Sinar mentari tak lagi seterik siang tadi saat Ghaffar menginjakkan kakinya di taman samping toko buku usang yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Eijaz beberapa bulan silam. Satu sudut bibirnya terangkat, mengingat memori indah yang akan selalu terpatri jelas di benaknya.
Ghaffar telah kembali pulang ke tanah air membawa piala kemenangan dan rasa bangga yang mendalam pada dirinya sendiri, bertepatan dengan hari di mana ia dan Eijaz memisahkan diri di LAX Airport satu bulan yang lalu. Hari terakhir raganya dapat merengkuh tubuh hangat sang kekasih di dalam pelukannya sebelum berpisah jalan. Eijaz memutuskan untuk mengambil waktu liburnya untuk pulang ke rumah orang tuanya di Bergen, Norwegia, ingin menghabiskan waktu berharganya bersama dua orang manusia yang paling ia rindukan keberadaannya. Ghaffar tahu ia tak memiliki hak untuk melarang, dan ia telah berjanji bahwa ke manapun Eijaz melangkah, ia akan terus mendukungnya.
Hari ini tepat satu bulan sejak Eijaz berada di belahan dunia lain yang jauh dari jangkauan tangannya. Rasa rindu yang membuncah hebat tak mampu Ghaffar tahan setiap harinya. Meski nyaris setiap hari menghabiskan waktu hingga tiga jam lamanya untuk melakukan panggilan video, rasanya masih tak sama. Ghaffar rindu sentuhan hangat Eijaz pada dirinya.
Seperti saat ini ketika ia sedang tak memiliki jadwal latihan, ia memilih untuk menghabiskan waktu dengan buku favoritnya di toko buku bersejarah dalam hidupnya. Langkah kakinya bergerak pelan memasuki bangunan tua yang sudah ia kenal betul setiap sudutnya. Kedatangannya disambut baik oleh kakek tua yang selalu duduk di sana, dengan senyuman hangat khas orang tua.
“Welcome back!” sapa sang kakek dengan wajahnya yang ceria, dengan jelas mengingat bahwa Ghaffar adalah pengunjung setianya, “Life’s been good lately, huh?”
“Life is good, Sir. How’s yours?” tanya Ghaffar ramah, “It’s been a while since the last time I visited.”
“Been a long time for me, seems like the magic of my bookstore is still there, seeing you coming back,” jawab sang kakek sambil terkekeh ringan, “Mine’s always fabulous, Kid.”
“I love your bookstore, Sir. It’s beautiful.”
“È anche magico.” ucap sang kakek singkat. Ia lalu menatap Ghaffar yang terlihat bingung lalu tertawa, “It’s magical too.”
“Ah, I agree…” Ghaffar menganggukkan kepalanya pelan, mengerti dengan maksud sang kakek.
“Oh ya, ini!” sang kakek yang tak begitu fasih berbahasa itu teringat sesuatu, ia menyerahkan sebuah buku usang kepada Ghaffar, “This book is the special one. A romance fiction, bet you’ll like it.”
“Thank you, Sir. I’ll read this one today.”
“Ah, ah yes! You should read this. I only have two copies of this, the other one is already rented by someone else before you. Now take your time, and enjoy the magic!”
Lelaki tampan itu duduk di sana, di sudut ruangan favoritnya. Membaca buku yang diberikan sang pemilik toko dengan seksama. Kedua manik bambinya bergerak seirama dengan tiap bait tulisan indah yang tercetak di sana. Sang kakek benar, buku itu indah. Ghaffar tak sadar sudah berapa lama waktu yang ia habiskan untuk membaca tiap lembaran usang yang ia rindukan. Senyumnya tak memudar sedikitpun ketika membaca kisah indah yang tertulis di sana.
Hari yang telah berubah menjadi gelap pun tak menyadarkannya. Ia begitu terlarut dalam cerita sehingga tak sadar apapun yang terjadi di sekitarnya. Telinganya bak tertutup rapat, tak mendengar suara derit pintu yang terbuka di sisi lain ruangan yang redup.
Sudut matanya menangkap ada pergerakan lain di sana, sehingga ia mau tidak mau harus mengangkat wajahnya. Sepasang manik bambi yang tadinya enggan untuk melihat itu akhirnya terangkat, bertemu langsung dengan dua manik sabit yang teramat ia rindukan.
