Tak ada yang aneh sore itu. Cuaca yang cerah, udara yang dingin, hingga suara tawa yang tak henti keluar dari kedua anak adam yang kini sedang sibuk bermain di pinggiran sungai. Ghaffar yang kini sedang memandangi bagaimana Eijaz menikmati kakinya di dalam air, sementara dirinya sibuk mengambil puluhan, atau bahkan ratusan gambar sang kekasih. Suasana hangat yang membahagiakan, tak ada cela sedikitpun.
“Ghaf, sini!” Eijaz memberi kode kepada Ghaffar yang sedang mengintip dari balik kamera yang dibawanya, “Ga usah foto aku terus, main sini sama aku!”
Ghaffar tersenyum, masih sibuk menekan tombol kamera yang berhasil menangkap gambar Eijaz yang sedang berbicara dengannya, “Iya sayang, sebentar.”
Lelaki yang empat tahun lebih muda itu akhirnya menurut, meletakkan kameranya di atas tote bag yang ia bawa. Ghaffar kemudian dengan cepat melepas sepatunya, menggulung celana jeans yang dikenakannya hingga sebetis agar tak basah seluruhnya. Ia menapakkan kakinya pada dasar sungai yang dangkal, dengan satu tangan berpegangan pada tangan Eijaz yang menyambutnya.
“Don’t get too excited, Kak. Baju ganti kita udah habis.” ucap Ghaffar mengingatkan Eijaz, namun hal itu bukan sesuatu yang memusingkan bagi Eijaz, karena ia masih bisa membeli pakaian lain di sana.
“Nanti beli lagi aja,” jawabnya acuh pada Ghaffar, ia kemudian menunduk, memasukkan kedua telapak tangannya ke dalam air, “Now enjoy the water!”
Kalimat itu adalah kalimat terakhir yang dapat Ghaffar dengar sebelum dirinya disiram oleh sang pujaan hati yang tertawa tak jauh dari dirinya. Eijaz yang sibuk menyerangnya bertubi-tubi dengan air yang ia kumpulkan dengan dua telapak tangan mungilnya. Tawa Ghaffar pun lepas, terpicu oleh suara tawa Eijaz yang menggelitik rungunya. Ia kemudian bergerak maju, ikut mengambil air dengan kedua telapak tangan besarnya dan menyiramnya pada Eijaz. Lelaki mungil itu baru saja hendak berlari menjauh, namun satu tangan Ghaffar menahannya.
“Jangan lari, Kak! Licin, nanti jatuh. Di sini aja ya? I’ll behave, I promise.”
“Kenapa sih manis banget?” raut wajah Eijaz yang tampak terharu itu membuat Ghaffar tersenyum di hadapannya, “Padahal aku yang jahilin, malah aku yang dijagain begini.”
“We protect each other, kan?”
“Iya.”
“Case closed, udah ya jangan jauh-jauh ke sana. Nanti kalo jatuh aku kelamaan nolongnya, malah ketawa duluan.”
Satu tepukan telapak tangan Eijaz mendarat pelan di lengannya, membuat Ghaffar sedikit meringis namun tetap tertawa, “Jahat banget malah diketawain!”
Protes yang dilontarkan Eijaz itu justru membuat Ghaffar semakin menertawakannya. Eijaz yang memberengut lucu itu justru tak dapat menahan diri karena suara tawa Ghaffar itu candu, hingga ia kini juga ikut tertawa bersamanya.
Sore itu indah, tak ada hal yang membuat keduanya ingat pada dunia. Yang mereka lakukan hanyalah menikmati presensi masing-masing tanpa adanya gangguan lain, jauh dari rumah.
Ghaffar kemudian jadi yang pertama untuk berjalan naik ke tepi, memutuskan untuk keluar dari air karena ia sudah merasa dingin. Ia tak mengajak Eijaz, ia sengaja membiarkan sang kekasih puas bermain dalam jangkauan matanya. Langkah kakinya terhenti kala netranya menangkap ada presensi lain yang berdiri tak jauh dari sana, tersenyum ke arah Ghaffar yang melihatnya. Tubuhnya seketika membeku, jantungnya seolah berhenti berdetak. Jika saja Ghaffar tak melihat orang itu berjalan menjauhinya, mungkin saja ia sudah kehilangan kesadaran. Dengan tubuh yang bergetar hebat Ghaffar berjalan pelan hingga tangannya menyentuh permukaan tanah di sana. Bulir keringat membasahi wajah tampannya yang sudah memucat.
Eijaz yang menyadari tak ada suara lain kemudian mendongakkan wajahnya, menatap Ghaffar yang duduk mematung dengan tubuh yang bergetar hebat. Eijaz dengan cepat mengerti situasi. Tanpa banyak suara, tanpa bertanya, ia berlari cepat ke arah Ghaffar dan menggenggam kedua tangan lelaki yang sudah dingin seperti es batu. Eijaz tak menyadari bahwa air matanya jatuh hanya dengan melihat Ghaffar yang membisu.
Ia kemudian keluar dari sana, mengambil jaket miliknya yang ia letakkan di atas tote bag miliknya dan membalut tubuh besar Ghaffar dengan jaket itu bersamaan dengan tubuhnya yang memeluk erat tubuh Ghaffar. Eijaz menarik tengkuk Ghaffar, membawa kepala pria itu masuk ke dalam pelukannya. Usapan lembut telapak tangannya pada punggung Ghaffar itu tak membuat Ghaffar lebih baik, namun Eijaz tetap tak berhenti. Pelukannya mengerat, membiarkan Ghaffar mengetahui bahwa ia ada di sana bersamanya.
“I’m here, sayang. I’m here. Your ‘Kak Ei’ is here, I’ll protect you, Ghaf…” bisik Eijaz di telinga Ghaffar. Air matanya tak berhenti mengalir, merasa sakit entah apa sebabnya. Yang ia tahu saat ini adalah Ghaffar yang membutuhkannya.
“I love you, I love you, Ghaffar…” adalah kalimat terakhir yang Ghaffar dengar sebelum tubuh besarnya terkulai dalam pelukan hangat Eijaz.