Sore itu cuaca sedang tak begitu cerah seperti biasanya, seolah mendukung perasaan gundah Eijaz yang muncul semenjak ia menerima kabar bahwa Ghaffar sedang sakit. Ia bahkan tak tahu harus berbuat apa, rasanya seperti seluruh kekuatan dari dalam dirinya hilang begitu saja. Beruntung Hugo sampai dengan cepat hingga lelaki itu berhasil mengantarkan Eijaz pada tujuannya.
Suasana rumah sakit tak pernah membuat Eijaz baik-baik saja. Namun kali ini ia berusaha melawan rasa takutnya karena jikalau ia tak datang, mungkin saja ia akan merasa lebih takut dari saat ini. Dengan jaket lengkap dengan topi dan masker hitam, Eijaz tiba di tujuannya. Ia yang didampingi Hugo itu dengan cepat disambut oleh Stefan dan dua orang lain di belakangnya.
“Jaz…” sapa Stefan saat menghampiri Eijaz yang terlihat lemah, “Lo okay?”
“Hah?” Eijaz bak orang linglung karena tak dapat berkonsentrasi, “I-iya, gue okay, Stef.”
Siapapun yang mendengarnya tentu saja tahu bahwa ia sedang berbohong. Ia sedang tidak baik-baik saja.
“Is he okay?” tanyanya dengan suara pelan yang nyaris tak terdengar, “Ghaffar- is Ghaffar okay, Stef?”
Stefan kemudian merangkul pundak Eijaz, membawanya untuk duduk terlebih dahulu, karena sejujurnya ia juga khawatir melihat Eijaz saat ini, “Anaknya lagi tidur, he’s okay, Jaz. Lo jangan khawatir.”
“How can I…”
“Parah cederanya, Stef? Gue kaget pas baca berita tadi…” tanya Hugo pada Stefan.
“Oh, beritanya rilis ya? Lumayan, tapi cepet ketolong kok, kemaren langsung ditindak dokter- kata beliau kurang lebih sebulan bakal pulih. Semoga…” jawab Stefan dengan senyuman tipis.
Hugo tampak mengangguk mengerti. Ia kemudian melihat Eijaz yang tampak kebingungan dengan wajah pucat meski wajahnya tertutup masker.
“Gue beliin minuman dulu, lo pucat banget, Jaz.”
“Ng- ngga usah, Go. Gue fine.”
Hugo mengabaikannya. Ia dengan cepat membalikkan badan dan berjalan pergi dari sana, meninggalkan Eijaz, Stefan dan dua orang lainnya.
“Tangannya Ghaffar cedera, Jaz. Waktu dia latihan kayanya terlalu intens dan gak fokus, dan sayangnya he was there without his coach- makanya jadi gak kekontrol.”
“I assume that he was too rough on himself,” tutur seorang pria lain dari belakangnya, “Ghaffar gak se-clumsy itu setau gue, is there anything happened before?”
Eijaz paham pertanyaan itu ditujukan kepadanya. Meski ia tak mengenal pria itu, ia merasa ia harus menjawabnya- namun Stefan dengan cepat memasang badan, “Kayanya karna abis gue marahin kemaren, Noah.”
Noah, nama pria berbadan kekar itu Noah.
“Lo tau dia gak boleh stress sebelum match kan, Stef? Harusnya kaya gini bisa dihindari, agak beresiko ketika nanti pulih terus dia harus tetap tanding.”
“Sorry, it won’t happen again, I promise.”
Kedua tangan Eijaz yang bertaut di atas pahanya bergerak gelisah, sibuk menggenggam satu sama lain. Entah mengapa ia merasa bersalah melihat Stefan ditegur oleh Noah. Di sisi lain, ia memiliki keyakinan bahwa dirinya adalah penyebab dari kecelakaan yang dialami Ghaffar.
“Udah, udah! Yang penting Ghaffar udah oke sekarang. Bang Stef, lo jangan nyalahin diri sendiri. Bang Noah, lo juga jangan terlalu galak sama Bang Stefan. That’s their private matters, gue yakin Bang Stefan juga gak maksud sampe bikin adeknya celaka, we all know that he loves Ghaffar a bit too much.” ucap seorang pria lain yang ada di sana.
“Sorry, Stef. Gue gak maksud buat put all the blame on you…”
“No worry, Noah. Gue ngerti,” Stefan memastikan bahwa ucapan Noah tadi tak mengganggunya, “Gue paham, lo juga pasti khawatir.”
“Vit, jadwal Ghaffar tolong dibenerin ya? Fokus ke recovery dulu, pokoknya kalo dia nekat latihan sendiri, lo lapor gue. Gue tau Ghaffar kadang keras kepala, jadi gue minta lo as his manager and his friend as well- buat cegah dia biar gak capek-capek dulu.”
