Jimin tengah berada dalam perjalanannya untuk turun dari ruangan kerjanya ke parkiran gedung kantor, menyusul Jungkook yang baru memberitahunya bahwa ia sudah sampai di sana ketika bunyi notifikasi pesan masuk dari nomor yang tak dikenal itu ia terima.
Kim Taehyung- mantan kekasihnya yang sudah tak lagi ia ingin dengar namanya. Laki-laki yang tega bermain api di belakangnya dengan tiga orang yang berbeda di saat ia dengan tulus menyayanginya- menunggu kabar dengan sabar, dan mengalah tiap kali Taehyung tak memproritaskan waktunya untuk Jimin.
Baru saja ia memblokir nomor Jane karena kaitannya dengan Taehyung, lelaki yang dicari oleh Jane itu lalu muncul tiba-tiba, mengirimkan foto dirinya dan Jeon Jungkook saat ia dicium oleh Jungkook yang telah resmi menjadi kekasihnya kemarin sebelum keduanya berpisah di parkiran gedung kantor milik Jimin. Nafas Jimin tercekat, seumur hidupnya ia tak pernah mendapat perkataan sekasar itu dari orang yang pernah menjalin hubungan dengannya.
Taehyung melimpahkan kesalahan kepadanya, mengatainya dengan kata-kata tak pantas yang tak pernah ia duga akan ia dapatkan dari lelaki yang pernah disukainya itu. Jimin pikir setidaknya Taehyung bisa introspeksi diri kala ulahnya ternyata diketahui oleh Jimin sedari lama, namun ternyata pikirannya terlalu positif- terlalu baik untuk lelaki yang bahkan tak pantas ia sebut namanya.
Tubuhnya gemetar, nafasnya tak beraturan. Degub jantungnya kencang, bulir keringat ikut memperburuk keadaan Jimin yang mulai merasa mual. Ia menggenggam kuat ponsel di tangannya, juga menggenggam erat pegangan pada sisi lift yang membawahnya turun, berusaha keras untuk menguasai diri sebelum pintu lift terbuka.
Bunyi denting yang menandakan ia sudah sampai pada tujuannya itu membuat kepanikannya menjadi. Netranya tak sanggup fokus dengan apa yang ia lihat di hadapannya. Jimin menggelengkan kepalanya pelan, berusaha mengusir rasa paniknya dengan memijat batang hidungnya agar tak merasa pusing lalu dengan perlahan melangkah keluar tanpa menyadari beberapa pasang mata kini tertuju padanya.
Ia lalu mengerjapkan kedua matanya, berusaha menenangkan diri dari serangan paniknya yang tiba-tiba. Lengannya kini disentuh hangat oleh tangan orang lain yang tak ia ketahui siapa. Otaknya tak sanggup berpikir, lalu ia hanya berharap orang itu tak memiliki niat buruk padanya.
“Ji? Babe? You okay?”
Suara itu. Suara yang paling ingin Jimin dengarkan saat ini. Suara laki-laki yang presensinya paling ia tunggu, laki-laki yang kini sanggup membuatnya rindu.
Jimin lalu mengangkat wajahnya, menatap wajah tampan milik kekasihnya itu kini tengah memandangnya penuh cemas.
“H-halo…” sapa Jimin dengan suaranya yang lirih.
Jungkook tentu tak perlu menunggu Jimin memintanya, ia dengan cepat merapatkan tubuhnya, melingkarkan satu tangannya pada pinggang ramping Jimin dan berjalan pelan, membiarkan lelaki itu menempelkan kepalanya di pundaknya sembari keduanya berjalan menuju ruang tamu gedung itu.
Jungkook tak bertanya sepatah katapun, ia membiarkan lelaki itu untuk mengendalikan dirinya terlebih dahulu. Ia membawa tubuh Jimin untuk duduk di sofa tamu, lalu dengan bergegas menjauh dan kembali dengan sebotol minuman di tangannya yang sudah ia buka untuk Jimin.
“Minum dulu ya, sayang.”
Detik itu juga Jimin ingin menangis kala mendengar suara lembut Jeon Jungkook yang dengan magisnya menghantarkan rasa hangat yang paling Jimin cari. Jungkook berjongkook di hadapannya, menyodorkan sebotol air mineral kepada Jimin dan mengusap pelan permukaan paha kekasihnya, bermaksud untuk menenangkan Jimin yang terlihat gelisah. Mata bambinya terlihat khawatir kala netra Jimin bersitatap dengannya, bertanya hanya dengan tatapan mata.
“Thank you…” bisik Jimin sambil mengusap pelan punggung tangan Jungkook di pahanya, “I’m feeling better now, ke mobil yuk?”
“Serius? We can cancel our lunch schedule kalo kamu ngerasa ngga enak badan. Aku temenin sampe kamu enakan.” ucap Jungkook yang masih memperlihatkan raut wajah khawatirnya.
Jimin mengangkat wajah, pandangannya mengedar ke seisi lobi kantornya. Terlihat beberapa staf juga resepsionis, dan petugas keamanan berdiri tak jauh darinya dan Jungkook- terlihat khawatir dengan kondisinya. Jimin lalu memberikan anggukan pelan kepada semua orang yang menunggu agar tak lagi khawatir dengannya.
