Mobil milik Jeon Jungkook itu kemudian terparkir rapi di parkiran yang tak asing di mata Jimin. Manik sabit miliknya itu melirik ke seluruh sisi ruangan luas tersebut. Dahinya kemudian mengernyit, berusaha mengingat-ingat tempat itu. Jungkook terkekeh geli, lalu bergerak cepat untuk melepaskan seatbelt miliknya, lalu milik Jimin.
“Kenapa kok bingung?” tanya Jungkook saat sisi wajahnya berada tepat di depan wajah Jimin, “Lupa ya ini di mana?”
“Bentar, aku kaya pernah ke sini…”
“Keluar dulu makanya, yuk?”
Lelaki itu kemudian turun dari mobilnya, berjalan pelan lalu membukakan pintu di sisi Jimin, “Ayo?”
Jimin masih menunjukkan wajah bingungnya, berusaha mengingat tempat yang tak asing bagi memorinya itu. Ia lalu merasakan telapak tangannya menghangat kala Jungkook kembali menautkan kedua tangan mereka dengan erat, dan sudut bibir ranum Jimin terangkat saat melihatnya. Jungkook tak malu-malu dalam menunjukkan perasaannya, terlebih kini keduanya sudah resmi berstatus pasangan. Jika saja ia bisa memamerkan Jimin ke seisi bumi, tentu saja ia akan melakukannya.
Keduanya lalu berjalan berdampingan dengan senyum yang merekah di paras tampan mereka menuju pintu masuk yang terdapat lift pribadi di dalamnya.
Manik sabit Jimin lalu membesar ketika ia melihat sebuah logo yang ia ingat, “Oh! Rumah kamu kan ini?” tanyanya antusias pada Jungkook, “Iya kan?”
“Iya, sayang.”
Jungkook lalu menekan tombol lift tersebut, menarik masuk kekasihnya dan menempelkan access card untuk menuju lantai di mana rumahnya berada.
Jimin tak banyak bicara setelahnya, ia hanya mengikuti Jungkook, menggenggam erat tangan hangat lelaki itu, sesekali mencuri pandang padanya.
“You can ask me anything too, babe. Don’t hold yourself.”
“Ngga apa-apa kok, aku cuma lagi mikir dikit.” jawab Jimin padanya, memilih untuk tak menanyakan isi kepalanya kepada Jungkook.
Meski merasa sedikit ragu, Jungkook lagi-lagi tak ingin memaksa Jimin untuk bersuara. Ia memutuskan untuk melemparkan senyum manisnya kepada pria itu yang dengan cepat membalasnya tanpa diminta.
Tak lama kemudian, keduanya sampai pada tujuan mereka. Jungkook tak sedetikpun melepaskan tautan tangannya dengan tangan milik Jimin hingga sepasang kaki anak adam itu tiba di depan pintu rumah milik Jungkook. Namun Jungkook tak membuka pintunya, ia hanya berdiam diri, lalu menolehkan kepalanya ke arah Jimin yang ternyata tengah menatapnya bingung.
“Kenapa kok diem?” tanya Jimin pada Jungkook yang justru tersenyum lebar, “Kenapa sih? Ada yang aneh ya di aku?”
“Ngga ada kok?”
“Terus kenapa kita diem aja di depan pintu begini?”
“You can open it.” Jungkook mengangkat satu tangannya, mempersilakan Jimin untuk membuka pintu rumahnya.
“Kan aku ga- OH iya! Access card!” suara Jimin meninggi kala mengerti maksud dari kekasihnya. Lelaki itu membiarkan Jimin untuk menggunakan hak istimewanya; membuka pintu rumah miliknya dengan kartu akses yang sudah Jungkook berikan padanya.
Jimin lalu merogoh sakunya, mengeluarkan kartu yang dimaksud dari card holder yang ia bawa, “Untung aku bawa!”
Jungkook lalu memajukan wajahnya, mendekat pada telinga Jimin di sebelahnya dan membisikkan, “Satu delapan nol tiga dua tiga”.
Pintu di hadapan keduanya itu lalu terbuka, namun Jimin masih menatap kekasihnya dengan raut wajah penuh tanya, “Nomor apa itu?”
“Kalo kamu ngga bawa access card, kamu bisa buka pintunya pake pin itu.” ucap Jungkook sembari menutup pintu di belakangnya saat keduanya sudah masuk ke dalam rumahnya.
Ia lalu menuntun lelaki itu ke ruang tengah rumahnya, mempersilakan Jimin untuk duduk di sana, memberi isyarat pada Jimin untuk melepas jas miliknya dan ia gantungkan pada tempat yang tersedia tak jauh dari sofa itu. Netra Jimin secara otomatis beredar ke tempat yang ia ingat; kandang anjing yang pernah ia lihat beberapa hari yang lalu.
“Bam kok ga ada, Kook?”
“Lagi di training center, sayang. I’ll pick him up in three days.” jawab Jungkook pada kekasihnya yang penasaran, “Oh iya, kamu alergi sesuatu ngga?”
“Hm? Konteksnya?”
“Makanan atau minuman.”
“Nope, I’m okay with anything. Kita mau pesan delivery service kah?” tanya Jimin lagi.
Jungkook memberinya senyuman manis, lalu kecupan hangat di kening milik lelaki itu, membuat sang empunya tersipu dengan suara degub jantung yang mungkin saja dapat didengar oleh Jungkook, “Tunggu di sini ya? Atau kalo mau ke kamar juga ngga apa-apa.”
