Ghaffar tiba di depan gedung tempat Eijaz berada setelah menempuh perjalanan selama dua puluh lima menit dari tempatnya latihan. Dengan langkah kaki yang menunjukkan perasaannya secara jelas, ia berlari kecil menuju ruangan yang dimaksud Eijaz tanpa mempedulikan tatapan mata banyak orang yang tertuju padanya, secara otomatis terkejut dengan keberadaannya di sana. Memutuskan untuk melangkah maju bersama Eijaz merupakan salah satu keputusan besar yang tak pernah Ghaffar prediksi sebelumnya, meski ia tahu konsekuensi seperti ini akan ia dapatkan karena mengencani lelaki yang dikenal dunia.
Senyumnya mengembang tatkala melihat sosok yang dirindukannya berdiri tak jauh dari sana, sedang berbicara dengan seseorang yang Ghaffar yakini adalah rekan kerja Eijaz. Matanya mengedar ke sekitar, mencari sosok Hugo untuk dihampirinya terlebih dahulu sembari menunggu Eijaz menyelesaikan urusannya- namun nihil. Ia kemudian memakai bucket hat dan masker yang dibawanya, menutup wajah tampannya hingga tak mudah dikenali bagi orang-orang yang hanya ingin tahu sebelum melangkahkan kakinya mendekat ke arah Eijaz.
Beruntung ia sudah menutup wajahnya terlebih dahulu, sehingga ekspresinya yang berubah drastis itu tak dapat dilihat. Rahangnya mengeras, merasa tak senang dengan apa yang menjadi pusat perhatiannya. Eijaz kini masih berbincang dengan orang yang sama, namun kali ini jarak tubuh keduanya terlalu dekat. Eijaz yang tak menyadari presensi Ghaffar itu mungkin tak merasa ada yang aneh karena ia terlanjur terlarut ke dalam obrolan mereka sehingga gestur ringan seperti tepukan pelan pada lengannya, sentuhan yang disengaja, juga senyuman hangat lelaki itu kepada Eijaz yang membuat Ghaffar mengepalkan kedua tangannya- menahan diri agar tak dikuasai emosi.
Ghaffar baru saja hendak berjalan cepat dan menghampiri Eijaz ketika tangannya ditarik pelan oleh Hugo dari belakang. Sahabat Eijaz itu dengan cepat membawanya menjauh dari sana agar tak lepas kontrol karena cemburu.
“Udah lama nyampenya, Ghaf?” tanya Hugo memecahkan keheningan, “Sorry, tadi gue lagi diskusi sebentar sama promotor. Duduk dulu, Ghaf.”
“Itu siapa?” tanya Ghaffar dengan nada datar dan tak menunjukkan ekspresi apapun. Sorot matanya masih terpaku pada Eijaz di sana, semakin merasa gerah karena sng kekasih tak menyadari kehadirannya.
“Ah- itu pihak promotor, Ghaf. Kebetulan temen lamanya Eijaz.”
“Temen? Seems like more than that…”
Hugo seketika merinding kala ia merasa suhu udara di sekeliling mereka turun drastis ketika menyadari Ghaffar sudah mengerti situasi. Ia dapat melihat dengan jelas bagaimana ekspresi Ghaffar berubah dengan cepat, dengan tatapan mata yang tak terlepas dari sang kekasih.
“Someone wants my man, I can see.” ucap Ghaffar pelan tanpa melepaskan pandangannya, “Touch mine, he’ll be dead meat.”
“Easy, bro. It all happened in the past, so you don’t have to worry- Eijaz is all yours, Ghaf.”
“He touches my man, Kak. He touches my Eijaz.”
“Mungkin dia gak sengaja?” tutur Hugo asal, yang membuat lelaki yang lebih tinggi darinya itu melirik tanpa ekspresi.
“Ngga sengaja? Dari yang gue liat kayanya jaraknya udah makin tipis aja tuh? Ngga sengaja dari mana kalo gesturnya begitu, Kak?”
“I-iya, Ghaf, bentar. Lo tunggu di sini ya, gue panggil dulu Eijaz-nya. Gue tau gak enak ngeliatnya, tapi tahan emosi lo. Masih banyak orang di sini, oke?”
Ghaffar menarik nafas panjang dan menghelanya dengan kasar. Jemarinya menggenggam kuat pinggiran hoodie yang ia pakai, berharap rasa cemburunya bisa mereda sedikit meskipun sia-sia. Ia lalu membiarkan Hugo berjalan menjauh darinya dan mendekat kepada Eijaz, menginterupsi perbincangan Eijaz dengan lelaki yang membuat darah Ghaffar mendidih seketika. Terlihat dengan jelas bahwa lelaki itu juga salah tingkah ketika Hugo menyela keduanya tiba-tiba, ia secara otomatis menjauhkan wajahnya dari Eijaz yang masih tak menyadari situasi di belakang sana. Lelaki berparas indah itu lalu membalikkan badannya setelah Hugo membisikkan sesuatu di telinganya. Kedua manik sabit milik Eijaz itu membesar, terkejut dan dengan cepat menoleh ke arah yang ditunjukkan Hugo. Netranya dan milik Ghaffar kemudian bertemu. Senyuman yang menghiasi wajahnya itu seketika redup kala Ghaffar tak bereaksi apapun- hanya berdiri mematung tanpa ekspresi.
“You’re in danger, Jaz.” bisik Hugo pada telinga Eijaz, “Ghaffar cemburu mampus, gue sampe merinding.”
