Waktu berlalu begitu cepat kala sepasang kakak beradik Stefan dan Ghaffar menghabiskan sesi makan siang mereka yang terlambat di salah satu restoran burger favorit Stefan. Mengikuti kemauan sang kakak, Ghaffar kini harus menelan makanannya dengan antusias meski rasanya tak senikmat burger yang disantap Stefan sebab ia sedang tidak diizinkan untuk makan makanan yang kurang bergizi.
“Kenyang tuh makan gitu doang?” tanya Stefan pada sang adik yang baru saja menghabiskan makanan di piringnya, “Lo boleh nambah, Ghaf. Gue bakal jaga rahasia.”
“Nope, I don’t want to get scolded by Bang Noah tonight,” jawab Ghaffar sambil menggelengkan kepalanya, “Kenyang kok, Bang, don’t worry.”
Stefan hanya menganggukkan kepalanya, menghabiskan potongan kentang goreng yang masih tersisa di atas piringnya.
“Abis ini mau liat Mason gak?”
Ghaffar mengurai satu senyuman tipis kala netranya dan milik sang kakak bertemu, “Ayo! I miss him too…”
Dua pasang kaki anak manusia itu kini tengah mengukir jejak di pinggiran pantai, berjalan bersebelahan tanpa bersuara. Langit sore yang sudah mulai menampakkan sisi indahnya itu membuat suasana di sana bertambah hangat, menghangatkan seisi relung hati Ghaffar juga Stefan yang sibuk tenggelam di dalam pikiran masing-masing. Suara deburan ombak yang menenangkan, juga suara burung yang bernyanyi bersahutan di atas kepala mereka itu turut menjadi penghangat suasana.
Ghaffar menghentikan langkahnya, berdiri menghadap ke arah matahari sore dengan kaki yang ia biarkan tenggelam oleh pasir. Ia menutup kedua matanya, mendongakkan kepalanya dan menikmati hembusan angin yang menerpa kulitnya. Pikirannya tenggelam jauh ke beberapa waktu silam, kala ia sibuk menghibur Mason yang tengah bingung dengan perasaannya. Pantai ini selalu punya cerita manis, meski perihnya juga tak sanggup ia lupakan. Stefan pun ikut menghentikan langkahnya tak jauh dari Ghaffar, membiarkan keduanya menyuarakan isi hati masing-masing tanpa intervensi.
“Been too long, Mason…” bisik Ghaffar dalam pikirannya, “I miss you…”
Ombak yang menggulung di hadapannya itu kini menyentuh kakinya, membuat sepasang kaki itu semakin tenggelam oleh pasir di sana, “Ah, you miss me too, ya?”
Ghaffar menangkap hal itu sebagai sinyal yang dikirimkan Mason untuk menjawab rindunya yang begitu hebat. Ia tak sadar bahwa air matanya kini telah jatuh, membasahi pipi mulusnya.
“Life’s such a roller coaster ride these days. But despite all the darkness I’ve been through, now I have someone special who always leads me into the brightest light. You already met my Eijaz, right? Isn’t he pretty?”
Senyuman di wajah tampan itu terlihat jelas, semakin terlihat bahwa lelaki itu memang tengah jatuh cinta meski ia tak meneriakkannya kepada seisi dunia. Ia di sana, berdiri dengan menatap garis pembatas laut dan langit, berbicara dalam hatinya seolah sang adik dapat mendengarnya.
“Eijaz itu kayanya malaikat yang lo mintain ke Tuhan buat nemenin gue ya? Baru dia doang- eh, cuma dia doang yang bisa bikin gue bangkit dan beraniin diri berdiri di sini, ngomong sama lo, Mason. After all these years, gue berani ke sini. Kemaren sama Eijaz, hari ini sama Abang…” Ghaffar kemudian membuka matanya, menoleh ke kanan tempat di mana Stefan berdiri sambil memejamkan matanya juga, “Can you feel it? We miss you so much, Mason…”
Sapuan ombak yang kembali menggelitik kulit kakinya itu semakin membuat dirinya merasa tenang, merasa bahwa memang benar Mason mendengar suaranya dan Stefan.