Jimin lalu memicingkan matanya menatap Jungkook penuh curiga, “Kamu mau ngapain pake ngode ke kamar segala?”
Jungkook yang tengah berjalan menuju dapur itu tertawa terbahak-bahak mendengar pertanyaan Jimin yang berisi kecurigaan terhadap kalimat terakhirnya.
“Kamu mikirnya aneh-aneh ya pasti? Dasar genit.”
Jungkook menggodanya hingga lelaki bertubuh kecil itu ikut tertawa sambil menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangan miliknya, “Ih, padahal kamu yang ngode, kok aku yang dibilang genit!”
“Maksudku, kamu kalo mau tiduran di kamar juga ngga apa-apa, nanti kalo makanannya udah ada, aku bangunin kok. Bukan lagi ngasih ‘kode’”, ungkap Jungkook dengan tawanya yang masih terdengar. Lelaki itu kemudian memunculkan kepalanya dari balik dinding dapur, mengintip Jimin yang kembali bertanya melalui tatapan mata, “Tapi kalo kamu mau realisasiin kode tadi juga boleh sih…”
Tentu saja Jungkook tak sedang bersungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya. Ia hanya berniat mencairkan suasana agar Jimin tak lagi merasa canggung. Niatnya hanya satu; membuat Jimin nyaman ketika bersamanya.
Jungkook lagi melanjutkan kesibukannya di dapur, meninggalkan Jimin yang kini tengah sibuk mengelilingi rumahnya. Menyisir setiap sudut yang membuatnya tertarik. Rumah dengan nuansa putih itu terlihat sangat bersih juga rapi. Seluruh sisinya tertata sempurna, membuat Jimin terkesima melihatnya. Netranya sibuk melihat-lihat, tersenyum pada tiap hal yang membuat hatinya menghangat.
Jimin lalu berjalan pelan ke arah balkon luas yang terbentang di sisi ruang tengah, menjejakkan kakinya melihat pemandangan fantastis yang terbentang di hadapannya. Pikiran yang mengganggunya tadi seketika sirna saat permukaan kulitnya diterpa angin hari itu. Ia memejamkan kedua matanya, membiarkan udara sebanyak mungkin masuk ke dalam paru-parunya, membiarkan dirinya tenggelam dalam rasa tenang yang ia butuhkan.
Ketenangannya seketika terusik ketika ia merasakan ada hembusan nafas hangat di sisi wajahnya, namun ia tetap tak bergeming. Membiarkan dua lengan Jungkook melingkar sempurna pada tubuhnya.
“Alone time session, end. Now you have to follow me.” bisik Jungkook pada telinganya.
Jimin membuka matanya perlahan, tersenyum kecil sebelum berusaha menarik diri dari pelukan Jungkook, “Mau bawa aku kemana emangnya?” tanya Jimin dengan suara pelannya, menggoda Jungkook.
“Kalo mau tau, ikut aku dong.” tantang Jungkook padanya.
Jungkook dan Jimin; dua anak adam yang tak pernah berhenti saling menggoda satu sama lain.
“Oke, tapi aku mau tanya sesuatu ke kamu, boleh?”
“Go on, I’m listening.”
Jimin lalu membalikkan tubuhnya menghadap Jungkook, menundukkan wajahnya- tak berani menatap mata indah milik lelaki tampan di hadapannya itu.
“Kita, kita kenapa ga jadi makan siang di luar? Karena aku tadi ya? Kamu ga nyaman ya sama aku? Apa kamu malu karna aku kaya gitu tadi?” tanya Jimin yang tak memberi jeda pada tiap pertanyaan yang ia tujukan pada Jungkook, “Kamu malu ya bawa aku makan di luar makanya jadi bawa aku ke rumah?”
Jungkook yang tadinya merasa bingung itu kemudian berpikir sejenak, tak berani mengomentari semua pertanyaan Jimin padanya karena takut jawabannya akan melukai Jimin. Ia mengangkat wajah Jimin pelan dengan jemarinya hingga mata keduanya saling bertatap, “Kenapa kok nanyanya kaya gitu?”
“I don’t know, I- I just, I just feel a bit uneasy thinking that you might be feeling uncomfortable around me after that…”
Raut wajah Jimin kembali terlihat sedih, namun sudut bibir Jungkook justru terangkat sedikit, “Sedikitpun aku ngga ngerasa malu, Jimin. Aku bawa kamu ke rumah bukan karena ngerasa malu, tapi aku cuma mau kamu ngerasa tenang. I was afraid that being in the middle of crowd, you’d feel uncomfortable, that’s all.”
Rasa sesal dan bersalah kemudian muncul di batin Jimin, merasa pikirannya terlalu kekanakan.
“Masuk dulu yuk? Ngobrol di dalam aja, kalo di sini nanti kamu masuk angin.”
Terkutuklah Jeon Jungkook dengan segala tingkahnya yang mampu membuat jantung Jimin kembali bekerja ekstra.
Jimin mengangguk pelan, setuju dengan ajakan Jungkook meski masih ada yang mengganjal di hatinya karena ia belum meminta maaf pada si tampan.
Keduanya lalu berjalan masuk ke dalam rumah dengan tubuh Jimin yang didorong pelan oleh Jungkook dari belakang. Jungkook mengarahkannya hingga keduanya tiba di ruang makan, dengan meja makan berukuran sedang itu sudah terisi dengan dua piring makanan yang terlihat jelas bukan makanan cepat saji.
“Here’s the fanciest food for you.” ucap Jungkook saat ia berhasil membuat Jimin duduk menghadapnya, “Specially made by me.”