Kedua mata bulat Ian yang sedikit tak terlihat sebab sang empunya sedang memakai topi itu benar-benar dibuat terkesima dengan penampilan memukau seorang Killian Isaac yang terlihat luar biasa di atas panggung. Lelaki itu sempurna, bahkan jika ada kata yang lebih kuat di atas sempurna, Ian akan menyematkannya pada sosok Isa yang baru saja memanjakan kedua netranya. Kedua bibir tipisnya yang ditutupi masker itu terbuka, sibuk menyuarakan kagum yang enggan ia hentikan pada tiap gerak gemulai Isa yang juga membuat seluruh pasang mata yang menontonnya terpana, takjub dengan seni yang ia tampilkan menggunakan seluruh bagian tubuhnya.
Isa terlalu indah, setidaknya bagi Ian yang baru kali pertama melihat lelaki itu tampil di atas panggung. Ia kini tak lagi merasa heran ketika banyak kalimat pujian dilontarkan pada sosok kakak tingkatnya itu, tak lagi merasa penasaran tentang bagaimana seorang Isa di mata seluruh mahasiswa kampus yang tak pernah henti menyebut namanya karena kini ia turut menjadi saksi.
“Whoa…” gumam Ian di tempatnya. Manik bambinya membentuk lingkaran sempurna yang cantik, menyuarakan kagum yang sulit ia jabarkan dengan vokal. Kedua tangannya saling bertepuk riuh, memberi apresiasi atas penampilan luar biasa lelaki yang menempati posisi khusus di hatinya dalam waktu yang singkat.
“Isa cakep ya, Ian?” ucap Jovi dengan wajahnya yang ia dekatkan pada telinga Ian.
“Perfect,” jawab Ian tanpa melepas pandangannya dari Isa, “He’s too perfect…”
Senyuman Jovi melebar, seolah paham dengan maksud terselubung dari pujian yang Ian lontarkan tanpa sadar, “I told you, Isa tuh bener-bener cakep, lebih lagi kalo on stage. Semua yang orang omongin soal gimana dia di atas panggung tuh bener, bahkan Harvey yang satu klub sama dia aja sering banget muji Isa.”
Ian mengangguk setuju, masih enggan melepas tatapnya pada sosok Isa yang tengah tertawa di atas panggung bersama Harvey dan teman-temannya. Suara riuh dari penonton yang berada di belakangnya menusuk telinga, namun Ian tak menghiraukannya, Ian tak merasa terganggu sebab apa yang sedang dipandangnya jauh lebih dapat mencuri perhatiannya.
“Lo naksir Isa, kan?” tanya Jovi pelan.
“Iya.”
Senyum Jovi mengembang sempurna. Lelaki itu lalu tertawa sambil memukul pelan punggung Ian dengan tangannya, “Udah gue duga, gak bakal bisa lo acuh sama pesona Isa. Naksir juga kan lo akhirnya?”
Ian yang sedari tadi seperti tak sedang berada di sana itu lalu menolehkan wajahnya pada Jovi, menatap lelaki itu bingung, lalu tiba-tiba tersadar dengan apa yang baru saja keduanya bicarakan, “Eh, apa? Tadi lo ngomong apa?”
“Udahlah, Ian. Tanpa lo akui pun gue udah ngerti, siapa juga yang sanggup nolak pesona Isa,” ucap Jovi sambil kembali menepuk pundaknya, “Gue dukung kalo emang lo mau deketin Isa.”
Ian panik. Kedua matanya membulat sempurna ketika menyadari ia baru saja membuat pengakuan yang tak ia kehendaki kepada temannya sendiri, “Ngga, ngga gitu Jov, itu tadi gue ngga sadar ngomongnya.”
“Yaelah, kaya baru kenal aja, Ian. Gue tau lo kalo udah tertarik sama sesuatu emang mata bulat lo itu makin gede, tiba-tiba antusias banget. Mana pas ketemu di kantin rada salah tingkah kaya bocah SMP, hahaha!” Jovi kembali menertawakannya, “Dari awal gue udah notice, sampe akhirnya yakin banget kalo emang lo naksir nih orang pas lo tiba-tiba mau nonton hari ini, padahal lo ogah banget ikut beginian.”
