Eijaz

raine.
7 min readAug 27, 2022

--

sr. pinterest

Berada di tengah taman kota yang sedang sepi pagi itu membuat Ghaffar merebahkan tubuhnya dengan nyaman di atas rerumputan. Ia menyampirkan satu tangannya ke belakang kepalanya, memejamkan mata dan menghirup udara segar yang ada di sana. Terik matahari tak terlalu mengganggunya, ia justru sanggup membalas sinar mentari dengan senyuman manisnya.

Menjauh dari hiruk pikuk kehidupan sosialnya, kini Ghaffar mampu sedikit bernafas lebih lega dari beberapa hari terakhir. Meski masih berat untuknya, ia menyanggupi untuk bangkit karena ia juga ingin sembuh dari luka lamanya. Ditemani nyaris setiap saat oleh sang kekasih melalui video call atau sebatas saling berbalas pesan singkat nyatanya mampu membuat Ghaffar bersemangat. Untuk itu ia berterima kasih pada Eijaz yang selalu bersedia menunggunya kembali.

Eijaz baru saja mengiriminya sebuah foto yang menjadi sebab utama senyuman hangat terukir jelas pada paras tampan Ghaffar kali ini. Foto Eijaz yang menunjukkan ekspresi sedih karena seekor anjing tetangganya tak mau bermain dengannya. Raut wajah menggemaskan Eijaz yang selalu Ghaffar rindukan sejak dirinya tersadar dari tidur panjangnya. Eijaz juga tak lupa memastikan bahwa dirinya masih dicintai meski Eijaz telah menyaksikan sisi lemah dirinya yang masih belum sempat Ghaffar ceritakan.

“Kenapa lo senyum-senyum gitu?” suara sang kakak yang muncul dari belakang dan memecah keheningan paginya, “Pasti abis ngebucin sama Eijaz ya?”

Stefan kemudian berjongkok di sebelah Ghaffar, melihat bagaimana tenangnya sang adik yang tengah berbaring di sana, “Kangen ya, Ghaf?”

Absolutely.” jawab Ghaffar dengan mantap, “Ngga pernah ngga kangen sama Kak Ei…”

Tanpa ia tanya pun, sebenarnya Stefan sudah tahu betapa Ghaffar teramat merindukan presensi Eijaz di dekatnya. Ghaffar beberapa kali tertangkap menyebut nama Eijaz di tengah tidurnya. Stefan juga sering kali melihat bagaimana tubuh besar sang adik itu melonjak senang kala mendapat notifikasi dari sang kekasih di ponselnya. Stefan sedikit merasa bersalah, meski ia tahu apa yang dilakukannya adalah langkah tepat.

“Eijaz nanyain gak?”

“Soal apa?” tanya Ghaffar kembali kepada Stefan.

“You- being here…”

Ghaffar kembali tersenyum, “He never asked me anything except about my conditions, and what I’ve been doing lately. Nothing more or less, he just keeps telling me what he’s doing while I’m away.”

Satu hal yang selalu disyukuri oleh Stefan terhadap keberadaan Eijaz di hidup sang adik; ia sangat tulus. Stefan bahkan sedikit tak percaya ketika Eijaz mengungkapkan rasanya terhadap Ghaffar, takut jikalau sang adik akan disakiti hatinya karena Eijaz berlatar belakang seorang public figure- sesuatu yang selalu Ghaffar hindari. Namun dengan Eijaz, Ghaffar berubah drastis. Meski masih menyimpan ketakutan, kali ini ia lebih berani.

I can see that he’s a very good person ya, Ghaf? Gue bersyukur orang pertama bagi lo ternyata sebaik Eijaz.”

“Me too…” Ghaffar mengulas satu senyuman manis, “Kak Ei is one of the best thing that ever happened in my life, kaya Tuhan emang sengaja ngirim dia buat aku…”

“Gue ikut seneng, Ghaf. Kalo aja gue tau segalanya bakal membaik buat lo, dari dulu udah gue kenalin tuh si Eijaz ke lo.”

“No need to, everything happened just like it should. He appeared right in front of my eyes when I was going to clear my thoughts, found a unique book store somewhere far, and he was there- giggled to whatever he read that day.”

“Udah kaya drama romansa aja kisah lo berdua ya…” ujar Stefan sambil terkekeh pelan.

“As beautiful as a fairytale I guess? But our story is my favorite, of course.” Kedua manik bambi milik Ghaffar itu nyaris hilang tertutupi oleh senyumnya yang kian mengembang. Ia kemudian menolehkan wajahnya menatap Stefan yang tengah menatap lurus ke depan, terlihat dengan jelas bahwa ia sedang tenggelam di dalam pikirannya sendiri, “Want to share your thoughts with me, Bang?

