Tepat saat pintu toilet terbuka, di saat itu pula Ian tiba di hadapannya. Isa yang tak menyangka bahwa ia akan bertemu Ian di tempat yang tidak tepat itu ingin sekali mengutuk Sagala yang dicurigainya.
“Kak,” sapa Ian pada Isa yang terkesiap kaget, “Ketemu juga akhirnya.”
“Ian, maaf ya tadi aku ga lihat ada notif dari kamu.” ucap Isa pelan, merasa sedikit bersalah karena telah berbohong.
“Ngga apa-apa, aku tadi tanya Kak Gala, tapi katanya Kak Isa udah turun duluan. Tapi aku cari ke bawah ngga ada, jadi aku naik lagi ke sini.”
“Gala bilang aku turun?”
“Iya, kata Kak Gala tadi Kakak pamit turun ketemu aku?”
Dari raut wajah Ian, Isa tahu lelaki tampan itu tak sedang berbohong kepadanya. Ternyata Gala tak sedang menjahilinya, ia justru menutupi rasa malu Isa sesuai pintanya.
“Iya ya? Maaf ya Ian, kamu jadi bolak balik gini.” ucap Isa dengan raut wajah tak nyaman, “Maaf juga udah bikin nungguin lama, padahal aku bilang sebentar aja nemenin Gala.”
Ian lalu terkekeh pelan, membuat gigi kelincinya terlihat jelas di mata Isa, “Ngga perlu minta maaf, Kak. Not a big thing to be sorry about. Mau pergi sekarang ngga, Kak?”
“Emang mau ke mana?” tanya Isa padanya.
“Aku ngikut maunya Kak Isa aja, kalo Kak Isa ada rekomendasi, hehe.”
Ian mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan sedang, tak ingin membuat Isa merasa takut dan tak aman ketika bersamanya. Dua tangan kakak tingkatnya itu kini melingkar erat pada tubuhnya, berpengangan dengan kuat tanpa peduli dengan puluhan pasang mata yang melihat mereka. Presensi Isa terlalu besar untuk diabaikan, terlebih kini ia tengah bersama Dylan Shankara, lelaki yang terkenal unreachable di kampus ternama tempat mereka mengambil studi.
Kedua anak adam itu belum terlalu lama saling mengenal, dan beberapa hari belakangan ini memang lebih banyak menghabiskan waktu untuk sekedar bertukar pesan singkat di waktu luang mereka. Ian sebenarnya secara terang-terangan menunjukkan minat, namun Isa masih sedikit takut bahwa ia yang salah tangkap. Tapi, nyatanya rasa yang tumbuh di antara mereka terlalu nyata untuk diabaikan. Terlebih seperti saat ini, saat Isa menyampirkan dagunya pada satu sisi bahu Ian yang tengah memfokuskan pandangannya pada jalanan ramai sore hari itu dengan dua tangannya yang bertautan di bagian depan tubuh Ian, menyamankan dirinya di sana.
Bagi Isa, Ian sudah seperti rumah. Rumah yang selalu menyediakan hangat untuknya. Ian merupakan sosok yang tak pernah ia cari, namun Tuhan memberinya jalan untuk berjumpa dengan lelaki sopan yang berani pasang badan untuk membelanya tempo hari. Dan untuk hal sederhana itu, Isa bersyukur. Meski mungkin saat ini Ian hanyalah seorang teman baginya, ia tetap bersyukur karena kini ia akan selalu ada tempat untuk pulang.
Baik Ian maupun Isa kini terdiam dengan senyuman yang terpatri jelas di wajah masing-masing meski tak dapat bertatap langsung. Ian merasakan tubuhnya menghangat kala Isa mengeratkan pelukannya di belakang sana, membiarkan kulit punggungnya merasakan debaran jantung Isa yang sama lajunya dengan debaran jantung miliknya. Ian senang ketika ia dapat menghabiskan waktu berdua dengan Isa, seolah semesta kini tengah memberinya ruang untuk menjelaskan rasa.