Menyadari penyebab dari sikap Ghaffar yang dingin, Eijaz lalu dengan cepat berpamitan dengan Ryan, lelaki yang pernah mendekatinya beberapa waktu yang lalu- yang entah bagaimana bisa bertemu lagi dengannya di negara lain, dan bekerja sebagai pihak promotor konsernya mendatang.
“Eh, by the way, gue duluan ya, Ry. Pacar gue udah jemput.”
Mendengar itu, Ryan lalu semakin salah tingkah. Lelaki itu mundur selangkah sambil mengedarkan pandangannya, mencari sosok yang dimaksud Eijaz, “A-ah, udah ada pacar ya… Mana pacar kamu, Jaz?”
“Iya, itu pacar gue,” Eijaz menunjuk ke arah Ghaffar yang masih menatap mereka, dengan senyuman yang membuat Eijaz merasa bersalah, “Thank you ya atas bantuan lo! Semoga lancar nanti pas hari H.”
“Oh, i-iya sama-sama, Jaz.”
Eijaz lalu dengan cepat melambaikan tangannya pada Ryan meninggalkan lelaki itu bersama sang manager yang mungkin melanjutkan topik pembicaraan yang sebelumnya mereka bincangkan, dan dengan langkah cepat berjalan menghampiri Ghaffar.
“Hi, Ghaf. Udah lama di sini?” sapa Eijaz saat ia telah berdiri menghadap sang kekasih.
“Serius banget ngobrolnya sampe ngga notice kalo aku dateng?”
Kini Eijaz mengerti mengapa Hugo memperingatinya. Ghaffar dengan ekspresi yang sulit dibaca itu kemudian membawa tangan kanannya ke pinggang ramping Eijaz sementara tangan kirinya bergerak menarik turun masker yang dikenakannya.
Tanpa aba-aba, Ghaffar menarik Eijaz mendekat- melingkarkan tangannya pada tubuh sang kekasih dan mendaratkan satu kecupan pada pipinya, “He has to know the fact that you are mine, Eijaz.”
Ghaffar menandakan teritorinya secara jelas di hadapan Hugo dan Ryan yang mencuri pandang ke arahnya dan Eijaz berada. Melihat bagaimana Ryan terperangah kaget akibat aksinya yang tiba-tiba, seringaian tipis muncul pada wajah tampan lelaki itu- merasa menang ketika ia berhasil membuat Ryan ingat pada tempatnya. Eijaz tahu ia berada dalam masalah. Ia tak pernah melihat Ghaffar sedingin ini meski ia tahu Ghaffar tak marah padanya.
“Babe, you can kill him with that gaze, I swear to God. He has nothing to do with me, so please don’t be angry…” bisik Eijaz sesaat sebelum membalas ciuman di pipi Ghaffar, “Everyone will know who I belong to.”
“Seems like he didn’t know yet. Should I kiss you once again to let him know that you’re mine?”
“Do it then,” titah Eijaz padanya, “I don’t want us to go home with that anger, so please, just kiss me.”
Eijaz akhirnya mendapat perhatian penuh dari Ghaffar. Manik bambi favoritnya itu kemudian menatap lekat sepasang mata Eijaz yang selalu berhasil mendinginkan kepalanya. Menurutinya, Ghaffar kemudian menipiskan jaraknya, membubuhkan kecupan-kecupan kecil pada puncak kepala Eijaz- yang secara sukses membuat Ryan memalingkan tatapannya dari mereka. Ghaffar kemudian menarik nafas panjang, menarik tubuh Eijaz untuk masuk ke dalam rengkuhannya, menyingkirkan sejenak rasa cemburunya yang masih kentara, dan memilih untuk menjadikan pelukan hangat Eijaz sebagai peredanya.
“Jangan deket-deket sama orang lain selain aku and your inner circle, Kak. You have to remember that your boyfriend is a professional boxer- I really want to punch his pretty face when I saw him get closer to you- and when he touched you…”
“Maafin aku, aku ga peka ternyata…”
“Not your fault,” Ghaffar mengeratkan pelukannya, “Dia yang salah, Kakak ngga. Aku lihat kok gimana dia yang deket-deketin kamu.”
“Iya, kalo gitu udahan dong marahnya…” pinta Eijaz pelan. Ia lalu menarik diri dari pelukan Ghaffar dan mengangkat wajahnya, “Kamu ga marah sama aku, tapi aku yang kena efeknya…”
Wajah Eijaz yang murung itu membuat kedua sudut bibir Ghaffar terangkat membentuk senyuman hangat yang sedari tadi ditunggu Eijaz. Rasa bersalah lalu dengan cepat mengisi hatinya ketika melihat raut wajah sedih Eijaz yang menatapnya. Ghaffar lalu membawa tangannya ke wajah Eijaz, mengelus pelan permukaan pipi mulus Eijaz dengan jemarinya dan menjentikkan telunjuknya pada puncak hidung Eijaz, “I’m sorry, I couldn’t help it… Seems like I’m still a kid, right?”
“Enggak, sayang. Aku juga kalo liat kamu deket sama orang lain juga pasti bereaksi sama kok? Sekarang gini, pulang dulu ya? Biar kita ngobrol di tempatku aja.”
“Kakak takut aku bakal mukul dia?”
Eijaz terkekeh kecil, lalu dengan perlahan menggelengkan kepalanya, “I know you’re capable of doing that, but that’s not the real Ghaffar that I know.”
Satu tangan Eijaz ia bawa untuk mengelus pelan lengan Ghaffar yang tertutupi oversize hoodie yang dikenakannya, “Now, I really miss my Ghaffar, pulang yuk? Or having a short session of midnight date, shall we?”