I Tell The Star About You

raine.
7 min readSep 3, 2022

--

Suara deburan ombak yang masuk ke dua pasang telinga milik Ghaffar dan Eijaz yang tengah bersantai di tepian pantai itu tak membuat keduanya merasa bising sama sekali. Ghaffar justru menikmatinya- bersama dengan Eijaz yang kini berada di sisinya. Beruntung cuaca sore itu seolah mendukung aktivitas keduanya di sana, melawan kerasnya suara ombak dengan suara tawa yang digaungkan keduanya. Meski tak dapat mengalahinya, Eijaz juga Ghaffar tak henti melontarkan canda.

Eijaz tak mengeluarkan satu pertanyaan pun dari bilah bibirnya tentang mengapa Ghaffar memilih pantai sebagai destinasi tujuan akhir mereka hari ini. Berdasarkan apa yang sudah ia dalami, Ghaffar memang tak jauh berbeda darinya- menyukai buku, pepohonan, pantai, terlebih jika hal-hal tersebut jauh dari jamahan manusia ramai.

Ya, ia dan Ghaffar sama-sama menyukai kedamaian, tanpa hiruk-pikuk khas kota besar tempat keduanya tinggal.

“Tadi malem ngobrol apa aja sama Mama? Kayanya lama banget tuh teleponannya…” tanya Ghaffar pada Eijaz yang sedang sibuk memanjakan netranya ke arah laut di hadapannya.

Senyumnya mengembang tanpa menolehkan wajahnya ke arah Ghaffar, “She’s so adorable, she praised you so much, Ghaf.”

“She’s always like that.” Ghaffar ikut tersenyum. Ibunya memang selalu seperti itu kepada semua orang di dekatnya; membangga-banggakan presensinya yang terkadang terlalu berlebihan bagi Ghaffar sendiri. Namun ia tak pernah memprotes, karena ia tahu sang ibu teramat menyayanginya.

“Mama tanya, kenapa aku ga mau nginep di rumah kalian,” Eijaz menoleh ke arah Ghaffar, “Kamu bilang ke Mama ya kalo aku malu?” tanya Eijaz sambil memicingkan kedua matanya.

“Aku cuma ngomong jujur, so yes, I told her that.

Eijaz kemudian kembali menatap ke depan, menarik nafas panjang dan menghelanya, “Aku udah janji kalo mulai hari ini aku bakal nginep di rumah kamu, Ghaf.”

“Serius?”

“Iya.”

Senyuman di wajah Ghaffar mengembang sempurna setelah mendengar jawaban singkat Eijaz. Pada akhirnya lelaki itu luluh juga, batinnya.

Ghaffar kemudian bergeser dari posisinya, menempatkan diri tepat di sebelah Eijaz tanpa jarak. Eijaz kemudian menyandarkan kepalanya pada pundak Ghaffar dengan santai, merasa seluruh beban di kepalanya terangkat kala satu tangan Ghaffar melingkar sempurna di pinggangnya.

“Ghaf, mau denger cerita ga?”

Hm? Cerita?”

“Iya, ceritaku.”

“Mau,” Ghaffar kemudian ikut menempelkan kepalanya pada kepala Eijaz, “Aku mau denger semua cerita Kakak.”

Suara tawa kecil Eijaz yang seirama dengan gerakan tubuhnya yang bergetar itu candu. Ghaffar sekali lagi dibuat jatuh hati dengan suara Eijaz yang selalu membuatnya candu.

“Aku tuh anak tunggal. I’ve been living with Willy for almost my entire life, I guess? Both of my parents are just like yours, living next to each other, berdua aja- karena aku udah disibukkan sama aktivitas kerja dari kecil. Dulunya aku ga pernah kepikiran kalo itu bakal jadi sumber pikiran jelekku, ‘as long everything went well, my parents will be proud of me’, dari dulu aku mikirnya gitu terus. Kerja, kerja, dan kerja. Sampe pada akhirnya aku nginjakin kaki di rumah kamu, and saw how your family welcomed me warmly, saw you, Stefan, and your parents interactions, ‘ah- I missed this warm feeling…’, terus tiba-tiba kepikiran pengen punya adek, just like how Stefan have you…” Eijaz menjeda kalimatnya, menarik nafasnya pelan dan mengeratkan pelukannya pada lengan Ghaffar sebelum melanjutkan kalimatnya, “Kayanya bakal seru aja punya saudara ya Ghaf?

