For You

raine.
7 min readJul 23, 2022

--

sr. pinterest

Matahari masih belum menunjukkan teriknya kala Ghaffar memutuskan untuk berlari keluar rumah menuju mobil pribadinya yang sudah beberapa hari tak ia kendarai. Langkah kakinya menunjukkan betapa senangnya ia saat ini. Senyumnya tak memudar, masih terlukis indah di wajah tampannya yang beberapa hari kemarin diselimuti awan mendung.

Berhasil mengalahkan rasa takutnya, Ghaffar menyatakan rasa. Ia mengakui bahwa cintanya memang nyata. Dan Eijaz adalah pria beruntung yang mendapatkan kesempatan menjadi cinta pertama seorang Ghaffar Ozanich Kayana yang terluka. Meski perlu waktu dan sedikit balasan telak atas sikapnya kemarin, akhirnya hari ini tiba- hari di mana ia dan Eijaz akan kembali berjumpa.

Tak sampai lima belas menit, mobil hitam miliknya telah terparkir rapi di halaman depan rumah Eijaz yang sudah dihapal arahnya. Ia dengan cepat berjalan keluar dari sana menuju pagar depan dan hendak memencet bel di luar pagar rumah cantik itu. Namun ternyata tak perlu, karena pagar sudah otomatis terbuka menyambutnya.

Ya, Eijaz juga sedang menunggunya di dalam sana.

Ghaffar lalu berjalan masuk ke pekarangan rumah yang tertata rapi. Netranya kemudian bertemu dengan manik sabit milik Eijaz yang sudah menunggunya di depan pintu, tersenyum manis ke arahnya. Langkah kakinya semakin bersemangat kala melihat Eijaz membuka kedua tangannya, menyambut kedatangan Ghaffar.

“Hi?” sapa Eijaz pada Ghaffar, “Sini deketan, aku kangen banget.” ucap Eijaz sambil melebarkan kedua tangannya, kedua telapak tangannya juga ikut memberi isyarat pada Ghaffar untuk masuk ke pelukannya.

“As the punishment for making me sad for days, you have to hug me now.”

Ghaffar tersipu malu, ia menundukkan wajahnya berusaha untuk menutupi rona merah yang ia yakini sudah memenuhi wajahnya, namun kakinya melangkah maju hingga tubuhnya berdiri tepat di hadapan Eijaz. Tak memiliki keberanian lebih dari ini, Ghaffar berhenti. Meski baru belum terlalu lama mengenal Ghaffar, lelaki cantik itu paham bahwa Ghaffar tak akan melangkah lebih dari itu.

“Kalo gitu, aku yang peluk kamu, boleh?” Eijaz memiringkan kepalanya agar dapat menatap wajah Ghaffar. Dengan senyum sempurna miliknya yang total membuat seluruh kupu-kupu di tubuh Ghaffar berterbangan mengisi tiap rongga yang ada.

“Boleh, apapun yang Kak Ei mau, boleh.”

Jawaban Ghaffar itu menjadi lampu hijau untuk Eijaz mengalungkan kedua tangannya pada leher lelaki yang lebih tinggi darinya itu, membawa Ghaffar merasakan hangatnya pelukan tubuh Eijaz yang merengkuhnya. Kentara sekali jika ini juga merupakan kali pertama baginya- pelukan Eijaz terasa sangat hangat, sampai ia tak menyadari bahwa air matanya sudah berkumpul di kedua manik bambi miliknya- terharu karena Eijaz masih menerimanya.

“I’m s-sorry…” bisik Ghaffar pelan, “Maafin aku, Kak. I’m a coward…

Sush…Diem dulu, aku masih kangen.” Eijaz mengeratkan pelukannya pada Ghaffar, menyesap harum tubuh lelaki tampan itu, “Kaya gini dulu sebentar ya, Ghaf?”

“Iya…”

Jawaban singkat Ghaffar itu sukses membuat senyumnya merekah hingga mata sabit Eijaz terlihat cantik sekali. Di depan rumah Eijaz, kedua lelaki yang memiliki rasa yang sama itu saling menyuarakan rindu. Rasa hangat yang menjalari seluruh tubuh keduanya itu dapat dirasakan. Suara debaran jantung mereka juga dapat dirasa satu sama lain, namun tak satupun dari mereka yang ingin menarik diri. Ghaffar yang kikuk itu pada akhirnya bergerak sesuai nalurinya- melingkarkan kedua tangannya pada pinggang ramping Eijaz.

Pelukan lelaki bertubuh besar itu mengerat seolah ingin menyampaikan rasa sesal dan bersalah yang ia lakukan pada Eijaz selama beberapa hari. Ia tahu dirinya yang salah, ia paham mengapa ia harus segera menggapai Eijaz meski ia sendiri tahu bahwa pria itu akan selalu menunggunya dengan sabar.