Keduanya kini telah sampai pada tujuan mereka setelah sesi makan siang tadi. Isa yang memejamkan kedua matanya kala angin menerpa kulit wajahnya itu kini tersadar bahwa perjalanan mereka telah terhenti. Pandangannya lalu mengedar pada seluruh penjuru tempat yang mampu dijangkau dengan manik sabitnya, berdecak kagum pada pemandangan yang terhampar di hadapannya.
“Ian, ini di mana?”
“My hidden gem,” ucap Ian sambil tersenyum, “Aku kalo lagi uring-uringan, biasanya ke sini sendirian Kak.”
“And now you share it with me?”
“Of course,” jawab Ian sambil tertawa kecil, “I love to share my favorite thing sometimes.”
Isa menggigit bibir bawahnya, entah mengapa hatinya mulai merasa tak karuan. Laju debaran jantungnya semakin menjadi tatkala Ian dengan lembut melepaskan helm yang dikenakannya, lalu memegangi lengannya saat ia turun dari motor milik lelaki itu.
Gawat! Beneran bisa gila gue kalo Ian kaya gini terus…
Isa memegangi dadanya yang bergemuruh, berharap Ian tak mendengarnya.
Ia lalu mengikuti derap langkah kaki Ian, lalu ikut duduk di atas hamparan rumput hijau bersama dengan Ian yang sudah terlebih dahulu membentangkan sapu tangannya di sana, membiarkan Isa mendudukinya agar celana lelaki itu tak kotor karena tanah.
Hal itu membuat hati Isa menghangat, namun ia justru melakukan hal yang tak diduga oleh Ian. Satu tangan mungil Isa lalu mengambil kain tipis itu, memasukkannya ke dalam saku celana jeans yang ia kenakan lalu duduk tak beralas apapun di sebelah Ian.
“Thank you for being a gentleman, Ian. But I prefer to sit without nothing under me, just like you.”
Ian terkekeh pelan, lalu menganggukkan kepalanya, tak membantah tindakan Isa. Kini kedua lelaki itu duduk sambil memeluk lutut masing-masing, menikmati matahari sore yang terlihat indah meski masih terasa terik.
“Tadi enak ga makanannya?” tanya Isa memecah keheningan, bertanya pada Ian yang duduk di sampingnya.
“Enak, Kak. A very hearty meal.” jawab Ian dengan jujur, “Sederhana, tapi beneran enak banget. Kayanya nanti aku ngulang ke sana deh.”
Isa lalu mengangguk, “That’s so simple, makanan rumahan, tapi aku suka banget ke situ. Glad that you like it too, jadi ga ngerasa bersalah kalo kamu tiba-tiba sakit perut.”
Suara tawa Ian lalu mengisi rungunya, “Ngga lah, Kak. Beneran enak, kok? Makasih udah ngasih tau ke aku.”
“Skor kita sama sekarang,” tutur Isa tiba-tiba sembari menolehkan wajahnya untuk menatap Ian, “Rumah makan tadi itu hidden gem aku. I never bring anyone there before you.”
Mendengar pengakuan Isa, kedua sudut bibir Ian terangkat membentuk satu senyuman yang membuat Isa bersumpah bahwa benar lelaki muda itu telah membuatnya jatuh cinta dengan cara yang paling sederhana.
Keduanya lalu terdiam, sibuk menikmati semilir angin yang tertiup ke arah mereka. Beruntung Ian sempat meminjamkan jaket miliknya untuk Isa pakai, sebab jika tidak mungkin saja lelaki itu sudah terbakar matahari juga kedinginan di sore hari. Senyuman di wajah Ian tak terputus, dan Isa menyadari hal itu.
“Kenapa senyum-senyum?” tanya Isa penasaran, “Aku aneh ya?”
“Ngga, Kak.”
“Terus kenapa?”
“Masa aku ngga boleh senyum?” protes Ian sambil tertawa kecil, “Ya udah kalo gitu aku cemberut aja.”
