Intention

raine.
5 min readAug 27, 2022

--

sr. pinterest

Sudah tiga jam Eijaz habiskan di dalam studio, menyanyikan beberapa lagu yang baru rampung ia tulis dan mencoba menyanyikan dua lagu yang Stefan kirimkan kepadanya. Meski tanpa Stefan, ia mampu membuat sang pencipta lagu terkesima dengan suara apiknya. Eijaz tentu saja senang karena segala hal tampak membaik di sekitarnya.

Ghaffar yang sibuk menghabiskan waktunya bersama ayah dan ibunya serta Stefan di LA, Ghaffar yang mulai membaik dari kondisinya saat meninggalkan Eijaz beberapa hari lalu. Sang kekasih tak pernah absen mengabarinya meski perbedaan zona waktu cukup membuat keduanya kelimpungan. Eijaz bersyukur bahwa Ghaffar tak sedikitpun melupakannya meski jarak sedang memisahkan mereka.

Stefan yang juga masih menemani sang adik di sana turut aktif memberinya kabar tentang terapi yang Ghaffar jalani. Meski penasaran setengah mati, Eijaz tetap menghormati dua kakak beradik itu untuk tak bertanya perihal trauma yang dialami Ghaffar, trauma yang sepertinya bukan hal sepele untuk ia abaikan. Eijaz merasa ia lebih baik menunggu ketimbang harus bertanya karena ia sangat takut hal dapat memburuk karena terpicu dengan pertanyaan-pertanyaan yang mungkin akan ia tanyakan.

Eijaz menunggu dengan sabar, karena Ghaffar juga berjuang di sisi lain.

“Hugo, gue capek.” ucap Eijaz sesaat setelah melepas headphone yang menempel di kepalanya, “Mau libur boleh ga?”

“Baru juga kerja hari ini udah minta libur lagi lo?”

“Capek, kangen Ghaffar.” jawab Eijaz cuek, “Kangen Ghaffar, pengen peluk Ghaffar…”

Hugo menggelengkan kepalanya pelan, merasa tingkah Eijaz kali ini sangat lucu karena memang betul ia terlihat sedih karena merindukan presensi sang kekasih, “Emang ya, kalo udah cinta mah susah.”

“Ya gimana, Go. Satu sisi gue paham banget kalo Ghaffar butuh dan harus deket sama keluarganya in this crucial time, tapi sisi egois gue pengennya dia di sini sama gue…”

Eijaz kemudian mengambil ponselnya, membuka pengunci layar dan sibuk mengusap pelan layar ponselnya, mungkin tengah membaca pesan dari yang ia tunggu kabarnya, “Nih liat, Stefan barusan ngirimin foto.”

Ia kemudian menyodorkan layar ponselnya kepada Hugo, “Lagi sakit aja cakep banget, Go. Pacar gue nih. My very strong boyfriend.

Eijaz tersenyum bangga kala menunjukkan foto yang dikirimkan Stefan padanya. Foto yang memperlihatkan Ghaffar dalam balutan coat panjang berwarna hitam dengan wajah yang tertutup masker sedang duduk berhadapan dengan seorang dokter yang Eijaz ketahui sebagai dokter yang sudah lama menangani Ghaffar. Sorot matanya terlihat lelah, namun Eijaz dapat melihat bahwa pria itu tersenyum di balik maskernya.

“Iya ya, emang cakepnya cowok lo gak ada obatnya dah.”

“Iya kan? Makin kangen jadinya gue…”

“Udah seminggu bukan sih?” tanya Hugo pada Eijaz yang kini tersenyum menatap ponselnya.

“Sepuluh hari, Go. Udah sepuluh hari dia di sana.”

“And he still won’t let you know about his condition?”

“He told me about his condition everytime, but I won’t ask about what’s the trigger.” jawab Eijaz padanya. Ia kemudian meletakkan ponselnya di meja yang terletak di sebelahnya, “Waktu terakhir kali gue ketemu Ghaffar yang pingsan di pelukan gue, itu waktu yang paling pengen gue lupain karena rasa sakit Ghaffar nyampe ke gue, Go. I really don’t know what he’ve been through in his life before sampe kaya gitu…”

Hugo lantas maju selangkah, menepuk pelan pundak Eijaz yang mulai menunjukkan raut wajah sedihnya, “Sorry, Jaz. Gue gak maksud bikin lo sedih lagi…”

“It’s okay, ga bakal gampang gue lupain juga sih. Gue jadi ngerasa banyak yang gue belum tau dari Ghaffar, tapi di waktu yang bersamaan juga gue ngerasa gue lihat lebih banyak dari yang seharusnya gue lihat…”

Eijaz tersenyum getir mengingat bagaimana hari itu. Jika saja tak ada kejadian yang membuatnya terpukul, mungkin itu akan menjadi hari paling indah dalam sejarah hubungannya bersama Ghaffar- saat keduanya menghabiskan waktu berdua di suatu pedesaan yang menyejukkan jiwa keduanya.