I can be your little brother if you want, moreover you’re at the same age as Bang Stefan,” Ghaffar tersenyum di posisinya, membayangkan bagaimana jika Eijaz menjadi sosok kakak baginya tentu tak pernah terlintas di pikirannya, “Tapi kayanya ngga cocok, cocoknya jadi pacar aja.”

“Siapa juga yang mau jadiin kamu adek aku? I prefer you as my boyfriend though,” protes Eijaz pada Ghaffar, “Tapi serius, Ghaf. Seru kan ya punya saudara? Kaya ga perlu khawatir aja gitu karna pasti ada yang ngejagain. Aku suka iri ngeliat kamu sama Stefan- kalo udah posesif tuh bener-bener bikin cemburu kadang, padahal aku tau kalian saudara kandung…”

Suara tawa Ghaffar terdengar bersamaan dengan suara ombak yang kembali muncul di bibir pantai, membuat tubuh Eijaz ikut bergetar karena pundak Ghaffar bergerak naik-turun karena tawa, “Ngapain cemburu sama Bang Stefan sih, Kak? Of course I love him and will always do, but both of you are in different context, he’s my brother- and you are my lover.

Ghaffar kemudian menarik tubuh Eijaz dengan satu tangannya, “And, I never kiss Bang Stefan.”

Eijaz kemudian tertawa, tak menyangka bahwa kalimat Ghaffar itu akan membuatnya tergelak seperti ini, “Ya kalo kamu cium-cium Stefan like the way you kiss me, yang ada kalian dicurigai!”

“Nah makanya, cemburu kok sama Bang Stefan. Cemburu tuh sama Eijaz aja, he’s the only one who had my heart for the most part now.

Ghaffar Ozanich Kayana, lelaki dua puluh tiga tahun yang tak pernah ada pengalaman cinta- sifat jujurnya sering kali membangunkan ribuan kupu-kupu yang tertidur lelap di dalam diri Eijaz hanya dengan kata-kata sederhananya.

Still, masih cemburu. Aku kalo lagi sedih ga bisa cerita ke siapapun selain Willy atau Hugo.”

“Kan bisa cerita ke aku? I’m willing to hear.

Eijaz kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Ghaffar, menatap tepat pada manik bambi yang selalu menatapnya penuh kasih, “Kenapa kamu selalu mau denger? Padahal aku juga bisa jadi pendengar loh, Ghaf.”

“Eh? Maksudnya?”

“Aku bahkan ga bisa ngitung udah berapa kali kamu bilang ‘I’m willing to hear’, cuma aku rasanya belum pernah denger ‘I want to tell you something’ atau ‘aku mau cerita, dengerin ya?’ ke aku…”

Merasa bingung dengan perubahan arah pembicaraan yang tiba-tiba, Ghaffar nyaris tak mampu bersuara. Pertanyaan juga pengakuan Eijaz barusan itu sedikit menamparnya karena ia pun sadar bahwa ia selalu ingin mendengar, ia selalu ingin menjadi pendengar yang baik untuk Eijaz.

Not only for Eijaz, but for everyone he loves…

“K-kak…”

Stop, jangan berani-berani minta maaf!” Eijaz memotong kalimat Ghaffar dengan sengaja, “Aku ngomong gitu ga ada maksud apapun, cuma mau ngembaliin kalimat kamu, kalo aku juga akan selalu dengerin apapun yang mau kamu ceritain, Ghaf. Rely on me more, ya? I can be a very good listener for you.

“Aku ga maksain kamu untuk ngomong apapun sekarang. Aku cuma pengen kamu ngerasa aman same as how I feel safe around you. Cuma kalo aku boleh minta, aku pengen nanti- suatu saat, kamu juga bisa cerita tentang apapun ke aku, senyaman mungkin… Just like you said that I’m your sanctuary? You’re my sanctuary too. Jadi, jangan pernah simpan semuanya sendiri ya, Ghaf? Ngeliat gimana sakitnya kamu waktu itu juga bikin aku hancur sejadi-jadinya. I never thought that that kind of pain is existed, but I guess what people said about love is true; that you’ll feel the pain too.

Tatapan lembut Eijaz itu membuat rasa harunya menjadi. Ghaffar sudah tak lagi sanggup menahan air matanya agar tak turun membasahi wajahnya dan membuat Eijaz khawatir. Namun apa yang dilakukan Eijaz padanya justru membuat tubuh besar itu bergetar, terisak tanpa suara dalam pelukan hangat Eijaz yang menenangkannya.