“Hi?” sapa Eijaz dengan suara lembutnya. Lelaki itu memiringkan kepalanya, menyunggingkan senyuman lebar yang menambah indah paras wajahnya, “I’m home.”
Ghaffar terdiam seketika, berusaha memproses apa yang sedang terjadi di hadapannya. Bibirnya terbuka, dengan wajah bingung yang tampak tengah berpikir karena rasanya tak seperti nyata. Eijaz di sana, berdiri di hadapannya dengan merentangkan kedua tangannya, meminta Ghaffar untuk segera berlari memeluknya.
“Someone said that he misses me so much almost every time, so here I am…”
“This can’t be real…” gumam Ghaffar pada dirinya sendiri, “Th-this can’t be real…”
“Gimana kalo kamu coba ke sini, peluk aku, and see if I’m real or not, hm?” tawar Eijaz padanya, “Come on, babe. Your boyfriend is waiting…”
Detik kemudian, tubuh Ghaffar bergerak cepat, menghambur ke dalam pelukan hangat Eijaz, “There you go. I miss you too, big guy…” ucap Eijaz kala mengeratkan tautan tangannya pada leher Ghaffar, menyesap wangi tubuh Ghaffar yang menguar dari sisi wajahnya.
“Kamu kapan datengnya, Kak? Kenapa ngga ngabarin aku? I should be the one who picked you up at the airport…”
“This called ‘surprise’, baby. Aku baru sampe tiga jam yang lalu. Pulang dulu ke rumah soalnya aku harus mandi sebelum ketemu pacarku yang clingy.” jawab Eijaz sambil mengusap pelan punggung bidang sang kekasih, “Terus aku ke sini, baca buku sambil nungguin kamu.”
“Jadi tadi pas chat terakhir udah nyampe?”
Eijaz terkekeh geli sebelum menjawab, “Iya, aku lagi di jalan mau ke sini waktu kita ngobrol tadi.”
Ghaffar kembali mengeratkan tautan tangannya pada tubuh Eijaz, merapatkan jarak yang tak lagi ingin ia rasakan di antara mereka. Tubuh mungil Eijaz itu berjinjit, berusaha menyamakan tinggi tubuhnya dengan milik Ghaffar.
“I miss you, I miss this, I miss us…”
“I do too, Ghaffy…”
Kedua anak adam itu beruntung kala berkunjung ke toko buku, karena tak ada pengunjung lain di sana sehingga keduanya tak perlu ragu untuk saling menautkan jemari mereka di atas paha milik Ghaffar. Eijaz menyandarkan kepalanya pada pundak sang kekasih, menikmati tiap detik yang berlalu tanpa melakukan banyak hal namun bermakna baginya. Ia membiarkan Ghaffar membaca bukunya, membiarkan ruangan itu terisi hanya dengan suara hembusan nafas dan bunyi kertas yang dibalikkan oleh jemari panjang Ghaffar.
Eijaz memejamkan kedua matanya sembari menunggu lelaki tampan di sebelahnya menyelesaikan bacaan. Ghaffar yang paham situasi pun dengan cepat melipat sudut halaman buku, menandakan bahwa ia sudah membaca sampai di sana. Ia lalu menutup buku, meletakkannya pada nakas yang terletak di sisi sofa lalu mengalihkan perhatiannya pada Eijaz.
“How’s Bergen?” tanya Ghaffar memecahkan keheningan.
“It’s beautiful.” jawab Eijaz dengan senyuman yang tak dapat dilihat dengan jelas oleh Ghaffar, “Ga heran kenapa Mama sama Papa betah di sana, stress-free.”
“Kayanya kamu seneng di sana?”
“I’m happy. Tapi di sana kurang seru, soalnya kamu di sini- ga mau ikut aku.”
Ghaffar terkekeh geli mendengar sindiran ringan Eijaz padanya. Eijaz memang sempat mengajaknya untuk ikut berkunjung ke sana, namun Ghaffar yang baru saja kembali ke dunia tinju itu tak memiliki waktu khusus, terlebih karena ia telah meraih gelar juara.
“Nanti aku pasti ke sana, Kak. Aku janji.”
“Bohong ga?”
“Kamu pernah ngerasa aku ngelanggar janji ngga?” tanya Ghaffar pada Eijaz.
“Hmm, kayanya ga pernah sih…”
“So the promise is sealed, we’ll go to Bergen one day.” janji Ghaffar pada Eijaz. Ia lalu menolehkan wajahnya kepada Eijaz, memberi satu kecupan hangat pada puncak kepala sang kekasih.