Stefan sedikit terkejut, kemudian menoleh ke arah Ghaffar yang masih berbaring di sebelahnya lalu menundukkan wajahnya sambil tersenyum getir, “Gue cuma masih ngerasa bersalah. Sebagai abang, gue malah gak bisa jagain lo segimana harusnya… Maafin gue ya, Ghaf…”

Ghaffar kemudian beranjak dari posisinya, duduk sambil memeluk lututnya sendiri. Ia menarik nafas dalam-dalam, dan menghembuskannya perlahan, “You did nothing wrong, Abang. You’ve done all the best thing for me, I even still thinking about how to repay your kindness.” Ghaffar mengulurkan tangannya, menepuk pelan punggung rapuh Stefan yang entah mengapa terlihat kecil di sebelahnya, “Stop feeling guilty for nothing you did wrong, ya? I’m trying my best to be better and stronger, biar Abang ngga ngerasa bersalah lagi.”

Sorot mata memang tak pernah berbohong. Seberapa lebar senyum yang Ghaffar lemparkan untuknya, Stefan tahu bahwa rasa sakit yang masih disimpan sang adik masih menghantuinya. Ghaffar juga sama, masih merasa bersalah atas kejadian pahit yang menimpa keduanya. Sosok adik yang empat tahun lebih muda darinya itu hanya berusaha untuk membuat Stefan lebih tenang, membiarkan dirinya sendiri yang terbebani.

“Kalo lo bisa ngomong gitu, gimana kalo gue balikin kalimat itu ke lo, Ghaf?”

“Maksudnya?”

“I have to be stronger and better too, so you don’t feel guilty anymore…”

Ghaffar tertunduk, mengulum bibirnya sendiri seperti sedang menahan diri. Ia tahu apa yang dikatakan Stefan memang ada benarnya- bahwa mereka berdua harus lepas dari rasa bersalah.

“Can we?” tanya Ghaffar dengan suara lirih, “Can we really escape from this guilt, Bang? I can’t even imagine how to live my life without remembering everything. I can vividly remember every details, and-” Ghaffar menjeda kalimatnya, mengatur nafasnya sendiri untuk menenangkan diri, “A-and his l-last-”

Kalimatnya total terhenti kala tubuh kecil Stefan memeluknya kuat. Air matanya kembali tumpah, tak lagi kuasa menahan emosinya sendiri. Stefan tak berpikir panjang, yang ia lakukan hanya menenangkan Ghaffar yang bisa saja kembali diserang kepanikannya. Tubuh besar sang adik itu bergetar hebat. Sosok kuat yang selalu Ghaffar coba tunjukkan itu ternyata tak bisa terus berpura-pura. Stefan mengelus pelan punggungnya, menenangkan Ghaffar yang tengah terisak. Hatinya pilu melihat Ghaffar kembali menunjukkan sisi terdalam yang sudah lama ia tutupi.

Stop, jangan dilanjutin ya, Ghaf…” Pelukan Stefan pada adiknya mengerat, “Jangan ya, I beg you, I-I’m sorry, Ghaf…”

Stefan membiarkan Ghaffar mencurahkan seluruh isi hatinya di sana, membiarkan tubuhnya menjadi tempat untuk Ghaffar menumpahkan seluruh air matanya. Ghaffar jarang sekali menangis, mungkin sudah bertahun-tahun lamanya Stefan tak melihat sang adik menangis. Maka yang ia lakukan kini hanyalah diam, memeluk Ghaffar dengan erat hingga ia tenang.

Can I heal, Bang?” suara lirihnya menusuk telinga Stefan. Ghaffar kemudian menarik diri, mengusap wajahnya yang sudah dibasahi air mata dengan lengan jaket yang dikenakannya, “Apa gue bisa sembuh? Apa gue boleh sembuh?”

“Kenapa enggak?” tanya Stefan, “Kenapa lo gak boleh sembuh?”

“Ngerasa ngga pantes…” jawabnya pelan, “How can I live my life without that wound?”

“Gue boleh ngomong sebentar, Ghaf?”