“I- I’ll tell you something…” bisik Ghaffar di telinga Eijaz dengan suara seraknya yang terputus-putus, “I- I never thought that I could let t-this out of my c-chest but I think now is the t-time…”

Eijaz tak melepas pelukannya, membiarkan Ghaffar bercerita tanpa jeda meski ia masih terisak di sana, “Aku bawa Kakak ke s-sini karna pantai ini c-cantik. It brings me peace and p-pain at the same time, karna, k-karna — ” Ghaffar menarik nafas panjang, mengisi seluruh bagian paru-parunya dengan oksigen yang cukup, “Because this is the place where I s-spread my b-brother’s ashes…”

Jantung Eijaz nyaris berhenti berdetak mendengar pengakuan tak terduga yang keluar dari bilah bibir tipis Ghaffar, kekasihnya. Kedua matanya membesar sempurna, terkejut bukan main karena tak pernah menyangka bahwa ada fakta mengejutkan yang tak pernah ia bayangkan akan ia dengar dari sang kekasih. Eijaz membeku di tempatnya, tak tahu harus bereaksi seperti apa karena ia tak ingin membuat Ghaffar gusar karena dirinya.

Dua tetes air matanya jatuh tanpa aba-aba, membasahi pundak Ghaffar yang masih tertutupi jaket tebal. Ia tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Pelukannya mengerat, memeluk tubuh Ghaffar dengan segenap rasa yang ingin ia sampaikan kepada sosok lelaki yang teramat dicintainya.

“I’m so sorry…” bisik Eijaz pelan di tengah isak tangisnya sendiri, mengusap punggung besar Ghaffar dengan dua telapak tangannya yang mungil, “I’m so sorry, sayang. So sorry…”

Ghaffar berusaha keras untuk menenangkan dirinya, tak ingin membuat ia dan Eijaz menghabiskan waktu dalam tangis meski ia sudah menduga hal ini akan terjadi. Ghaffar yang telah membulatkan niatnya untuk ‘mengenalkan’ sosok mendiang sang adik kepada Eijaz itu kini merasa satu per satu beban di pundaknya terangkat. Memberi tahu Eijaz tentang penyebab lukanya memang tak mudah, namun Ghaffar tahu ia harus melangkah maju meski rasa sakit itu tak akan pulih termakan waktu.

“Mason Darel Kayana, the star that I talked about…” ucap Ghaffar di tengah tangisan Eijaz yang tak mereda, “Greet him while you’re here, Kak, I’ve told him a lot about you through my prayers and dreams…”

Di tengah isaknya, Eijaz menarik diri dari pelukan erat Ghaffar. Wajah cantiknya yang kini sembab berusaha keras membalas senyuman tipis Ghaffar yang justru membuat hatinya semakin teriris. Ia dapat dengan jelas merasakan kesedihan yang telah lama Ghaffar sembunyikan, tak hanya darinya, tapi juga dari siapapun yang berusaha mendekatinya.

Lelaki bertubuh mungil itu kemudian kembali ke posisi semula, duduk di sebelah Ghaffar dan menautkan kedua tangan dan mengangkatnya setinggi dada. Ia menundukkan kepalanya, dengan kedua mata yang terpejam Eijaz memanjatkan doa yang hanya ia dan Tuhan yang tahu jelas apa isinya.

Mason Darel Kayana, nama yang tak pernah henti Ghaffar sebut dalam doanya. Nama yang tak pernah hilang dari ingatannya. Nama yang nyaris tak pernah ia sebutkan di depan orang. Nama indah sang adik yang sudah terlebih dahulu pergi ke surga- meninggalkan sejuta kenangan manis juga rasa sakit yang Ghaffar yakini tak akan pernah sembuh hingga nanti.

“Halo, Mason. It’s been a while since the last time I visited you here. How’s Heaven? I hope Heaven and its angels treat you well above there… I bring Eijaz today, Dek, the one I mentioned the most for these past few months. The one who brings the brightest light to my dark life after you were gone… The one who constantly brings joy into my life in a very short period of time… Kak Ei cantik kan, Dek? I bet that you’d be in love with him like I am right now. Hari ini gue berhasil ngelangkah jauh… sekali, dan salah satu sumber semangat gue sekarang Eijaz. Lo pasti inget kan, gue sering nyebut nama dia kalo lagi cerita sama lo lewat doa. Please, give us your blessing from above, gue bakal sering cerita soal lo ke Kak Ei mulai hari ini, and vice versa. You’ll forever live in me, Mason. I miss you, always…”

--

--

No responses yet