Dan Ian melakukan apa yang ia sebutkan, mengerucutkan bibir tipisnya lucu, membuat Isa tertawa terbahak-bahak di sebelahnya. Ian sejujurnya tak dapat menahan tawa, namun ia berusaha keras untuk menahan diri karena ingin mendengar suara tawa Isa lebih lama.
“Apa sih, Ian? Lucu banget kalo cemberut gitu!” Isa lalu menepuk lengannya pelan, “Udah ih, cocokan senyum!”
“Tadi katanya ngga boleh senyum?”
“Aku ga ada bilang ga boleh senyum loh? Cuma nanyain aja kenapa kamu senyum-senyum sendiri, gitu.”
Ian lalu menganggukkan kepalanya, tak ingin memperpanjang perdebatan tak ada arti itu. Ia lalu menoleh ke arah Isa, membenarkan posisi jaketnya yang turun dari bahu kecil Isa.
“Kak?” panggil Ian pelan.
“Hm?”
“Kak Isa deket sama Kak Gala?”
“Deket,” jawab Isa singkat lalu menatap wajah Ian, “Kenapa memangnya?”
“Ngga, nanya aja.”
Keheningan lalu kembali mengisi dan tak ada satupun dari mereka yang hendak memulai kembali perbincangan yang harusnya ada. Dering telepon milik Isa lalu menjadi suara lain yang memecahkan kesunyian di sana.
“Bentar ya, Ian. Ini Gala nelpon.”
Isa beranjak dari duduknya sebelum Ian membuka mulut untuk mencegahnya pergi. Ian lalu menunduk, meraih ponselnya yang ia letakkan di sisi tubuhnya dan mengetikkan sesuatu di sana. Wajahnya murung, merasa tak senang dengan fakta bahwa Isa dan Gala ternyata lebih dekat dari yang ia duga. Ian nyaris menyerah sebab siapa yang mampu menolak pesona Sagala Adhitama, lelaki tampan nan sempurna yang kini menjabat sebagai Ketua BEM kampus mereka.
Ian tenggelam dalam pikirannya sendiri yang sudah melalang jauh entah ke mana saat Isa kembali duduk di sampingnya, dan tepukan pelan Isa pada bahunya dengan cepat menyadarkan lamunannya.
“Maaf ya, Gala memang rewel kadang-kadang.”
Ian mengangguk pelan.
“Ian gapapa?” tanya Isa kemudian, “Kok diem? Jangan bilang sakit perut?”
Mendengar kepanikan pada suara Isa, Ian lalu mengangkat wajahnya dan tersenyum, “Ngga apa-apa Kak, aku ngga sakit perut.”
“Syukurlah,” Isa menghela nafasnya perlahan, “Terus kenapa tiba-tiba diem?”
Ian tampak ragu, ingin bersuara namun ada rasa segan di sana. Ia tak ingin merusak suasana baik sore yang indah itu. Namun pertanyaan seputar kedekatan Isa dan Gala terus menerus berputar di kepalanya.
“Kak Isa pergi sama aku, Kak Gala ngga marah?” tanya Ian asal.
“Hm? Ngga lah, Ian. Kan udah janji duluan sama kamu, si Gala aja tuh yang nyerobot, rewel minta temenin.”
“Beneran?”
“Iya, don’t worry.” Isa menepuk pelan bahu Ian, “Gala memang rewel dari dulu.”
“Oh gitu, kayanya emang deket banget ya kalian?”
“Deket banget, kaya kembar kadang, tapi kalo lagi barengan ya gitu, jahil anaknya. Gala tuh rese, doyan jahilin orang, termasuk gue.”
Ian mengangguk mengerti. Jemarinya lalu sibuk memainkan ujung celana miliknya seraya berpikir sebelum mengeluarkan kalimat baru dari bilah bibirnya.
“Jangan sama Kak Gala,” ucap Ian pelan.
“Hm? Apa Ian?”
“Kak Isa sama aku aja, jangan sama Kak Gala.” ulang Ian dengan kalimat yang lebih jelas.
