Keduanya sampai pada tujuan yang dimaksud Ghaffar saat langit sudah berubah gelap. Seperti yang sudah diduga Eijaz sejak awal, Ghaffar akan kembali membuatnya terperangah kaget atas kejutan yang dirahasiakannya. Jika terakhir kali keduanya mengunjungi sebuah taman kecil di puncak bukit yang memiliki pemandangan seisi kota saat malam hari, kali ini Ghaffar membawanya kembali ke tempat yang tak biasa; sebuah pasar malam di pinggiran kota.
Eijaz yang tak menutupi rasa senangnya itu kemudian keluar dari mobil dengan langkah kaki yang bersemangat.
“Ghaf! Tau dari mana ada tempat kaya gini?” tanya Eijaz dengan volume suara yang ditinggikan agar Ghaffar dapat mendengarnya di tengah keramaian.
Ghaffar memalingkan wajahnya dan tak menatap Eijaz saat menjawabnya, “This is one of my favorite place when I was a little boy, Kak.”
Meski Eijaz hanya melihat dari samping, ia tahu Ghaffar juga senang datang kemari, “Oh ya? How cute…”
Ghaffar salah tingkah lagi. Laju debaran jantungnya tak lagi dapat ia kontrol saat Eijaz tertawa melihat kerumunan anak kecil yang sedang mengantri untuk membeli gulali. Tanpa pamit, Eijaz melangkah menuju kerumunan itu. Ghaffar yang memutuskan untuk membiarkannya itu menatap tubuh mungil pria itu dari belakang yang kali ini sedang berjongkok agar tingginya sama dengan para anak-anak. Tak lama setelah itu, Eijaz kemudian kembali setelah berbincang singkat dengan sang penjual gulali. Dari sana Ghaffar dapat melihat wajah senang Eijaz yang tulus meski wajah cantik itu tertutupi oleh masker.
“Abis ngapain, Kak?”
“Buy them some sweets, of course!” jawab Eijaz girang, “Do you want some, Ghaf?”
“Nope, I’ve got enough sweets already. Thank you for the offer, Kak”
Eijaz mengangguk seolah paham dengan maksud ucapan Ghaffar, “Ya udah kalo cukup, then I won’t give you the cotton candy!”
“You’re the sweets for me, Kak Ei…” ucap Ghaffar hanya dalam batinnya, tak memiliki keberanian untuk mengutarakan maksud.
Keduanya kemudian berjalan bersama memasuki pasar malam yang ramai itu. Mata Ghaffar berbinar kala melihat seluruh hal yang dapat ia ingat dengan jelas dari memori masa kecilnya. Matanya menyusuri setiap sudut, masih terkesima dengan segala kesederhanaan yang ada di dalam sana. Hidup di tengah kota besar tak membuatnya lupa setiap detil yang menimbulkan kesenangan yang sama seperti beberapa tahun silam.
“Dulu sering banget ke sini, Ghaf?” tanya Eijaz pada Ghaffar, memecahkan keheningan di antara mereka yang menghabiskan beberapa menit tanpa suara.
“Lumayan, almost every weekend.” jawab Ghaffar, “Sampe sekarang masih juga kok, Kak.”
“Oh ya? Serius?”
“Iya, biasanya sebulan atau dua bulan sekali. Kadang kalo lagi ngerasa everything’s too much, kadang butuh distraksi sampe ke sini.”
Eijaz menangkap nada serius dari kalimat yang baru saja diucapkan Ghaffar. Pria pendiam yang belakangan ini menyita perhatiannya itu pelan-pelan seperti ingin membuka diri. Hal sederhana yang membuat hati Eijaz menghangat karena ia pun merasa bahwa ia juga harus mulai terbuka pada Ghaffar.
“I thought that it’s only me who ever feels like everything’s too much, ternyata ada juga yang ngerasa kaya gitu.” ucap Eijaz padanya, “Cerita aja kalo lagi butuh pendengar, Ghaf. I’m all ears for you.”
Keduanya kemudian menghentikan langkah kaki mereka pada sebuah booth minuman, “Let me treat you this time, please?”