“How’s life above? I hope Heaven treats you well, ya? Gue di sini masih dengan rasa bersalah yang sama besarnya, rasa sakit yang seumur hidup ngga akan berkurang sedikitpun. Tapi gue boleh bangkit kan? Gue boleh lanjutin apa yang selama ini lo pendam sendiri kan? Gue mau lanjutin perjuangan lo buat keluar dari belenggu manusia yang jahat sama orang-orang kaya kita, Mason. Gue sama Eijaz mau lanjutin itu semua, continuing to love each other so dearly and deeply, in front of them all. To let them know that love can bloom whenever, wherever. To anyone in this world. We’re free to feel the love, Mason. Semoga lo nemuin damai lo di sana, meski memang bener apa yang lo bilang terakhir kali ke gue, kalo gue yang ‘patah hati’ karena kehilangan lo, adek gue sendiri, dengan dua tangan gue sendiri yang bawa tubuh lo pulang tanpa nyawa…”
Ghaffar menyeka air matanya dengan lengan hoodie yang dikenakannya, mengatur nafasnya yang nyaris terisak sebelum disadari Stefan.
“Where there is love, there is life- they said. Walaupun mungkin lo belum ngedapetin cinta yang cukup dari gue, Bang Stefan, Mama juga Papa selama ini, gue harap lo bisa ‘hidup’ penuh cinta di tempat lo yang sekarang, Mason. Gue sayang lo, kami semua sayang lo, sampe mati pun akan selalu sayang sama lo meski cuma kenangan lo yang hidup di dalam diri kami semua. Gue tetep sayang sama lo meskipun patah hati terberat gue justru karena kehilangan lo. Lo harus bahagia, lo pergi karena ngejemput bahagia lo kan? Tapi, maafin gue. Maafin gue ya? For everything I should’ve done long time ago, maafin gue…”
Bahunya yang bergetar hebat karena isak tangisnya itu kini terasa hangat karena pelukan Stefan yang merengkuhnya tanpa suara. Usapan lembut telapak tangan Stefan pada bahunya membuat Ghaffar tak lagi ragu mengeluarkan seluruh rasa yang tertahan di dadanya. Ia membiarkan tangisnya tumpah di sana, membiarkan ia meluapkan rasa bersalah juga rindu yang teramat dalam kepada sosok Mason Darel Kayana yang sudah bertahun pergi meninggalkan luka terdalam baginya.
Tubuh besar itu terlihat rapuh dan ringkih dalam rengkuhan sang kakak tertua. Wajah tampan itu memperlihatkan bagaimana rasa sakit yang ia simpan selama ini. Stefan tak kuasa menahan diri, air matanya ikut tumpah di sana. Tak lagi bisa menjadi sosok tegar yang menguatkan sang adik, ia justru ikut menyuarakan rasanya yang juga lama ia pendam seorang diri.
Dua orang kakak yang kehilangan sosok adik tercintanya itu menangis, di hadapan langit senja pantai itu. Pantai favorit juga pantai penuh duka bagi keduanya.
“We’re not saying goodbye, Mason. We’re just coming to say hi and that we’re missing you… To say that we’re sorry that we’re not reliable brothers for you- that we couldn’t protect you back then… We’re sorry, Mason. Please, please forgive us…”
“Gue sayang lo, Mason. Gue tau kalo lo inget ini tapi gue tetap bilang kalo gue sayang lo, Adek… Come to see me in my dreams, hm?”
Matahari senja itu kini sudah nyaris tenggelam sempurna, menyisakan Stefan dan Ghaffar yang tengah duduk di pinggiran pantai sambil memeluk lutut masing-masing tanpa bersuara. Menatap indahnya langit senja itu sungguh merupakan anugerah juga membuat hati Ghaffar meringis karena hari ini sama persis dengan hari di mana ia terakhir kali melihat Mason tersenyum sambil menyatakan rasa sayangnya kepada dirinya.
Dengan air mata yang masih berlinang, Ghaffar kembali mengatur nafasnya agar tak lagi-lagi menangis di sana, “Gue kangen Mason, Bang…”
“So am I, Ghaf. You have no idea how much I miss him too…”
“Mason bakal maafin gue ngga ya?” tanya Ghaffar dalam lamunannya, “Mason bakal benci gue ngga kalo gue mutusin untuk lanjutin hidup gue sama Kak Eijaz?”