Ghaffar Ozanich Kayana, pada usianya yang menginjak dua puluh tiga tahun, ia jatuh cinta untuk kali pertama.

Hari berlalu sejak kunjungan pertamanya pada rumah milik Eijaz. Terakhir kali yang juga merupakan kali pertamanya bertamu memiliki kenangan manis juga sesal yang hingga saat ini masih menggerayangi pikiran dan batin Ghaffar. Jika saja ia bisa mengulang hari, ia memilih untuk tak membiarkan air mata Eijaz jatuh hanya karena sikapnya.

Ghaffar duduk di sofa berukuran panjang di ruang keluarga rumah itu, sementara Eijaz sibuk mempersiapkan sesuatu di dapur. Ia menyibukkan diri dengan salah satu novel yang tergeletak di atas coffee table di hadapannya- novel yang ia yakini sedang dibaca Eijaz. Novel fiksi bergenre romansa- khas Eijaz Javas Arsalan.

“Kamu udah sarapan belum, Ghaf?” suara Eijaz sampai pada rungunya, membuat wajahnya mendongak menatap EIjaz yang sudah berdiri di hadapannya, “Kalo belum, aku pengen bikin omelette kesukaan aku buat kamu, kebetulan aku juga belum sarapan, hehe.

“Belum,” jawab Ghaffar cepat, “Mau, Kak. Kalo ngga repot aku mau coba…”

Tentu saja Ghaffar berbohong, ia sebenarnya sudah merasa cukup kenyang, namun ia ingin duduk berseberangan dengan pria itu dan menemaninya.

“Okay, I’ll make it for two then!” ujar Eijaz bersemangat, “Kamu tunggu di sana aja ya?”

“Ah- ehm, Kak?”

“Iya? Kenapa, Ghaf?”

“Can I help you?” Tanya Ghaffar pada Eijaz, “I mean, the cook? I want to help you.”

It’s easy, Ghaf, aku sendiri bisa kok?”

I want to help, Kak. Seems like I couldn’t sit still and watch you from there.” Ghaffar memberikan alasannya pada Eijaz yang masih menatapnya.

“Someone said that he miss me before?” Ghaffar mengulas satu senyum tipis seraya memiringkan kepalanya menatap Eijaz- membicarakannya, “Well, actually I’m the one who miss you so much, Kak. I can’t put more distance between us anymore, so, please? Let me help you.”

Lagi-lagi senyuman itu. Senyuman manis yang Ghaffar tujukan untuknya. Senyuman yang membuat wajah tampan itu berkali lipat lebih tampan dari biasanya.

“A-apa sih, Ghaf, orang deket doang ini sepuluh langkah juga ga sampe?”

“Still, I don’t like distance. I hate it.”

Eijaz tertawa mendengar Ghaffar yang selalu dengan cepat membuat jawaban atas kalimatnya. Ghaffar yang berdiri tak jauh darinya pun ikut tertawa bersama.

“Ada aja alasan kamu tuh! Ya udah sini, bantuin aku nyiapin bahannya.” Eijaz memberikan kode agar Ghaffar mendekat padanya, “Bahan-bahannya ada di kulkas semua, ntar taro di sini aja, biar aku yang potong-potongin. Eh, tangan kamu udah gapapa?”

Ghaffar kemudian mengangkat tangannya yang dimaksud Eijaz, “It’s okay, Kak. I can drive, so I can help you too. Don’t worry, ok?”

Lelaki mungil itu kemudian berjalan maju mendekat, mengambil tangan Ghaffar dan memeriksanya, “Ini beneran ga sakit?” tanya Eijaz sambil menekan pelan tangan Ghaffar.

“Kalo ditekan ya sakit, Kak. But it’s okay, I promise. Dokter juga bilang udah oke kok kalo buat aktivitas yang ngga berat. Jangan khawatir ya?”

“Eh? Maaf…” Eijaz menunjukkan raut wajah khawatir sekaligus bersalah padanya.

“Ngga apa-apa, Kak Ei. Jangan khawatir kaya gitu, ya? I’m strong enough to cut some veggies.

“Gak! Aku aja yang potong, kamu jangan yang berat-berat, ok!”

“Noted, boss.”

Ghaffar kemudian mengeluarkan beberapa bahan yang dibutuhkan sesuai instruksi dari Eijaz dari dalam kulkas. Dari apa yang ia lihat, Eijaz sepertinya memang senang memasak- terbukti dari isi kulkasnya yang terdiri dari banyak sayuran juga buah segar yang tertata rapi di sana.

“Thank you,” ucap Eijaz saat Ghaffar menyelesaikan tugasnya, “Sekarang, sit and wait.

“Loh, kok?”

“Kan udah bantunya?”

“Kak, it’s not even helping at all?