This one is Ghaf’s friend; Vito.
“Siap, Bang.” jawab Vito cepat, “Nanti gue smack down dia kalo berani deket-deket samsak.”
Ah, I see. So that’s true that Ghaffar does boxing.
Eijaz yang masih sulit untuk mencerna semua pembicaraan mereka itu hanya bisa terdiam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri. Ia hanya mengangguk dan menatap dalam diam, pelan-pelan berusaha agar ia dapat mengerti.
“Hi, Eijaz! Sorry tadi gak sempat nyapa lo, gue Vito- manager Ghaffar, and his friend as well.” Vito mengulurkan tangannya ke arah Eijaz, “Gue fans lo, by the way.”
Eijaz dapat melihat tangan besar milik Vito itu sedikit gemetaran- pertanda pria itu sedang gugup. Ia kemudian menyambutnya, berjabat tangan sejenak dengan Vito dan Noah yang juga mengulurkan tangannya.
“Gue Noah, Ghaffar’s personal trainer- gampangnya disebut coach aja. Your voice is fantastic, Eijaz. I’m one of the Jazziest too!”
Eijaz hanya sanggup menyuarakan ‘ya’ berkali-kali, masih tak bisa berkomunikasi dengan benar karena pikirannya masih terfokus pada Ghaffar yang terbaring di dalam kamar VIP di hadapannya. Hugo yang tadinya pergi membeli minuman pun telah kembali, membawakannya segelas teh chamomile hangat agar Eijaz lebih rileks. Ia menyesap pelan minuman hangat itu sambil menatap pintu kamar rawat inap Ghaffar dan menunggu Stefan yang tadi pamit untuk masuk ke kamar Ghaffar keluar dari sana.
Tepat setelah ia menghabiskan minumannya, pintu kamar Ghaffar terbuka- menampilkan Stefan yang membawa sebuah tas punggung berwarna hitam yang dikenali oleh Eijaz. Backpack hitam milik Ghaffar.
“Gue mau pulang dulu ngambil barangnya Ghaffar, lo gue tinggal gapapa kan Jaz?” tanya Stefan pada Eijaz.
“Eh? T-tapi, gue boleh masuk, Stef?”
Dua sudut bibir Stefan terangkat naik, membentuk senyuman tipis khas Stefan, “Boleh, Ghaffar udah bangun juga tuh.”
Jantung Eijaz berpacu dengan cepat. Rasa gugup semakin memperburuk suasana hatinya hari ini, ia ingin sekali berlari masuk dan menemui Ghaffar yang dirindukannya- namun ia harus menahan diri. Ia tak ingin Ghaffar semakin menjauhinya.
“Beneran gapapa, Stef? M-maksud gue, lo udah bilang kalo ada g-gue?”
“Udah kok, gue juga gak bakal ngizinin lo masuk kalo Ghaffar bilang engga.” Stefan menepuk pundak Eijaz, “Don’t push yourself too hard, Jaz. Just- please, try to understand him more, ya? He just a clueless little boy, we have to be the bigger person sometimes…”
“Gue ngerti, Stef. I’ll not do anything to make him uncomfortable, c-cuma pengen jenguk…”
“Okay then, gue tinggal ya?”
“I-iya…”
“Gue juga ikut pamit ya, Jaz.” ucap Noah sembari tersenyum kepadanya.
“Ah, i-iya. Thank you, Noah.” Eijaz membalas senyuman pria itu, “Lo juga hati-hati ya, Stef.”
“Okay, titip adek gue ya.”
Stefan dan Noah kemudian melambaikan tangan mereka dan berjalan pergi meninggalkan Eijaz, Hugo, dan Vito. Eijaz dapat merasakan bahwa dirinya sedang diperhatikan oleh dua orang pria di sana, “Vito, gue boleh masuk?”
“Boleh,” jawab Vito cepat, “But promise me you won’t do anything uncomfortable for him, ya? Gue jujur aja, kayanya gue yang paling kaget ngeliat ada Eijaz Javas Arsalan di sini, ngejenguk Ghaffar. Tapi gue ngerti batasan. Cuma as his friend, gue cuma minta itu aja.”
“Iya, Vito. I will not do anything bad for him, lo bisa liat sendiri gimana khawatirnya gue sekarang. I just want to see him, I-I need to see him…”
Eijaz dapat melihat bagaimana kepala Ghaffar terangkat saat pintu kamar rawat inapnya terbuka. Wajah tampan yang ia rindukan, sorot mata bambi yang selalu menjadi pusat damainya. Sungguh, Eijaz bisa saja runtuh saat ini juga. Melihat Ghaffar duduk bersandar dengan sebuah buku dalam genggaman satu tangannya itu membuat hatinya meringis. Ia merasa bersalah, entah karena apa. Ia tak menyadari satu tetes air matanya yang berhasil lolos dari matanya, sementara Ghaffar dapat melihatnya dengan jelas.