Ghaffar tak menjawabnya dengan suara, namun ia menganggukkan kepalanya dengan tersenyum pada Eijaz yang meminta izinnya. Eijaz menyerahkan satu cup minuman cokelat kepada Ghaffar, “I‘m not sure’ if you like it or not, tapi kata Mama, kalo ngasih orang sesuatu, harus yang kita suka. Berhubung gue suka sama cokelat, so here we go!”
“Who doesn’t love chocolate anyway!” Ghaffar meneguk pelan minuman itu, “Hm! It’s good!”
“My taste never wrong, people said.” ujar Eijaz dengan bangga.
“Feeling better?” tanya Eijaz pada Ghaffar yang duduk di sebelahnya seusai keduanya menghabiskan satu gelas minuman yang tadi dibeli Eijaz.
“Hm? Kok nanyanya gitu, Kak?”
“You said that you came here when everything’s too much, so I’m guessing that you’re in your deep thoughts right now? Lagi banyak pikiran ya, Ghaf?”
Eijaz melihat dua mata bulat Ghaffar hilang seketika karena pria tampan itu tertawa kecil, “Engga, Kak. Sometimes, iya. But today’s not one of that times. Hari ini cuma mau ngajak Kakak ke sini aja, like I said before, I just want to show you something that I love.”
Ghaffar dengan segala keluguan dan ketulusannya, lagi-lagi membuat jantung Eijaz nyaris berpindah tempat.
“Tempat ini memang bikin hati tenang sih, walaupun isi kepala udah berisik, ke sini malah lega. So I understand kenapa lo seneng ke sini terlepas dari tempat ini sering lo kunjungin waktu kecil. Makasih ya buat sekali lagi ngasih kepercayaan buat gue tau tempat rahasia lo…”
Ghaffar mengangguk pada Eijaz, tak menjawabnya dengan vokal karena ia tiba-tiba merasa sedikit sesak karena debaran jantungnya sendiri. Kedua anak adam itu kini sedang duduk di salah satu kursi taman yang terletak tak jauh dari keramaian yang ditujukan untuk para pengunjung yang butuh tempat beristirahat sejenak. Eijaz menengadahkan kepalanya menatap langit malam itu yang bertaburan bintang yang banyak sekali, menambah kesan indah hari itu.
“K-kak Ei?” panggil Ghaffar tiba-tiba dengan terbata.
“Hm?” Eijaz tak menatapnya namun tetap mendengarkan Ghaffar, “Tell me, Ghaf.”
Ghaffar yang gugup itu sibuk mengatur nafasnya sendiri sebelum kembali berujar, “Jujur, sebenarnya I don’t even know what to say, mungkin Kakak yang udah tau how clueless I am about this thing. But everything that I confessed to you before is real. I even did so much web surfing about feelings to make sure about my own feeling since this is my first time.” Ghaffar memberi jeda kalimatnya untuk menarik nafas, namun saat hendak melanjutkan kalimatnya, ia sudah dapat melihat Eijaz menatap wajahnya yang sontak membuat rasa gugupnya bertambah berkali lipat, “Y-yes, you’re the f-first one, I never have this feeling before I met you…”
Ghaffar mengepalkan kedua tangannya, berusaha keras untuk bersikap tenang karena ditatap seperti ini oleh Eijaz justru memperburuk rasa gugupnya, “I-I won’t do or say anything else, but if you let me in, please, guide me, Kak…”
Sorot hangat sepasang mata Eijaz itu dapat dirasakan oleh Ghaffar. Yang tak dapat dirasakan oleh lelaki itu hanyalah jantung Eijaz yang berdetak kencang- yang mungkin sama gilanya dengan milik Ghaffar.
“Naik itu yuk, Ghaf?” Eijaz menunjuk bianglala secara tiba-tiba tanpa menghiraukan kalimat yang sudah susah payah Ghaffar ucapkan padanya.
Tak merasa kecewa sama sekali, Ghaffar justru menyetujui ajakan Eijaz. Keduanya kemudian berdiri bersamaan, namun hal yang tak diduga Ghaffar adalah Eijaz yang mengulurkan satu tangannya ke arah Ghaffar.