“Ghaf…”
“Iya?”
“Do you believe in magic?” tanya Eijaz tiba-tiba.
“I do.”
“Kenapa percaya magis?”
“Karena aku kena magisnya?”
Jawaban Ghaffar yang ambigu itu membuat Eijaz menegakkan tubuhnya. Ia lalu menolehkan wajahnya ke arah Ghaffar dengan ekspresi penuh tanya, “You got the magic spell?”
“Yes. You are the form of magic.”
Jawaban Ghaffar itu kembali membangunkan ribuan kupu-kupu yang tertidur di dalam tubuhnya. Rona merah dengan cepat menjalari seluruh sisi wajah indahnya. Meski dengan cahaya yang temaram, Ghaffar dapat melihat dengan jelas bahwa Eijaz tersipu.
“Now hear me out. I was a kid who never believe with magic, apalagi sejak dunia rasanya gelap untuk Ghaffar yang dulu. Kehilangan Mason bukan lagi tamparan keras, tapi lebih ke pengingat bahwa we actually never deserve this life. Kaya yang kamu udah liat di artikel, hidupku kacau selama bertahun-tahun. And it all changed in this small vintage bookstore, when the first time I heard your giggles and your warm smile on that day. Dan kamu yang bantu aku sampe hari ini, Kak. It’s your magic. The love that you gave to me- it’s a magic.”
Eijaz merasa wajahnya memanas, ia lalu dengan cepat mengambil satu tangan Ghaffar untuk ia genggam erat, “We help each other with our own magic, right?”
“Exactly.” Ghaffar membawa satu tangannya yang tadi digenggam Eijaz ke belakang tubuh sang kekasih, menarik pundak Eijaz mendekat hingga bibir tipisnya mencium hangat kening Eijaz.
“This place is also magic. Aku cuma iseng ke sini, ngga pernah terencana. Tapi malah langkah yang ngga terduga itu bikin aku ketemu sama Kakak. And I fall in love soon after that.”
“Aku bahkan udah suka dari pertama ngeliat kamu, Ghaf.”
“Oh ya?”
“Hm.” angguk Eijaz pelan.
“Ternyata dari awal aku udah menang telak, ya?”
“Kan aku udah bilang, you’re always the winner for me…”
Keduanya lalu berjalan berdampingan keluar dari ruang baca setelah memutuskan untuk menyudahi sesi quality time mereka di sana. Ghaffar menggenggam erat tangan milik Eijaz, dengan satu tangannya yang lain membawa buku yang tadi ia baca. Senyuman hangat kakek pemilik toko itu menyambut keduanya. Wajahnya terlihat semakin bahagia kala melihat tangan milik sepasang anak adam itu saling bertautan.
“Dio mio…” gumam sang kakek dalam bahasa asing yang diyakini Ghaffar adalah bahasa Italia, “You two are still together?”
“Stronger than ever.” jawab Ghaffar dengan bangga, “Thanks to your beautiful bookstore, Sir. We found love in here…”
“Sembra che la magia della mia libreria stia funzionando…” ucap sang kakek dengan wajah terkesima, kagum dengan apa yang disaksikannya.
Tak memahami apa maksud dari perkataan sang kakek, Ghaffar dan Eijaz bertukar pandangan dengan bingung namun tak menyuarakannya. Mereka lalu berterima kasih kepada sang pemilik, dengan Ghaffar yang mengulurkan tangannya untuk mengembalikan buku yang tadi ia baca.
“No, no, no! It’s for you and your beautiful lover!” sang kakek menolak bukunya dikembalikan, membuat Ghaffar semakin bingung di tempatnya.
“Why?”
“You can read the story whenever you want. And whenever your lover wants. Believe me, it’s beautiful like both of you. Saya lebih menyukai ji-jika kalian berdua kembali ke La Magia daripada b-buku saya dikembalikan…” ucap sang kakek dengan suara paraunya yang terbata.
“La Magia?” tanya Eijaz dan Ghaffar serentak.
“Ah, this place named La Magia- which means magic in Italian… I’ve witnessed some old couples come back and still together for decades. Maybe because I believe in magic, so I decided to name this magical thing ‘La Magia’. The magic of love is real, right…”
Just like what Ghaffar said before, this place is also magic.