“A-aku diliatin orang ya ternyata…” gumam Jimin sambil tersenyum tipis lalu membawa satu tangannya untuk menutup setengah wajah cantiknya, “Ke mobil yuk? Terus kayanya aku mau pulang aja abis makan. Kamu mau nganterin aku pulang ngga?”
“Kaya gitu ngga perlu ditanyain lagi, Ji. I’m with you, remember?” tanya Jungkook padanya, “Aku ikut kamu hari ini, let’s skip our works.”
Jungkook lalu mengambil ponsel dari sakunya, menelepon Nana- sekretarisnya untuk mengundur semua jadwalnya hari ini. Nana yang memang sudah bertahun-tahun bekerja dengannya langsung paham tanpa mempertanyakan alasan atasannya lebih lanjut.
“I got you, let’s go?” ajak Jungkook dengan membesarkan mata bambinya sambil menggenggam tangan Jimin yang berada di atas lutut sang empunya.
Senyuman cantik itu kemudian muncul di wajah Jimin yang sudah tak lagi terlihat sepanik tadi, membuat lelaki yang masih berjongkok di hadapannya itu ikut merasa lega, “Ayo, I want some delicious food.”
Tak banyak yang keduanya bicarakan sepanjang perjalanan mereka. Jungkook membiarkan Jimin untuk menyibukkan diri dengan ponselnya, menjawab beberapa telepon terkait pekerjaan, juga telepon dari teman-teman yang mengkhawatirkannya. Jimin selalu terlihat sebagai atasan yang tanpa cela; tampan, ramah, royal, sopan, juga tak membedakan strata sosial meski ia adalah putra pimpinan yang mempunyai hak istimewa tak terbatas. Jimin dicintai oleh semua lini karena sikapnya juga hatinya yang bersih, tak pernah sekalipun ia mendengar rumor buruk tentang dirinya meski ia adalah pewaris tunggal. Maka sudah tak heran jika keadaan tadi sanggup membuat heboh seluruh isi gedung.
Jungkook memberinya waktu, memberinya ruang untuk menenangkan diri dari apa yang mengganggunya, menunggu Jimin untuk siap bercerita tanpa harus ia paksa. Dalam hatinya, Jimin bersyukur karena lelaki itu tak bersikap berlebihan, tidak membuatnya merasa tak nyaman sama sekali, melainkan presensi Jungkook justru dengan cepat menenangkannya.
“Kook?” panggil Jimin setelah menyelesaikan sesi teleponnya dengan orang yang Jungkook duga adalah teman dekatnya, “Kamu mau bawa aku kemana ini?”
“The fanciest one.” jawab Jungkook singkat dengan senyum penuh rasa bangga.
“I’m okay with the subway or some streetfoods for lunch, to be honest. Jangan mentang-mentang kita berdua punya uang, makan siang juga harus pake black card.” ledek Jimin pada kekasihnya yang sibuk menyetir.
Jungkook hanya tertawa di sampingnya, tak menjawab candaan Jimin yang juga ikut tertawa bersamanya. Pandangan matanya lurus ke jalanan. Tak lama kemudian ia mendengar suara kecil Jimin yang tengah bernyanyi mengikuti lagu yang terputar. Sudut bibir Jungkook terangkat, menikmati suara merdu Jimin yang untuk kali pertama ia dengarkan. Jari telunjuknya ikut bergerak, mengetuk permukaan setir seirama dengan musik yang ia dengar.
“Aku kok malah takut kalo kamu diem ya?” tanya Jimin tiba-tiba, “Kamu kalo mau nanya sesuatu, tanya aja gapapa loh, Kook…”
“Sebentar lagi sampe kok, ngobrolnya tunggu sampe aja ya? I’m okay if you’re okay, aku ngga diem. I’m just giving you some space, I won’t rush anything to make you uncomfortable.”
Seketika Jimin merasakan hal aneh yang datang dari dalam perutnya. Degub jantungnya mulai tak normal lagi, berdebar kencang tanpa jelas alasannya apa. Ia lalu memalingkan wajah, sadar bahwa rona merah mulai mengisi setiap sisi wajahnya. Ia tak ingin Jungkook melihatnya tersipu.
Jungkook yang melihat Jimin mengepalkan kedua tangannya sembari menatap ke sisi pintunya itu lalu berinisiatif mengambil tangan Jimin, menautkannya dengan miliknya yang hangat lalu menariknya untuk ia letakkan di atas pahanya.
“It’s perfectly fit with mine,” ujar Jungkook kala mengeratkan genggaman tangannya, “Your hand, in mine. Perfect.” ucapnya dengan senyum yang membuat sepasang mata bambi itu menyipit.
Jimin memberanikan diri untuk menatap wajah tampan lelaki yang dalam sekejap mata menjadi tempat nyamannya. Lagi, hatinya menghangat. Ia merasa seluruh darah di tubuhnya berdesir hebat.
Ini merupakan kali pertama dalam hidupnya, meski ia tak ingin menyuarakan dengan vokal, Jimin tahu kini ia tahu kemana harus pulang.