ghaffar. Pelukan erat namun hangat, “You’re mine, Eijaz. You are mine. My boyfriend.” bisik Ghaffar tepat di telinga Eijaz.

Eijaz menarik diri dari pelukannya, kedua telapak tangan mungilnya kini menangkup wajah tampan lelaki yang baru saja menjadi kekasihnya, melemparkan senyum yang tak pernah gagal membuat Ghaffar jatuh cinta.

“Yours. I’m yours, Ghaf. I’m proudly yours.”

Suara merdu Eijaz saat menyatakan bahwa ia adalah milik Ghaffar itu selamanya akan terekam indah dalam memori Ghaffar. Suara manis Eijaz itu juga adalah hal terakhir yang dapat didengar rungunya sebelum Eijaz bergerak maju dan memberi kecupan hangat tepat di atas bibir tipis milik Ghaffar.

Manis. Terlalu manis.

Ghaffar merasa jika saja ia bisa menghentikan waktu, ia ingin berhenti di saat ini- di saat Eijaz menciumnya. Di saat Eijaz sekali lagi membuat seluruh darahnya berdesir hebat juga kupu-kupu yang tadinya tertidur kembali bangun dan berterbangan dengan bebas di dalam tubuhnya.

Dengan Eijaz, semuanya terasa begitu manis sehingga sulit bagi Ghaffar untuk berpikir. Nafasnya ikut tercekat sementara debaran jantungnya sungguh kacau saat ini.

Semuanya disebabkan oleh Eijaz Javas Arsalan, kekasih pertamanya.

Dengan Eijaz, ia kini merasakan bagaimana indahnya dunia, cinta, dan manisnya ciuman pertama.

--

--

No responses yet