La Magia, toko buku usang yang berada di pinggiran kota- yang nyaris tak terjamah karena termakan usia. Namun entah mengapa, hari itu baik Ghaffar juga Eijaz bak ditarik secara magis untuk masuk kesana. Tempat itu indah bagi keduanya. Tua dimakan zaman, namun tetap berdiri kokoh tanpa penghalang. Keduanya jatuh cinta pada kedamaian yang disediakan di sana. Menghabiskan waktu dengan tumpukan buku yang keduanya cintai- hingga berakhir jatuh cinta seperti saat ini.
“Please come back to La Magia!” pinta sang pemilik dengan senyum sumringah yang tak luntur oleh waktu. Kerutan di wajahnya tak menyiratkan bahwa kakek itu pastilah bahagia selama hidupnya. Ghaffar dan Eijaz melambaikan tangan mereka, membungkuk sopan kepada sang kakek sebelum melangkah keluar dari sana.
“Kak, kesitu dulu yuk sebelum pulang? Mumpung masih belum terlalu gelap juga.” ajak Ghaffar sambil menunjuk taman kecil yang ia maksud.
“Ayo, aku juga masih pengen ngobrol sama kamu.”
Keduanya lalu melangkah menuju taman tempat keduanya pertama kali berkenalan setelah Eijaz menyelipkan secarik kertas pada buku yang dibaca Ghaffar beberapa bulan silam. Raut wajah bahagia tak luput dari paras tampan keduanya. Dengan dua pasang mata yang menatap lurus ke arah taman, memori keduanya kembali ke saat pertama mereka berjumpa. Ghaffar dengan kekikukannya, serta Eijaz dengan rasa percaya dirinya.
“Eh, Kak, sebentar. Aku ngambil tasku dulu di mobil.” ucap Ghaffar tiba-tiba. Eijaz lalu dengan cepat menganggukkan kepalanya, mengizinkan Ghaffar untuk pergi sesaat.
Lelaki tinggi itu bergegas pergi, berlari cepat menuju mobilnya yang terletak tak jauh dari sana dan mengeluarkan tas punggung yang memang selalu dibawanya pergi. Ia lalu dengan cepat bergabung kembali bersama Eijaz, berjalan bersama menuju kursi taman dan duduk di sana.
“How time flies…” gumam Eijaz ketika manik sabitnya mengedar ke seluruh sisi taman kecil yang terawat itu, “We’ve been through a lot in less than a year ya, Ghaf? Rasanya baru kemaren aku ngajak kamu ketemu di sini, tapi di saat yang bersamaan juga rasanya aku udah lama sama kamu…”
Senyuman Eijaz merekah bersamaan dengan memori manis yang tengah tayang di dalam kepalanya. Mengingat bagaimana sosok Ghaffar dengan cepat mencuri atensi juga hatinya. Sosok polos yang dulu menutup rapat dirinya, kini menjadi sosok hangat yang tak pernah henti menyuarakan rasanya. Eijaz tak berhenti bersyukur di batinnya, merasa beruntung saat dulu ia cukup kuat menghadapi sikap Ghaffar yang sempat mendorongnya agar menjauh- yang ternyata adalah bentuk defensif sang kekasih karena rasa takut yang dideritanya. Eijaz merasa bersyukur atas perasaannya yang sudah kuat sejak awal terhadap sosok Ghaffar yang terlampau lugu.
“Kak…”
“Hm?” Eijaz menolehkan wajahnya dengan cepat ke arah Ghaffar, namun lelaki itu kini tengah menunduk, memainkan jemarinya sendiri yang ia letakkan di atas tas punggung di pangkuannya, “Kenapa?”
“Kakak inget ngga, waktu itu aku pernah minta Kakak untuk ngizinin aku masuk ke dalam hidup Kak Ei?”
“Inget…”
“And that day when I asked you to guide me?”
Eijaz mengangguk pelan sambil menyunggingkan senyum terbaiknya, “Iya, aku inget setiap detail-nya. Kenapa memangnya?”