Stefan lalu menolehkan wajahnya pada Ghaffar, menatap Ghaffar yang masih melamun menatap hamparan laut di hadapannya, “Mason gak pernah nganggap lo salah, Ghaf. Lo sendiri tau gimana sayangnya anak itu sama lo, lo paling deket sama dia. Jadi gak ada yang perlu dimaafin karena lo gak ada salah…”
“Gue gagal jagain dia dulu…”
“Kalo itu konteksnya, gue yang lebih bersalah karena gue kakak kalian berdua,” ucap Stefan sesaat setelah sang adik berkata demikian, “Rasa bersalah gue juga gede, adek gue ada dua, tapi kenapa salah satu dari kalian bisa lepas dari hadapan gue…?”
Mendengar kalimat yang dilontarkan Stefan, Ghaffar lalu menggeser tubuhnya merapat dengan Stefan, “Abang udah jagain kita dengan baik kok, Bang. Gue yang lebih deket harusnya lebih bisa paham sama Mason. Dia dari dulu nempel ke gue, sampe gue juga ngga mau banyak temen biar gue bisa nemenin dia yang udah dari dulu ngerasa dirinya ‘beda’. Gue juga, padahal gue juga sama kaya dia…”
“Lo berdua spesial, bukan beda.” sanggah Stefan pada ucapan Ghaffar, “Dan gak ada yang salah di mata gue. Gimanapun lo berdua, gue tetep bangga.”
Satu sudut bibir Ghaffar terangkat, seraya dengan senyuman yang muncul pada wajahnya yang masih sembab, “Thank you…”
Keduanya saling melempar senyuman tipis, sebelum kembali mengarahkan netra mereka ke arah langit senja. Tak perlu banyak suara, tak perlu banyak kata-kata yang dikeluarkan keduanya kala itu. Masih disibukkan dengan urusan hati masing-masing yang sama-sama memiliki pesan yang tertinggal untuk Mason.
“Abang…” panggil Ghaffar tanpa memalingkan wajahnya.
“Hm?”
“I visited Benhard two days ago…” tutur Ghaffar tiba-tiba, “I dared myself to visit him, and glad that my decision turned out well.”
Stefan yang terkejut itu kemudian menjulurkan tangannya dan menyentuh lengan Ghaffar, “Hah? Lo ke sana? Ngapain? Sendirian? Kenapa gak ngajak gue?”
Mendengar kepanikan dalam suara Stefan, Ghaffar lalu tertawa kecil dan menangkup telapak tangan sang kakak di lengannya, “Gue okay, as you can see now. Cuma pengen nyampein isi hati gue aja, gue rasa itu perlu buat gue belajar maafin diri gue sendiri. So, yeah, I faced him…”
“Terus ngomong apa aja? Kenapa sendirian? Kenapa ga sama gue aja?”
“Abang, it’s okay. Gue okay, jangan panik ya? Nih gue baik-baik aja.” ucap Ghaffar sembari menenangkan Stefan, “No one know this, cuma gue sama Benhard yang tau, not even you, not even our parents. Dan, Kak Eijaz juga ngga tau. Gue pergi atas keputusan sendiri, dan gue ngga nyesel.”
“Kenapa? Emang lo ngomongin apa ke Ben sampe lo gak ngasih tau siapa-siapa?”
“I just blatantly said that he’s evil in human form, the worst one- and God will never forgive him for killing Mason,” jawab Ghaffar padanya, “He’s a murderer, he took my brother’s life, and I will never forgive him for the rest of my life.”
Tak ada amarah yang terlihat pada sorot mata Ghaffar yang justru terlihat kosong itu. Stefan tahu adiknya merupakan sosok yang murah hati. Meski amarahnya membumbung tinggi pun ia tahu bahwa Ghaffar tak akan mudah tersulut meski ia membencinya.
“Dan gue minta dia buat minta ampun sama Mason once he got a chance to see him even in his nightmare.”
“And our little Mason will forgive him, no?”
“He will, Bang. Mason is an angel, of course, he’ll forgive him.” ucap Ghaffar sambil menundukkan wajahnya, “He’s too kind for this world, now I know why God asked him to come ‘home’…”
Ghaffar menautkan jemarinya, mendekap erat lututnya sendiri dan tersenyum tipis, “Gue ngga tau dosa apa yang lo bikin sampe hukuman Ben seberat itu, yang gue tau kita ngga punya bukti kuat untuk ngejerat Ben seumur hidup, dan gue ngehargain setiap keputusan yang lo bikin atas ini semua karena gue yakin lo sayang sama Mason. Dan, gue juga ngga akan nanyain soal apa, siapa yang terlibat, gimana caranya, kapan dan pertanyaan lainnya yang terkait sama Ben, deep down I’m thankful for those too. Dan lagi, gue tau lo ngga mau bikin tangan gue ikut kotor kan? Makanya lo mutusin buat diam?”