“Iya, ini kan aku sama Ian? Gala biarin aja di kampus sendirian, dia kutu buku.” ucap Isa sambil tertawa lucu.
Ian mendongak, menolehkan wajahnya ke arah Isa yang kini sibuk menutupi sinar matahari yang tersorot langsung ke wajahnya, “Maksud aku, Kak Isa ngga usah deket sama Kak Gala, Kak Isa sama aku aja.”
Deg!
Isa bukanlah remaja yang tak paham arti situasi saat ini. Raut wajah Ian yang tersipu namun serius itu membuat jantungnya kembali berdebar tak karuan. Tatapan hangat kedua manik bambi indah milik Ian itu kini tengah menatap kedua matanya bergantian, dan di saat itu pula Isa tahu bahwa perasaan mereka saling bersambut.
“Sebentar, Ian. Aku mau ngomong boleh?”
“Boleh, Kak.”
“Ian kenapa sama Gala? Ngga senang?”
“I’m okay with him in general, he’s my senior afterall. Tapi hari ini waktu aku tau dia dekat sama Kak Isa, aku anxious.” Ian berkata jujur dan Isa tahu itu.
“Anxious kenapa?”
“Takut Kak Isa milih Kak Gala.”
Lagi-lagi Ian berkata jujur. Lelaki tampan itu terkadang terlihat lugu di hadapannya, meski Isa tahu ini bukan kali pertama Ian.
“Milih Gala?” tanya Isa pada Ian, memastikan bahwa ia tak salah dengar.
“Iya. I don’t know if you noticed this or not, but I like you, Kak Isa. Since day one. I’ve been waiting for the day when I can get closer to you, karena waktu itu Kakak masih ada pacarnya. Then the day came, and I finally got closer to you until today. I really want to tell you sooner, but sometimes I’m scared that you’ll dislike me, or worse, hate me. I don’t want to rush everything, I want to be friends with you first. Then this Kak Gala thing came up, bikin kepikiran aja. Mana Kak Jovi juga nakut-nakutin terus, jadi makin pusing. That’s why I asked you out today, biar Kak Gala ngga deketin kamu, Kak.”
Isa tak tahu harus berekspresi seperti apa, namun kini hatinya merasa lega meski perutnya tengah diserang jutaan kupu-kupu yang hidup di sana sebab pengakuan yang baru saja Ian ucapkan kepadanya.
Dylan Shankara, lelaki yang dicap sebagai lelaki dingin di kampusnya itu kini justru tengah mengutarakan rasa, dengan pipinya yang memerah karena tersipu, juga matanya yang membulat sempurna kala bertukar tatapan hangat dengan sepasang mata indah milik Killian Isaac.
Ian menyukainya, sama dengan perasaan Isa untuknya.
“Ian?” panggil Isa padanya, “Aku abis ini minta izin buat cubit pipi Ian, boleh?”
“Kenapa Kak? Kok tiba-tiba?”
“Soalnya kamu bener-bener gemesin, aku ga kuat buat ga cubit pipi kamu sedikit aja, segini,” Isa memberi isyarat dengan ibu jari dan jari telunjuknya yang mungil, “Boleh ya?”
“Boleh, tapi nanti dulu.”
“Iya, nanti ya, abis kita ngobrol?”
Anggukan pelan Isa dapatkan dari Ian yang tersenyum simpul.
“Jadi, ceritanya ini tuh Ian suka sama aku, terus Ian cemburu karena Gala deket sama aku, gitu?”
“Iya.”
Isa tertawa, dan suara tawa itu terdengar merdu di telinga Ian yang tak melepas tatap dari wajah cantik Isa yang terkena sinar mentari sore. Isa lalu mengatur nafasnya, menatap Ian yang menunggu, lalu mengulas satu senyuman hangat.
“Ian mau ga jadi pacar aku?” tanya Isa tiba-tiba, membuat kedua bola mata Ian yang bulat itu membesar.
“Apa, Kak?”
“Ian mau jadi pacar aku ga? Soalnya aku sayang banget sama Ian.”