You helped me, that’s it. Sekarang jadi anak baik, nurut sama yang lebih tua. Kamu duduk di situ aja daripada ngeliatin aku masak, nanti aku ga konsen.”

Ghaffar tertawa kecil mendengarnya, “Tapi aku lagi ngga mau jadi anak baik, Kak Eijaz. Aku ngga mau nurut. Aku di sini aja, ngeliatin kamu, Kak.”

Eijaz menghela nafasnya, kalah dari sikap Ghaffar yang terlewat menggemaskan di matanya, “Ya udah, jangan aneh-aneh tapi.” Tangan mungilnya kemudian meraih beberapa bahan masakan yang berada di dekat Ghaffar.

“Aneh-aneh kaya gimana maksudnya?”

“Kaya gini,” dengan tiba-tiba Eijaz mendekat dengannya, berdiri berhadapan dengan Ghaffar dan menipiskan jarak di antara mereka. Lebih tepatnya, Eijaz mengukung tubuh lelaki tampan itu. Kedua tangannya berada tepat di sisi Ghaffar, mengunci pria itu dengan sengaja. Hangat deru nafas Eijaz dapat dirasakan dengan jelas oleh Ghaffar yang justru sibuk menahan nafasnya karena kaget.

Eijaz tertawa, kemudian menyentuh puncak hidung Ghaffar, “Breath, Ghaf.”

Entah berapa detik terlewat saat Ghaffar menahan nafasnya akibat ulah dari Eijaz. Eijaz yang tertawa lucu di hadapannya itu sungguh membuat jantungnya tak karuan. Ia kemudian menghela nafasnya, masih dengan Eijaz yang menertawakannya.

Namun apa yang tak pernah Eijaz duga justru terjadi saat Ghaffar justru membawa kedua tangannya kembali melingkar di tubuhnya, menarik tubuhnya mendekat. Ghaffar jadi pihak pertama yang memeluknya kali ini.

Kak, sorry but seems like we have to pending our breakfast session even though I really want to taste it, but I need you to hear me out now.”

Ghaffar berbicara pelan saat wajahnya sudah ia sampirkan di bahu mungil Eijaz. Ia dapat merasakan bahwa Ghaffar kembali dihinggapi rasa gugup. Pria itu berkali-kali berusaha mengatur nafasnya, laju debaran jantungnya juga tak kunjung membantu, namun ia tetap memberanikan diri. Ia tetap mengeratkan tautan tangannya pada tubuh Eijaz.

Rasa gugupnya perlahan memudar, diganti rasa hangat yang tak dapat ia jabarkan ketika Eijaz membalas pelukannya.

I don’t know how to say it properly- but I’m sorry Kak. I’m really sorry. Apa yang kemarin aku lakuin itu salah, harusnya aku ngomong aja daripada diem. Padahal aku tau my silent treatment isn’t only hurt you, but myself as well. I don’t know, tapi bisa jadi aku denial kemaren. I just can’t easily accepted the fact because I have my own reason, tapi engga- aku tetap ngga seharusnya sejahat itu, terlebih waktu di rumah sakit- y-you cried because of me…”

Pelukan Ghaffar pada tubuhnya mengerat, satu tangan Eijaz mengusap pelan permukaan punggungnya, sementara satu lagi membelai kepala Ghaffar.

I’m an evil, I know. I’m not even a good person for you. Tapi aku boleh dapet kesempatan buat dimaafin ngga, Kak? A-aku tau mungkin sekalipun dimaafin, mungkin Kakak ngga akan lupa. Tapi aku bakal berusaha, I’m willing to, like I’ve promised before that I’m willing to fight for you too.

Ghaffar menarik nafas panjang dan menghembuskannya perlahan, menikmati afeksi yang diberikan Eijaz melalui belaian tangan mungil yang membuatnya merasakan damai, “Can we fix this? And now that I got you, I just can’t give up. I can’t lose you, Kak Eijaz. I won’t lose you…”

“Dan, a-aku sayang Kakak. I’ve said that I like you before, but I-I know my feeling is more than that,” Ghaffar menjeda kalimatnya, menarik nafas panjang sebelum melanjutkan, “I fall for you, Kak Eijaz. I’m in love with you, too in love with you…

And with that being said, Ghaffar just got his first kiss from Eijaz right on his left cheek.

“Itu tandanya aku udah maafin dari awal karena deep down, aku ngerti kamu pasti punya alasan sendiri,” ucap Eijaz saat kedua manik sabitnya menatap kedua manik bulat milik Ghaffar, “Some people might think that I’m stupid, but it’s okay, I keep my word, and I got you anyway. Now stop saying sorry, hm?”

Kini pipi kanan Ghaffar yang menjadi sasaran ciuman manis dari bibir Eijaz, “And yes, I love you too, Ghaffar Ozanich Kayana.”

--

--

No responses yet