“Iya…”
“Makasih, Abang…” bisik Ghaffar lirih, “Makasih atas semua yang udah lo lakuin, makasih udah bikin gue bisa sedikit lebih lega karena Ben ngga akan bisa hidup bebas. Tapi janji sama gue, lain kali lo bakal libatin gue di setiap langkah apapun yang nyangkut keluarga kita, ya?”
Senyuman tipis itu kini terukir di wajah Stefan yang tampak lelah. Ia menolehkan wajahnya ke arah Ghaffar yang menunggu jawabannya lalu mengangguk pelan, “Iya, gue janji.”
“Now it’s time to letting go, right? Gue udah ngga mau hidup dengan ngingat Benhard lagi.”
“It is the right time, Ghaf. We have to remember what Mason left for us instead of keep thinking about the wound he left. Memang gak mudah, tapi gue yakin kita bisa. Lo sekarang udah balik ke lo yang dulu, sejak ketemu sama Eijaz. Dan untuk itu gue gak berhenti bersyukur, sampe gue mikir ‘kenapa gak dari dulu aja gue ngenalin Eijaz ke lo’, tapi gue yakin semua memang udah diatur waktunya sama Tuhan. Karena disaat lo kembali dihantui sama Ben, udah ada Eijaz yang selalu genggam tangan lo…”
Wajah tampan yang juga masih sembab itu kini tersenyum meski Stefan tak melihatnya dengan jelas karena Ghaffar masih menunduk, memainkan jari-jarinya yang saling bertaut.
“Mason juga pasti senang kan, Bang, ngeliat gue sekarang?” pertanyaan sederhana yang membuat hati Stefan sedikit teriris, “Mason ngga akan benci gue karena gue nyoba buat ‘hidup’ kan?”
“Lo yang paling deket sama Mason, lo juga pasti udah tau jawabannya. Mason will be the happiest if he know that you finally found your peace, Ghaf. Lo juga kan udah ngenalin Eijaz ke Mason?”
“Iya sih…”
“Now stop thinking about that, because we both know that Mason loves you and Eijaz too.”
“And you love me too, right?” tanya Ghaffar dengan lugunya menggoda sang kakak, “I know you love me but say it right now, I’m waiting.”
Stefan yang paham dengan karakter manja sang adik yang sering kali disembunyikan itu kemudian terkekeh geli, menggelengkan kepalanya karena rasanya Ghaffar masih seperti adik kecil yang selalu ingin diperhatikannya.
“Gue sayang lo, adek rese. As much as I love Mason.”
Puas dengan pengakuan sang kakak, Ghaffar pun tertawa kecil. Ia lalu menengadahkan kepalanya, kembali menatap langit yang sudah dihiasi dengan jutaan bintang, “Pasti seru ya kalo kita bertiga di sini, ngobrol, curhat. Atau kita berdua mungkin bakal jadi pendengar cerita Mason yang lagi jatuh cinta…”
“Atau gue sama Mason yang lagi dengerin lo ngomongin Eijaz.”
Suara tawa Ghaffar kemudian ikut terdengar bersamaan dengan suara deburan ombak yang kian menjadi, “Bakal capek kalian dengerin gue nyeritain Eijaz!”
Kedua kakak dan adik itu kini saling melempar tawa kecil yang justru menghangatkan suasana di sana meski angin yang bertiup mulai membuat tubuh keduanya bergidik. Meski begitu, mereka masih enggan untuk pergi dari sana. Menikmati waktu tanpa banyak memikirkan apapun seperti saat ini sudah jarang didapati oleh keduanya, ditambah sekarang mereka kembali ke tempat penuh kenangan bersama Mason di sana.
“Now live your life, Dek. No matter how far you’ll go, go with it. Live your life, and love everything you want to love. Gue bakal selalu dukung apapun yang lo lakuin, Ghaf. Dan gue harap dengan ini juga lo bisa pelan-pelan maafin diri lo sendiri, dan mulai semuanya dari hal yang lebih baik kaya hari ini. Dan ketika lo ngerasa capek, gue sama Mason bakal nunggu lo pulang. Selalu…”