Escape From LA

raine.
4 min readNov 12, 2022

--

Suara riuh penonton yang berada di arena tempat Ghaffar tengah bertanding melawan petinju lain yang sama di kelasnya itu menusuk telinga siapa saja yang berada di sana. Keseruan juga tensi yang beradu membuat suasana di sana semakin membara, diikuti dengan jalannya pertandingan yang berlangsung panas namun tetap sportif.

Ghaffar Ozanich Kayana, petinju muda yang namanya tengah menjadi perbincangan sebab hubungannya dengan penyanyi kenamaan dunia- yang juga disebut-sebut sebagai pendatang baru yang berbakat itu kini tengah berada di tengah ring yang dikelilingi penonton yang tentu saja sudah terisi penuh pada setiap sisinya. Sudah dipastikan bahwa paras rupawannya akan dihiasi oleh luka lebam, namun lelaki itu dengan lihai menghadang serangan lawan yang berusaha menyerang kepalanya. Ghaffar di sana, tengah bertarung di atas nama kebanggaannya.

Menit yang berlalu terasa panjang- terlebih jika dihabiskan untuk sesuatu yang tak biasa membuat sepasang kaki mungil milik Eijaz bergerak tak sabar. Memberanikan diri untuk menyusuli Ghaffar ke Las Vegas demi memberi dukungan langsung kepada sang kekasih bukanlah hal biasa bagi seseorang yang tak pernah berhadapan langsung dengan kekerasan- terlebih itu adalah kekasihnya sendiri. Eijaz tahu resiko yang harus ia hadapi ketika mengetahui fakta bahwa Ghaffar adalah seorang petinju muda. Ia tak sama sekali keberatan, mengingat bahwa Ghaffar memiliki alasan kuat yang menjadi dasar mengapa lelaki itu memilih untuk menjadi petarung.

Tentu saja ia tak berani menonton langsung meski raganya berada di antara puluhan penonton lain yang bersorak ramai memberi dukungan kepada jagoan masing-masing. Ia sibuk menutupi kedua matanya dengan telapak tangan mungilnya, hingga bergerak gelisah untuk sesekali mengintip dari belakang kerumunan penonton yang menghalangi pandangannya.

Eijaz tak pernah sepanik ini di dalam hidupnya. Ia optimis jikalau Ghaffar akan membawa pulang piala kemenangan, namun hati tetap tak mampu dipungkiri resahnya.

Hingga suara pengumuman nyaring yang menyebut nama ‘Ghaffar Kayana’ itu membuat kedua mata Eijaz terbelalak seiring dengan para pendukung Ghaffar yang bersorak gembira, berlompatan juga saling memeluk satu sama lain yang menandakan pertandingan itu sudah usai dengan Ghaffar sebagai pemenangnya.

Eijaz tak mampu menahan rasa haru yang membuncah di dadanya, hingga sepasang kaki mungil miliknya itu berjalan pelan menyusuri kerumunan penonton yang masih larut dalam euforia kemenangan Ghaffar tanpa pengawalan ketat dari pengawal pribadinya. Tak ada hal lain yang Eijaz pikirkan, hanya Ghaffar- dan Ghaffar seorang. Meski hatinya meringis kala melihat wajah sang kekasih yang memerah, ia tak goyah melangkah maju, berlari kencang sekuat tenaga, hingga pergerakannya dapat ditangkap jelas oleh kedua manik bambi milik Ghaffar.

“No way…” gumam Ghaffar saat melihat Eijaz berlari ke arahnya. Ia tak lagi mendengar hal lain, tak lagi melihat apapun di sekelilingnya. Dengan mata yang membulat sempurna, dengan laju debaran jantung yang tak karuan, ia pun berlari ke arah Eijaz yang tengah berusaha memanjat meski penjaga mulai berusaha menghadangnya.

Kedua anak adam itu kembali bertemu, dengan Ghaffar yang membantu Eijaz untuk masuk melewati pembatas ring tinju. Kini semua mata tertuju pada dua sosok manusia yang dengan cepat menarik seluruh atensi di dalam sana. Bukan lagi sorak sorai tentang kemenangan, namun sorakan rasa bahagia kala melihat tubuh mungil Eijaz memeluk erat tubuh Ghaffar- di tengah ring tinju tanpa mempedulikan apapun.

“Kak…” gumam Ghaffar yang masih tak percaya dengan apa yang sedang terjadi, “How can?”

“Aku kabur ke sini,” jawab Eijaz yang mengeratkan pelukannya, “I come to see you…”

“Are you okay?” tanya Ghaffar lembut, mengetahui fakta bahwa Eijaz tak pernah memiliki keberanian untuk melihat dirinya bertanding, “Kak? Kamu ngga apa-apa? How’s your concert?

Eijaz hanya menjawabnya dengan gumaman pelan yang terdengar di telinganya. Ia tahu Ghaffar mengkhawatirkannya, maka ia memberi kode dengan anggukan pelan juga semakin eratnya pelukan Eijaz di tubuh Ghaffar, “Abis ini aku terbang lagi ke LA for my concert, don’t worry about that. I need to see my lucky charm- I need to see you…”

“Kak Ei…” Ghaffar pun tak dapat menyembunyikan rasa harunya, tak menyangka bahwa Eijaz akan nekat menyusul, mengalahkan rasa takutnya sendiri demi melihat dirinya bertanding di saat konsernya sendiri akan dimulai beberapa jam lagi, “Babe, thank you… I can’t manage to say the proper sentences but- thank you so much…”

Kesadaran sang petinju muda itu lalu kembali dengan cepat. Ia lalu menarik diri dari pelukan keduanya, merasa tak pantas jika dipeluk Eijaz dalam kondisi seperti ini- penuh dengan peluh keringat juga luka lebam yang mungkin baru esok hari terlihat di tubuhnya.

“Sorry, I’m dirty, Kak…”

“Don’t care,” sambar yang lebih tua sebelum kembali menarik tubuh Ghaffar untuk masuk ke pelukannya tanpa mempedulikan sorakan riuh yang semakin nyaring mengisi ruangan, “Congratulations, baby boxer. I’m proud of you, always…”

Eijaz lalu menarik diri, memberanikan diri untuk menatap wajah Ghaffar sedikit lebih lama dari yang tadi dan membubuhkan kecupan pada setiap sisi wajah Ghaffar yang terlihat memerah, “My kisses are the most powerful cure for you,” dan mendaratkan satu ciuman singkat pada bibir Ghaffar lalu berbisik, “I love you, Champ. See you tomorrow!”

--

--

No responses yet