Waktu sudah menunjukkan pukul delapan lewat empat puluh menit kala Eijaz dan Ghaffar selesai dengan sesi makan malam mereka. Kini keduanya sedang duduk bersebelahan, berhadapan dengan televisi yang sedang memutar film “Me Before You” yang dipilih langsung oleh Eijaz. Tanpa alasan khusus, ia hanya menyukai film bergenre romansa walaupun bagian akhir filmnya pernah membuatnya nangis tersedu-sedu seorang diri. Namun kali ini tentu berbeda karena ada sang kekasih yang siap membiarkannya menyandarkan diri dengan nyaman pada bahunya. Ghaffar yang hanya tersenyum melihat ekspresinya itu tak banyak bersuara, meski ia tak begitu konsentrasi dengan televisi, ia tak mengganggu fokus Eijaz di sebelahnya.
“Ghaf?” panggil Eijaz dengan suara pelan, menatap wajah Ghaffar yang tatapannya kini sedang terpaku pada layer televisi, “Ghaffar?”
“Hm?” lelaki yang lebih muda itu kemudian mengalihkan pandangannya, menatap Eijaz tepat pada kedua manik sabitnya, “Kenapa, Kak?”
Senyuman hangat terukir di wajah cantik Eijaz saat tatapan keduanya bertemu, “Ngga, gapapa. Cuma manggil.”
“Ini udahan nontonnya?”
“Udah, tapi biarin nyala aja.” Eijaz memajukan tubuhnya, meraih gelas minuman yang sudah Ghaffar siapkan untuknya tadi dan menenggaknya hingga habis tak bersisa, “I saw a news about you, ah- actually Hugo sent it to me, katanya kamu mau comeback, bener?”
“Was about to, tapi masih belum dapet izin dari my doctor. Karna fraktur kemaren masih rentan buat retak lagi, so I won’t risk my life for a match.”
Ghaffar dapat melihat bahwa Eijaz menghembuskan nafas lega, “Ah, syukurlah. Hampir aja aku mau nyeret Noah kalo sampe beneran kamu comeback padahal baru aja cedera.”
Ghaffar tertawa melihat bagaimana seriusnya ekspresi Eijaz yang justru terlihat lucu di matanya, “Iya, seret aja Bang Noah nanti. Bang Stefan juga pasti bakal dukung Kakak buat nyeret Bang Noah.”
“You’ve got two possessive men behind you, Ghaf. Jadi awas aja yang berani macem-macem, aku yang maju buat jotosin!” ancam Eijaz sambil mengangkat tangannya yang terkepal seolah siap untuk meninju seseorang.
Lelaki yang lebih tua darinya itu kemudian kembali menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa, memijat pelan sisi kepalanya dengan dua ibu jari miliknya.
“You tired?” suara lembut Ghaffar itu menyapa telinganya, hanya dengan pertanyaan sederhana, suasana hati Eijaz membaik seketika.
“Iya, capek…”
“Coba sini, Kak, nyandar di bahu aku.”
Sungguh, jika saja Eijaz bisa merekam suara lembut itu tentu saja ia akan memutar ulang suara itu setiap saat, terlebih ketika ia sedang lelah seperti saat ini.
“Kamu katanya mau peluk? I want my hugs, Ghaf. Kinda need it to be honest…”
Tanpa basa-basi lain, Ghaffar dengan cepat menarik pinggang Eijaz dan memeluknya dengan erat. Eijaz menyandarkan kepalanya pada pundak Ghaffar, menyelipkan kedua tangannya untuk melingkari pinggang ramping pilik Ghaffar dan ikut menariknya, mempererat pelukan hangat yang sedang mereka bagi bersama. Tak ada suara lain selain suara hembusan nafas milik masing-masing juga suara televisi yang masih menyala. Eijaz menarik nafas panjang dan menghelanya pelan, semakin menyurukkan wajahnya pada ceruk leher Ghaffar yang kini menjadi tempat nyamannya.
“You can tell me anything you want, Kak. I’m all ears for you.” Ghaffar seolah paham dengan apa yang sedang mengganggunya, belaian lembut telapak tangan milik lelaki itu ikut menyapa punggungnya, menambah rasa nyaman yang sekarang sudah membuat pikiran Eijaz tak sekacau sebelumnya.
“Aku cuma lagi ngerasa capek aja, Ghaf. Mungkin karena kemaren lumayan lama ga promosi lagu, kerjaan juga paling iklan sama meetings doang, sekarang balik ke rutinitas awal. Studio, practice room, meetings, shootings, mana mau ada showcases sama fan meetings in the near future. Aku capek, pengen gini aja seharian, cerita sambil dengerin suara detak jantung kamu…”
“Nanti aku dibilang pacar yang bawa pengaruh buruk kalo Kakak maunya seharian sama aku, ngga kerja?” tutur Ghaffar pada Eijaz yang terkekeh geli mendengar jawabannya.
