“I bring some news.” ucap Vito saat langkah kakinya sampai di hadapan Ghaffar dan Noah yang sedang berbincang, “Good and bad, mau denger yang mana dulu, Ghaf?”
“The good one first.”
“Lo dikasih izin buat gak ikut match, dan match berikutnya lo boleh ikut dengan syarat kalo lo udah 100% pulih.”
Ghaffar mengangguk-anggukkan kepalanya, tersenyum tipis karena merasa sedikit lega, “Syukurlah, at least gue masih dikasih izin buat ikut match selanjutnya meskipun harus gue relain satu.”
“Glad that you see it from the positive side.”
“Terus, what’s the bad one?” tanya Ghaffar pada Vito yang raut wajahnya berubah serius.
“I’ll leave you two, gue mau nelpon juga.” Noah kemudian melambaikan tangannya, mempersilakan Vito juga Ghaffar untuk melanjutkan perbincangan yang mungkin saja memang tak harus melibatkannya.
“Some people noticed you this morning, di toko bunga.”
Ghaffar memejamkan kedua matanya, mendadak merasa pusing mendengar apa yang baru disampaikan oleh Vito, “Kok bisa? Gue pake masker sama topi padahal?”
Vito kemudian mengusap layar ponselnya, menunjukkan sesuatu kepada Ghaffar. Kedua mata bambi itu terfokus pada apa yang ditampilkan di sana, raut wajahnya berubah serius kala membaca tulisan tiga akun berbeda yang menyertakan foto dirinya yang sedang membeli bunga untuk Eijaz tadi pagi.
“Ini kenapa gue dari awal wanti-wanti lo, Ghaf. Gak lama lagi bakal masuk berita lagi nih, belom juga kelar masalah tweet lo tempo hari.”
“Shit, sorry, Vit. I acted so carelessly…”
“Gue gak mikir masalah apapun sekarang, justru yang gue khawatirin tuh keadaan lo.” Vito menatap wajah Ghaffar yang terlihat sedikit pucat, “Lo gak apa-apa?”
“Not really, but I’m trying to.”
Vito menarik pelan lengan Ghaffar untuk ia bawa duduk di kursi yang terletak tak jauh dari keduanya. Ia dengan cepat bergegas pergi mengambil tas yang ia bawa, mengeluarkan sebotol minuman untuk Ghaffar.
“Minum dulu.”
Ghaffar menyesapnya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri yang tanpa ia sadari mulai panik. Noah yang melihat keduanya pun ikut merasakan atmosfer yang berbeda dari biasanya. Ghaffar yang tertunduk lesu dengan wajah yang mulai dipenuhi bulir keringat itu membuatnya mulai merasa tak nyaman. Tanpa berkomunikasi melalui suara, Vito memberinya sinyal yang dengan cepat dimengerti oleh Noah.
“Lo istirahat aja hari ini, Ghaf. Nanti kita atur jadwal lagi ya?”
“I’m good enough, Coach…”
“No, you’re not, please, nurut. Gue gak mau lo cedera lagi”
“I’m not that weak…” ucap Ghaffar dengan lirih, “I’m okay now, ayo latihan aja…”
Sikap keras kepala Ghaffar kali ini bukan tanpa sebab. Ia masih merasa bersalah dengan kesalahan besarnya tempo hari yang menyebabkannya harus tak ikut ambil bagian dalam pertandingan yang akan datang karena harus fokus dengan penyembuhannya, maka ia tak ingin mengulur waktu lagi meski ia sendiri paham dirinya mulai diserang rasa panik.
“Vito, mending lo bawa dia pulang.”
“Oke, Bang.”
“Vit, ngga. Gue ngga mau pulang.”
“Lo harus pulang, Ghaffar. Gak ada kata ‘ngga mau pulang’. Lo harus pulang.” Ghaffar paham Vito sedang tidak bercanda hanya dengan dari suaranya, namun ia masih tak bergeming, tak bergerak dari posisinya.
“Lo ikut gue pulang sekarang, atau gue bilangin ke Bang Stefan?”
Kedua matanya terpejam lagi, Vito dan Noah dapat mendengar helaan nafasnya yang berat sebelum wajah pucat Ghaffar dapat keduanya lihat dengan jelas setelah sang empunya mengangkat kepalanya, “Don’t tell Bang Stefan, Vit…”