“Hi, Ghaf…”
Lelaki itu menyunggingkan satu senyuman untuk menyapa Eijaz, “Hi, Kak Ei.”
Keheningan kembali tercipta. Ini merupakan kali pertama keduanya bertemu sejak Ghaffar mengetahui siapa dirinya dan berakhir pada jarak yang memisahkan keduanya dalam diam.
“Sini, Kak. Jangan berdiri di depan pintu.”
Ghaffar bersikap seperti biasanya, berusaha memecahkan keheningan aneh yang berada di dalam sana. Senyumnya tak memudar sedikitpun, kedua matanya mengikuti gerakan Eijaz yang berjalan mendekatinya.
Dari dekat, Eijaz dapat melihat dengan jelas bahwa tangan kanan Ghaffar dibaluti perban, “K-kamu kenapa…”
“Cuma keseleo, Kak.”
Tentu saja Ghaffar berbohong tanpa ia sadari. Dalam hatinya, ia hanya tak ingin Eijaz khawatir.
“Bohong ya?”
Ghaffar tak menjawabnya. Ia hanya tersenyum tipis dan bergerak pelan untuk mengubah posisinya. Eijaz dengan sigap membantunya bangun, meletakkan satu bantal untuk menyangga punggungnya. Hal itu membuat jarak wajah keduanya dekat sekali, sangat dekat hingga Eijaz dapat merasakan hangatnya nafas Ghaffar di permukaan kulitnya.
“U-udah nyaman?” tanyanya dengan gelagapan, tiba-tiba merasa salah tingkah.
“Udah, makasih Kak.” Ghaffar kemudian meletakkan buku yang ia genggam di atas nakas dan memusatkan perhatiannya pada Eijaz yang masih berdiri diam di sisinya, “Duduk sini, Kak.”
Eijaz membulatkan kedua matanya kala Ghaffar menepuk pelan permukaan kasur di sisi badannya, menatapnya tak percaya. Ia terdiam, berpikir apa Ghaffar sedang mengujinya atau memang tulus memintanya untuk duduk manis tanpa maksud apapun.
“Don’t think too much, Kak Ei. Nanti cepet keriput.”
Eijaz paham Ghaffar memang berusaha mencairkan suasana canggung itu. Namun Eijaz juga tak dapat menampik bahwa kegundahannya masih terasa. Sikap Ghaffar yang baik-baik saja itu justru membuatnya semakin bingung.
“Kamu gapapa kah?” tanya Eijaz pada Ghaffar saat ia sudah menempatkan diri di sebelah Ghaffar, “I mean about… us?”
“I’m okay.” jawab Ghaffar singkat.
“Ghaf,” Eijaz memanggilnya, namun kepalanya menunduk- tak berani menatap Ghaffar, “Jujur aku gak tau harus gimana sekarang, ngeliat gimana kamu bersikap biasa sementara aku dengan semua kebingunganku. Tapi aku ga mau egois, aku ga mau bahas ini saat kamu lagi kaya gini. Tapi semoga nanti, nanti- waktu kamu udah sehat lagi, please, enlighten me...”
“Bahas sekarang aja, Kak,” Ghaffar memotong Eijaz, “But I can’t speak if you don’t want to see me.”
Eijaz mengangkat kepalanya, menatap Ghaffar yang sedang tersenyum hangat padanya, “Nah kalo kaya gini kan enak dilihat. Don’t ever hide that pretty face of you from me.”
Jika saja Eijaz bisa memaki, ia ingin sekali. Ghaffar dengan segala keterus-terangannya, dalam kebingungan Eijaz pun ia bisa membuat laki-laki itu kembali salah tingkah dengan pipi yang bersemu merah.
“I’m sorry for acting so distant these days, I just need time, I guess…? Tadi aku sempat baca chat Kakak yang bertubi-tubi, and I’m feeling guilty for that. Harusnya Kakak berhenti aja…”
Kedua mata Eijaz terbelalak kaget mendengar kalimat terakhir yang diucapkan Ghaffar, “M-maksudnya?”
“Berhenti aja, Kak. Nyerah aja soal ini semua. I messed everything up.”
“K-kamu bercanda kan, Ghaf?”
Ghaffar tak menjawabnya. Ia hanya menatap mata Eijaz yang sudah berkaca-kaca.
“Jawab, Ghaf… Kamu bercanda, kan?”
“I wish I am…”
Terlalu terkejut dengan apa yang ia dengar dari Ghaffar, air mata Eijaz tumpah, tak lagi bisa ia tahan. Eijaz menatapnya tak percaya, berusaha keras untuk tak mempercayai ucapan Ghaffar padanya.