“Ih, bukan gitu maksud aku…”
“I know,” Ghaffar menarik tubuh mungil kekasihnya dan kemudian membawa satu tangannya untuk mengusap pelan lengan milik Eijaz, “It’s okay. You can be tired too. We are all human anyway. Kamu cuma belum kembali terbiasa dengan rutinitas lama aja, Kak. Capek ya wajar, makanya kalo udah pulang kerja seharian dan ngerasa capek begini, harusnya kamu istirahat. That’s why dari tadi aku ngga ngebiarin kamu ngerjain apapun selain nungguin aku selesai.”
Eijaz kemudian tiba-tiba menyadari bahwa memang setibanya Ghaffar di rumahnya, memang Ghaffar yang menyelesaikan semuanya. Memasak, mencuci piring, menyiapkan minuman, hingga memijat pelan kepalanya tadi. Tanpa diminta, Ghaffar melakukan segalanya.
“Ghaf, aku baru sadar… Kamu kenapa manis banget sih? Padahal aku ga minta…”
“Karna pacarnya lebih manis, mungkin?” Ghaffar tersenyum, kemudian membubuhi satu kecupan singkat pada kening Eijaz, “I did it all because I wanted to, jangan ngerasa terbeban atau gimana ya? Lagian aku juga ngerasa aku egois kok? I noticed that you’re tired tapi tetap nawarin diri untuk nyamperin kamu ke rumah. Glad that I can help you even for a little thing.”
“You know that I’ll forever be grateful for that…” Eijaz mengangkat wajahnya, memberikan satu hadiah berupa kecupan di pipi Ghaffar sebagai rasa terima kasihnya, “Makasih, sayang.”
“Anything for you,” Ghaffar menarik tubuh Eijaz untuk kembali mengeratkan pelukannya, mengusap pelan puncak kepala Eijaz penuh kasih sayang, “Kak, kalo capek istirahat ya? You can choose whatever makes you feel better, there are so many things in this world, you can select one or more to make you feel better- such as reading some books, watching some movies, or anything. It’s okay if you think too much and needs to get rid of the bad thoughts, tapi jangan sesekali nyerah atas mimpi kamu. I know how much you love to sing. You love your fans so much. Seegois-egoisnya aku, I still didn’t want to let that angelic voice of yours only for me. I love to see how spectacular you are when you hold a mic and sing- walaupun aku belum pernah lihat langsung, I can see it clearly whenever I saw your pictures. Jangan biarin rasa capeknya bikin kamu berhenti, apalagi nyerah. No, I know Eijaz Javas Arsalan will never do that. My boyfriend will never do that…”
Damn, Ghaffar just made him fall even harder than before in a blink of an eye.
“Ghaf, astaga… Aku jadi malu…”
“Ngga usah malu, sayang. Aku juga pasti ada capeknya. Kalo waktu aku ngerasa mau nyerah udah ada kamu pasti aku juga bakal cerita ke kamu, Kak. Sayangnya belum…”
“Emang kamu pernah ngerasa too much juga?”
“Ya pernah? Rutinitas itu pasti ada yang bikin jenuh, capek, sama stress. Aku juga pasti pernah di posisi itu. Cuma setiap inget Bang Stefan, Mama sama Papa, semangatku balik lagi. Kalo Kak Ei waktu itu udah sama aku juga pasti aku bakal lebih semangat.”
“Kamu tuh! Bisa aja ngomongnya.”
“Just telling a fact though. Keadaannya bakal sama kaya gini, aku bahkan mungkin bakal lebih nuntut kamu, entah minta kamu buat ngga lepasin pelukan, or just simply caressing my head with your tiny hands until the morning comes…”
“Kalo sekarang aku yang minta itu gimana, Ghaf?”
Ghaffar meliriknya, mendadak bingung dengan pertanyaan Eijaz, “Minta itu? Minta apa?”
“To keep hugging and caressing my head like this until the morning comes?” tanya Eijaz, menatap Ghaffar penuh harap.
“Punya power apa aku buat nolak?” ujung jari telunjuk Ghaffar menyentuh puncak hidung Eijaz, menyentuhnya pelan. Ia kemudian menurunkan wajahnya hingga ujung hidung dan kening keduanya bersentuhan, “Of course I’ll grant it.”
Tak butuh waktu lama, tanpa harus bertukar sinyal dan dengan jarak tipis yang tadinya masih memisahkan mereka, kini Eijaz dapat merasakan sentuhan manis bibir Ghaffar pada bibir tebalnya. Kedua mata Eijaz secara otomatis terpejam, menikmati sentuhan yang dengan mudahnya melumpuhkan seluruh kinerja otaknya. Ia tak mampu bergerak, membiarkan Ghaffar menyampaikan rasa sayangnya.
Eijaz tak pernah berpikir bahwa hari ini akan datang. Hari di mana Ghaffar akan menjadi pihak yang lebih mendominasi atas dirinya. Ghaffar selalu menjadi kelemahan sekaligus kekuatan besar bagi Eijaz, terlebih di saat seperti ini pun Ghaffar mampu membuatnya bak kehilangan seluruh kuasa atas dirinya, namun di saat yang bersamaan, kehadirannya merupakan sumber kekuatan yang tak akan pernah bisa Eijaz ukur besarnya.
“Love you, Eijaz…” bisik Ghaffar saat tautan bibir keduanya terputus, “I love you so much, please remember that for a long time.”