“If you want, of course.” ucap Eijaz dengan senyum manisnya.
Ghaffar menyambut baik tangan Eijaz. Tangannya yang berukuran lebih besar itu dengan cepat menggenggam tangan mungil Eijaz.
Hangat.
Keduanya berjalan dengan tangan yang saling bertaut. Wajah keduanya yang tertutup masker pun tak membuat aura bahagia mereka redup. Siapapun yang berpapasan dengan dua anak adam itu akan merasakan dengan jelas bahwa ada sesuatu yang berbeda.
Dan menyenangkan.
“Kak, ini ke bianglala bukan karena Kakak mau gigit kan?” tanya Ghaffar tiba-tiba yang membuat Eijaz tertawa terbahak-bahak.
“Ya Tuhan! You just made me really want to attack you right now, Ghaf!” tutur Eijaz di tengah tawanya, “Ya engga lah! I just want to enjoy the view from above.”
With you.
Ghaffar tersipu malu, merasa seolah ia benar-benar lugu hingga tak begitu paham dengan candaan Eijaz tadi.
Eijaz kembali jadi yang pertama untuk menyodorkan uang untuk membeli tiket untuk naik ke biang lala. Ghaffar memutuskan untuk membiarkannya karena ia tak ingin membuat Eijaz mengomelinya. Dua pasang kaki itu beranjak masuk, duduk berhadapan dan saling melempar senyum.
Eijaz menatap keluar, menikmati pemandangan pasar malam yang membuat matanya semakin berbinar. Sementara Ghaffar masih sibuk dengan pikirannya sendiri- dan sepasang manik bambi yang tak berhenti menatap Eijaz.
Rasa gugup itu kembali menjalarinya, kian membesar kala Eijaz memalingkan wajah dari arah luar untuk menatap kedua matanya. Eijaz melebarkan senyumnya, membuat Ghaffar secara otomatis menunduk karena rasa malu. Meski cahaya di atas sana tak seterang saat keduanya di bawah, Eijaz dapat dengan jelas melihat bagaimana kulit putih mulus wajah Ghaffar bersemu.
“Ghaf?”
Lagi. Jantung Ghaffar mengkhianati dirinya sendiri. Hanya dipanggil demikian oleh Eijaz ternyata dapat membuatnya kehilangan akal.
“Ga usah dijawab kalo ga nyaman.” ucap Eijaz kemudian, memahami bahwa Ghaffar tak mampu mengeluarkan suaranya, “I believe you- and everything you’ve said to me. Ga sedikitpun aku mikir bahwa kamu bohong atau pura-pura, I can feel the honesty since the beginning.” Eijaz mengatakan semuanya dengan senyuman yang selalu meluluhkan Ghaffar.
“Including your confession, I believe it too. And…,” Eijaz menjeda kalimatnya untuk menarik nafas dan memhembuskannya pelan, “I like you too, Ghaf.”
“Rasanya sedikit egois kalo gue ngaku gini, apalagi niat awalnya cuma mau temenan. But how can we be friends with someone we love, they said? Tapi aku mau, Ghaf. Even we have this feeling between us, I really want to be friends with you- walaupun perasaannya ke kamu ga sama kaya aku ke temenku yang lain. You’re special, of course. Dan aku ga bakal nyangkal bahwa aku juga pengen lebih dari temen…”
“This sudden feeling that I feel since I met you is beautiful, same as you, I never feel this way before meskipun I’ve been in some relationships before. Aneh ya?” Eijaz tertawa kecil, berusaha mencairkan suasana agar dirinya sendiri tak merasa semakin gugup, “Tapi aku ga protes, aku ga denial. I want to enjoy this feeling- with you.”
Eijaz mengambil satu tangan Ghaffar untuk ia bawa ke atas pahanya dan ia genggam erat dengan kedua tangan mungilnya, menatap sepasang manik bambi milik Ghaffar sebelum melanjutkan ucapannya.
“I’ll let you in, Ghaf. Friends or more, I’ll guide you…”