Melihat itu, Ghaffar mengutuk dirinya sendiri. Sungguh, jika saja waktu bisa diputar, ia ingin sekali menarik kata-katanya.
“K-kenapa Ghaf?”
“I-I told you, I messed everything up…”
Eijaz tak bisa menghentikan laju air matanya yang tak tertahankan. Hatinya sakit, sakit sekali. Ia pikir ia akan mendapatkan kejelasan dari hal yang mengganggu pikirannya, namun yang ia dapat malah hal yang tak pernah ia duga. Ia berusaha keras untuk berhenti, namun tangisannya justru semakin menjadi-jadi. Tubuh mungil itu bergetar, kedua telapak tangannya sibuk menutupi wajahnya yang sudah pasti berantakan.
Hati Ghaffar pun ikut terluka. Ia pikir meminta Eijaz untuk berhenti merupakan solusi dari semuanya, tapi rasa bersalahnya justru semakin besar.
Satu tangannya yang tak diperban kemudian terangkat, memegang pelan lengan Eijaz yang masih terisak.
“Kak Ei, please…”
Tangisan itu tak berhenti. Eijaz tak bisa berhenti. Ia tak tahu bagaimana caranya untuk berhenti.
“Y-you said that you’re feeling g-guilty, h-harusnya minta m-maaf, bukan malah nyuruh a-aku b-berhenti, Ghaf…” tutur Eijaz dalam isak tangisnya, “K-kamu bilang mau b-belajar, t-tapi apa? I-ini bukan belajar, G-Ghaf, ini namanya k-kamu lari…”
“Aku ngga lari, Kak, aku di sini.” raut wajah pucat Ghaffar itu terlihat sangat khawatir, “Aku ngga ke mana-mana…”
“N-no, kamu lari, Ghaf…”
“Kak… Please, stop crying, I beg you…” Eijaz dapat mendengar dari suaranya bahwa Ghaffar benar-benar khawatir dengan keadaannya.
“Y-you’re the cause of these tears…”
Ghaffar bak tertampar oleh ucapan Eijaz. Ya, ia adalah penyebab utama dari tangisan Eijaz saat ini. Hatinya sakit, rasa sesal memang muncul selalu terlambat, di saat ia tak lagi bisa menarik diri.
Eijaz menarik nafas, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Ia mengambil tangan Ghaffar yang menggenggam lengannya sedari tadi untuk ia bawa ke atas pahanya dan ia genggam kuat. Dua tetes air mata Eijaz jatuh tepat di atas punggung tangan Ghaffar.
“Ghaf, you asked me to guide you- I answered already that I’m willing to. You asked me to guide you, and yes, we’re on it… Tapi hari ini, disaat aku mau perbaiki apa yang mungkin salah, kamu justru ngedorong aku buat pergi. Kamu nyuruh aku buat berhenti disaat aku sebenarnya justru mau melangkah maju…,” Eijaz menarik nafasnya pelan, menatap kedua mata Ghaffar secara bergantian, “Tapi maaf, aku bebal, Ghaf. I’m a man of my word. Aku akan nepatin janji yang udah aku buat.”
“Aku tau, tangan kamu kaya gini pasti sedikit banyak karena aku. Bukannya aku terlalu percaya diri, tapi aku denger dari Noah kalo kamu lost focus sampe akhirnya kaya gini, you were too hard to yourself back then, gara-gara kepikiran kan? Sorry if I wasn’t the one that suit your type or whatever, sorry if my job is disgusting for you, but I’ll keep doing what I love.”
I’ll keep my promise, Ghaffar. I’ll never stop.
“It’s not that your job is disgusting, Kak, it’s me, my fault. Aku bahkan sampe bikin Kak Ei nangis kaya gini, I just don’t deserve you, I don’t deserve to be happy. Semuanya salah aku, dari awal.”
“Including your feelings towards me?”
“Hah?” Ghaffar terkesiap kaget dengan pertanyaan tiba-tiba dari Eijaz, “M-maksudnya?”
“Yang kamu bilang waktu itu, that you like me, salah juga?”
“N-no…”
“So the feeling is real?” tanya Eijaz memastikan.
“Y-yes, the feeling is real…”
“Then don’t ask me to stop, Ghaf. Aku tau that you’re bad at communicating or maybe bad at feelings, tapi aku ga takut, aku ga nyerah, aku ga mau nyerah dan berhenti kaya kamu. I won’t ask you to stop too, jangan pernah berhenti suka sama aku. Apapun yang kamu takuti, face it. Be a man and face it. As long as the feeling’s real, I’ll forgive you now. I’ll forgive everything you said before. But I’ll never stop, I’ve fallen too deep for you…”