“Ngga, Jov. Ngga gi — ”
Dua tangan Jovi kemudian menggerakkan tubuh Ian untuk kembali memusatkan perhatiannya pada Isa yang masih di atas panggung, “Liat tuh, Isa ngelihat ke sini.”
Ian sontak menolehkan wajahnya tanpa berpikir, melihat ke arah panggung di mana Isa berdiri.
“Tuh kan! Gak usah sok denial, Ian. Baru gue sebut nama Isa aja lo langsung noleh!” Jovi menertawakannya dengan puas, sementara Ian mendengus sebal karena ia ternyata dikerjai oleh temannya itu.
“Sumpah ya, kalo mulut lo ember, gue ajak lo duel boxing, bukan basket lagi, Jov. Iseng amat lo!” Ian mencebik kesal, tak terima karena rasa sukanya dengan cepat disadari oleh Jovi. Ian lalu kembali hendak menyuarakan protes ketika kedua mata Jovi membesar kala melihat sesuatu di hadapannya, di atas panggung, namun Ian terlanjur tak percaya, “Udah, lo ngga usah bohongin gue lagi.”
“Coba liat sendiri aja kalo gitu,” Jovi memalingkan wajah, menatap Harvey yang melambaikan tangan kepadanya.
Rasa penasaran Ian kembali diusik kala sudut matanya menangkap ada sosok yang tengah melihat ke arah ia berdiri. Dan benar saja, Isa di sana, melihat ke arah ia dan Jovi berada dengan senyuman hangat yang Ian yakini memang ditujukan untuknya.
“Gimana tadi? Bagus ga?” tanya Isa yang berdiri bersandar pada vending machine, sementara Ian tengah mengambil minuman dari sana, “Lo harus jujur loh ya, jangan bohong karena ga enak kritik gue.”
Ian lalu menyerahkan sebotol minuman kepada Isa, “You’re amazing, Kak. I don’t know how to describe it in words, but you’re perfect.”
“Beneran? Gue open loh soal kritik dan saran, Ian. Jadi kalo mau ngasih kritik juga gue bakal dengerin.”
“Ngga, Kak. Beneran. I don’t like to sugarcoat my words, tapi beneran, that’s one of the most incredible performances that I’ve ever witnessed.” ungkap Ian jujur di hadapan Isa yang paras indahnya kini tersenyum lebar.
“Makasih, Ian. Semoga pengalaman pertama lo ga bikin lo nyesel nonton dance performance lagi ya?”
“Nah, thanks to you, Kak, you spare me a spot to stand so I got to watch the performances from a very perfect point of view. It was so damn perfect, and I’m glad that I come to watch.”
Ian bersungguh-sungguh, tak sedikitpun mengurangi rasa kagumnya kepada Isa yang sudah menghabiskan banyak waktu untuk latihan demi mempersiapkan penampilan yang sempurna hari ini. Meskipun ia baru beberapa hari mengenal Isa, Ian tahu Isa adalah sosok manusia yang mencintai apa yang ia lakukan. Ian dapat dengan jelas melihat bagaimana Isa mencintai tari kontemporer hanya dengan sekali lihat, bagaimana setiap gerakan tubuh Isa seperti menyihirnya untuk tak mengalihkan pandangan. Ian merasa bersyukur kala ia memutuskan untuk menyampingkan rasa malasnya untuk berbaur dengan kerumunan manusia, ingin memberi makan rasa penasarannya terhadap sosok Killian Isaac yang selalu disebut sempurna oleh khalayak ramai, dan ingin melihat bagaimana sosok yang mencuri hatinya itu berdansa dari jarak dekat, memposisikan dirinya sebagai penonton yang rela mengeluarkan pundi untuk menonton pertunjukan mahal.
Ian sudah berada di posisi itu; jatuh cinta pada sosok Isa yang bahkan tak tahu bahwa ia sedang dicintai dalam diam oleh Dylan Shankara.