Hanya berdua, tanpa ada hal lain yang mereka kira dapat melunturkan rasa bahagia mereka hari itu.

“Ghaffar kuat kan, Go?” tanya Eijaz pelan, mengangkat wajahnya untuk melihat Hugo, “Ghaffar kuat kan ya di sana?”

“Kenapa lo nanya gitu? Kan lo tiap hari kontakan sama dia, you know how strong he is, right?

“Gue mulai ga kuat deh Go, rasanya gue juga pengen ada di sana dampingi dia…”

“Itu tujuan lo pengen libur?” tanya Hugo padanya, “Lo pengen nyusulin Ghaffar?”

“Jujur, iya. Tapi satu sisi gue juga takut kalo gue kesana malah bikin dia ga fokus sama recovery dia…”

“Kenapa lo ga coba tanya Stefan? Daripada lo bingung sendiri di sini Jaz, mending tanya Stefan deh saran gue.”

“Gue takut…” tutur Eijaz pelan, sibuk memainkan jemarinya yang bertaut gugup, “Gue takut kalo keberadaan gue di sana ga bisa ngebantu sama sekali…”

Hugo memahaminya, Eijaz memang selalu berpikiran jauh di luar kendalinya, “Jaz, ada kalanya lebih baik isi kepala lo dikeluarin langsung ketimbang lo mikir kejauhan terus. Coba tanya Stefan ya? Atau gue aja yang nanyain?”

Eijaz kemudian menggeleng cepat, menggoyangkan kedua tangannya ke arah Hugo, “Ga usah! Biar gue aja sendiri yang ngomong!”

Suara tawa Hugo kemudian mengisi ruangan yang hanya berisi mereka berdua itu. Ia tertawa lepas sekali, seolah habis menertawakan hal yang paling lucu di hadapan Eijaz- padahal Eijaz adalah sebabnya.

“Emang lo tuh kudu dipancing dulu kadang-kadang.”

“Ya gimana, gue takut… Lagian Ghaffar tuh di sana sekeluarga, Go. Ntar gue dicap gila ga sih kalo tiba-tiba nongol di sana? Mana gue sama Ghaffar masih belom pernah ngomongin soal keluarga pula…”

“Tuh kan? Kebiasaan banget lo mikirnya kejauhan.” Hugo kembali menggelengkan kepalanya, merasa heran dengan pemikiran Eijaz saat ini, “Makanya ngomong dulu sama Stefan, atau lebih baik kalo lo ngomong langsung ke Ghaffar kalo lo mau nyusulin. Kalo emang udah dapat jawaban jelas, gue atur waktunya buat lo.”

Kedua mata Eijaz membesar, merasa antusias dengan tawaran yang diajukan oleh Hugo, “Lo ga bohongin gue kan ini? Gue beneran boleh libur?”

“As long as you need, Eijaz. Kerjaan lo juga masih belum banyak banget yang kita accept and some of them already done before, jadi kalo emang mau, I’ll make sure you got your days off.

Eijaz beranjak berdiri, melompat antusias dengan apa yang baru saja dijanjikan Hugo padanya dan mengucapkan, “You’re the best!” pada Hugo sambil memeluk erat tubuh sang sahabat yang juga merangkap sebagai managernya.

I’ll talk to Stefan soon! Gini aja gue udah ga sabar, Go. Lo bayangin sebucin apa gue ke Ghaffar coba?”

Hugo tertawa kecil, mengusap pelan punggung Eijaz yang masih memeluknya, “Udah gak bisa gue nakarnya, Jaz. Emang lo doang paling bucin. Tapi it’s okay, gue seneng. Pada akhirnya lo bisa jatuh cinta benar-benar sama orang yang tepat, orang yang bisa ngimbangin perasaan yang lo tumpahin.”

Eijaz kemudian menarik diri, menatap Hugo yang mengangguk kepadanya, “Go get your man, Eijaz. I’ll take care of the problem silently from here.”

--

--

No responses yet