Hati Ian bergemuruh hebat, darah dalam tubuhnya berdesir karena pengakuan Isa padanya. Ian tak menyangka bahwa perasaannya telah terbalas, sebab Ian berpikir untuk dengan sopan meminta izin Isa agar ia bisa mendekati Isa secara terang-terangan, belum terpikir untuk meminta lelaki itu untuk menjadi kekasihnya.
Namun ternyata Ian terlambat selangkah. Sosok seniornya itu ternyata lebih dulu mengambil langkah cepat, menyatakan rasa juga asa.
“Kok? Tiba-tiba? Kamu lagi iseng ya, Kak?”
Isa meraih satu tangan Ian untuk ia tempelkan pada permukaan dadanya, membiarkan Ian merasakan debaran jantungnya yang tak karuan, “Kalo iseng, ga bakal kaya gini kacaunya sih, Ian.”
“Tapi kalo Ian belum siap, gapap — ”
“Mau!” seru Ian semangat, memotong kalimat Isa dengan terburu-buru, “You’re mine, Kak. Kamu pacarku. Kak Isa pacarku, period.”
Gelak tawa Isa kembali terpecah, mengisi udara puncak bukit yang menjadi tempat rahasia Ian bersamaan dengan suara angin yang semakin kencang, “Kenapa jadi buru-buru gitu jawabnya? Padahal aku mau ngasih waktu buat kamu mikir dulu?”
“You have no idea how many times I played this scenario in my head when you finally became mine, Kak. Jadi aku ngga perlu pake mikir, udah tau jawabanku apa.”
“Bukan karena Gala?” goda Isa padanya, “Bukan karena takut aku deket sama Gala?”
“Itu juga agak menakutkan, apalagi memang kalian deket,” Ian lalu meraih tangan mungil Isa, menggenggamnya erat dan ia tautkan dengan tangannya yang hangat, “But, there’s nothing he can do now, you’re mine now. Kamu pacarku, Kak Isa.”
Melihat bagaimana tingkah Ian yang menggemaskan itu, Isa mengambil inisiatif sendiri untuk memajukan wajahnya dan mengecup pelan pipi milik Ian yang merona, “Iya, aku punyanya Ian sekarang, pacarnya Dylan Shankara si cowok cemburuan.”
Senyuman manis Isa membuat segalanya nyata. Ian yang tadinya masih tak percaya dengan hubungan barunya itu kini dapat memastikan bahwa benar Isa adalah miliknya. Kecupan manis yang lagi-lagi Isa berikan kepadanya itu menjadi tanda, menjadi hal yang akan ia ingat untuk waktu yang lama. Isa kini memeluknya, melingkari tangannya pada tubuh Ian sementara tubuhnya juga direngkuh erat oleh kedua lengan kekar Dylan Shankara. Keduanya berpelukan lama, sibuk mengucap syukur sebab rasa yang dimiliki keduanya ternyata sama.
“Abis ini jangan sama Kak Gala lagi,” ucap Ian di tengah pelukannya, “Kalo Kak Gala minta temenin ke mana-mana, bilangin aja kalo kamu udah punya pacar, Kak.”
“Iya, nanti aku umumin kalo aku punya pacar,” jawab Isa dengan tawanya, “Kamu masih cemburu ya?”
“Sorry, but I have to admit this one. Iya, aku rada cemburuan, jadi kamu ngga boleh aneh-aneh, Kak.”
Isa mengangguk mengerti, lalu menarik diri dari pelukan hangat yang dibagi oleh sepasang kekasih baru itu. Jemari mungilnya kini sibuk merapikan rambut Ian yang berterbangan karena angin, lalu ia sampirkan ke telinga milik Ian dan berkata, “Tapi, pacar aku ga boleh cemburu sama sepupuku sendiri loh, Ian.”
“Hm? Apa, Kak?”
“Kamu ga boleh cemburu sama saudara pacar kamu sendiri. Sagala itu saudara sepupuku, anak dari kakaknya Mamaku, hehe…”