“I-iya, boleh…”

“Ghaf, sebenarnya gue tau gue juga gak pantes ngomong begini. Tapi gue rasa lo harus tau- lo banyak berubah belakangan ini, Ghaf.” ucap Stefan sembari menatap hangat wajah Ghaffar yang menunduk, “Entah lo sadari atau enggak, tapi perubahan lo ini luar biasa buat gue. Gue sebagai abang lo ngerasa lega, ngerasa tenang, ngerasa senang saat akhirnya ada alasan buat lo ketawa setiap hari. Meskipun gue tau segimana keras lo berusaha untuk terlihat normal, pada akhirnya luka lama kita tetap selalu ngehantui. Gue tau seberapa sering lo mimpi dengan nyebut nama dia- for multiple times. Dan gue gak pernah ngebahas ini karena gue tau, buka omongan soal ini sama aja dengan kita nyari penyakit. Bertahun-tahun dikubur pun, pada akhirnya ada aja kejadian lain yang memaksa kita untuk kembali,” Stefan kemudian menepuk pelan pundak Ghaffar di hadapannya, “People said that love can heal the wound that other people left for us, dan gue percaya itu setelah beberapa waktu ini ngeliat lo dan Eijaz. Lo yang selalu bisa ketawa tulus waktu sama Eijaz. Lo yang selalu bisa lupa akan rasa sakit lo sejak Eijaz hadir di hidup lo, Ghaf. Lo sadar gak?”

Ghaffar mengangkat wajahnya, menatap Stefan yang menunggu jawabannya. Ghaffar lalu menggeleng pelan, “Kinda…? I don’t really realized that…”

“Lo banyak berubah, Dek. Gue sering mergokin lo yang lagi senyum-senyum sendiri sambil ngeliatin handphone lo, video call-an sama Eijaz tengah malem, belum lagi lo dengerin lagu Eijaz yang mellow- tapi anehnya senyum lo lebar banget.”

“Masa?” Ghaffar memiringkan kepalanya, merasa bingung dengan kalimat yang dilontarkan sang kakak. Ia kemudian tampak sedikit berpikir, berusaha mengingat semua hal yang terjadi sejak Eijaz masuk ke dalam dunianya.

“You’re getting better each day, and it makes me realize that love can heal, slow but sure.”

“But still…”

“Gue tau lo ragu, Ghaf. Lo takut kalo one day lo bakal lupa semuanya. Lo takut kalo suatu hari nanti lo bisa sembuh dari semuanya, sementara hati lo selalu ngasih bisikan kalo lo gak pantes untuk sembuh. Percayalah, enggak semudah itu untuk lupa. Tapi lo inget ini juga ya, remember that you are always matter. Lo pantes sembuh- kita pantes untuk sembuh. I know you always tell The Star about Eijaz, right?” tutur Stefan sambil mengelus pelan punggung sang adik, “And please do remember this; He know that we love him, always love him…”

Jantung Ghaffar bergemuruh, tiba-tiba teringat kalimat yang juga dilontarkan Eijaz kepadanya tadi, “Kak Ei just said the same thing…

“See? Even your boyfriend said that even though he doesn’t know what happened before.”

Ghaffar tersenyum tipis, mengingat Eijaz memang benar-benar bisa membuat suasana hatinya perlahan membaik, “Kak Ei is an amazing person, I’m really lucky that I found him… I really love him, Abang. He came into my life unexpectedly, and did simple things to simply made me laugh… I am really- really happy to call him mine…

“Dia juga temen baik gue, Ghaf. Karna gue tau Eijaz memang orang baik makanya gue gak pernah ngelarang hubungan lo berdua, meskipun awalnya gue tetep posesif karna bagi gue, lo cuma boleh jadi adek gue.”

Ghaffar tertawa kecil meski wajahnya masih sedikit sembab akibat tangisannya tadi, “I’m forever your little brother, Abang. Kak Ei will never kidnap me though!”

He already kidnapped you, kid. Lo udah berani gak pulang sejak sama Eijaz.”

Tawa Ghaffar lepas begitu saja mendengar komentar sindiran dari sang kakak yang ia sadari sedang memperbaiki suasana. Stefan selalu sanggup membuatnya merasa tenang, sosok kakak yang selalu Ghaffar butuhkan di dalam hidupnya.

Stefan selalu di sana, selalu menunggu kapanpun Ghaffar pulang dari perginya.

Stefan selalu di sana, menunggu Ghaffar tenang dari sedihnya.

Stefan selalu di sana, menjaga Ghaffar dari hal jahat yang selalu siap menyakitinya.

Dan kini Ghaffar tersadar, selain Stefan kini ada orang lain yang juga mampu membawanya ke arah baru. Arah yang tak pernah ia sangka bisa ia tempuh dengan kaki lemahnya.

Eijaz, adalah satu dari banyak alasan untuk Ghaffar bangkit dari lemahnya.

Eijaz, satu dari beberapa hal yang selalu Ghaffar syukuri nyaris setiap saat.

Now I know what to do, Bang.” ucap Ghaffar setelah otaknya memutar kembali saat-saat indah yang ia habiskan bersama Eijaz di sisinya.

“Apa tuh?” tanya Stefan penasaran.

“I’m ready to tell him everything about what I told The Star about him, entirely.”

--

--

No responses yet