“I was so nervous that day. Aku ngga pernah dibikin mau pingsan sama kehadiran orang lain sebelumnya. You’re the first one, Kak. Aku ngga pernah ngerasain hal ini sebelumnya. The feeling is still the same and getting stronger day by day. Dan, aku tau ini masih terlalu cepat untuk bilang ‘I want us forever’, but thanks to you, aku udah ngga pernah lagi takut tidur karena mimpi burukku. Aku udah ngga lagi takut untuk ngebalas tatapan ramah orang, aku udah ngga lagi takut untuk mencoba. With you, I am me…”
Ghaffar lalu membalikkan telapak tangannya, membuka jemarinya yang tadinya terkepal- menunjukkan sebuah cicin yang entah sejak kapan ia genggam, mengangkat kepalanya untuk menatap dua mata Eijaz yang menatapnya tak percaya. Manik sabit cantik itu bercahaya karena berlinang air mata. Eijaz membawa satu telapak tangannya untuk menutupi sebagian wajahnya karena ia tahu bahwa tak butuh waktu lama hingga tangisnya pecah seketika.
“I prepared this months ago when I was away from home- from you. Everything was so difficult back then, and thinking about the future with you gave me so much strength for me to get better and better. I was strolling around the city all by myself and found this pretty ring and all I thought was just ‘it’s perfect for Kak Ei’.” Ghaffar tersenyum manis ke arah lelaki yang paras cantiknya telah dialiri air mata yang tak mampu ia tahan lajunya. Dengan satu tangannya, ia mengusap pelan jejak air mata di pipi Eijaz, membelai pelan wajah lelaki yang selali ia sebut dalam doanya.
“Kak, kata ‘selamanya’ itu menakutkan, karena kita semua tau kalo ngga ada yang abadi di dunia ini. Tapi yang bisa aku yakini cuma satu, seberapa jauh pun Kakak ngelangkah, seberat apapun hari yang Kakak lalui, sesakit apapun hati Kakak- I’ll be the one to save you. I’ll be the one who’ll wait for you. Even I can’t promise you that everything will go well in the future, I still want to plan my future with you. To build a home with a big backyard like you always love, and to build a library for us to remember our stories…”
Dengan kedua mata yang juga sudah diisi dengan air mata haru, Ghaffar meraih tangan mungil Eijaz yang terasa dingin karena angin malam itu. Ia menggenggam kedua tangan Eijaz dengan erat, menghantarkan rasa hangat yang mungkin akan membantu sang kekasih agar tak kedinginan.
“Aku tau kalo sebagian orang pasti masih berpikir kalo aku masih muda- masih panjang jalan hidupku ke depannya, padahal hari esok pun kita ngga pernah tau akan datang atau ngga. Aku ngga peduli soal itu, Kak. Meskipun mungkin Kakak juga mikir ini terlalu cepat, tapi aku ngga akan mundur selangkah pun.” tutur Ghaffar jujur dengan kedua netranya yang terpaku pada netra Eijaz tanpa rasa ragu sedikitpun.
Eijaz yang tak dapat menggerakkan bibirnya pun hanya bisa terdiam terpaku, tak lagi tahu bagaimana harus bereaksi. Dari tatapan mata Ghaffar ia dapat melihat bahwa lelaki itu memang tengah berkata tulus- tak ada kebohongan sedikitpun di dalam dua mata bambi yang tak pernah bosan ia tatap setiap waktu.
“Kak, nanti nikah sama aku ya? Aku ngga minta sekarang, atau dalam waktu dekat. Tapi nanti, ketika Kakak udah ngerasa siap.”
Eijaz tak langsung menjawabnya. Ia membiarkan air matanya jatuh membasahi permukaan celana putihnya. Satu tangannya ia bawa ke wajahnya, menghapus pelan bekas basah di sana dan mengatur nafasnya.
“Kamu curang, Ghaf.” protes Eijaz tiba-tiba, “Aku padahal udah ngerencanain sejak beberapa minggu yang lalu kalo pas aku pulang, aku mau ngelamar kamu. Gara-gara kamu duluan, jadi berantakan rencanaku…”
Eijaz lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil dari saku jaket yang dikenakannya, “Aku juga udah nyiapin ini…”
Yang lebih muda itu tak kuasa menahan gemuruh di dadanya. Tak menyangka bahwa Eijaz memiliki tujuan yang sama dengannya.
“Kak…”
“Tanpa aku jawab pun harusnya kamu udah tau kan, Ghaf?” tanya Eijaz dengan bibirnya yang bergetar, “You’re always be the one that I want- since the day I met you here, in La Magia, until the last day in my life.”
Eijaz meraih cincin yang Ghaffar tujukan kepadanya, memasangnya perlahan pada jari manisnya yang lentik, “I’m yours, Ghaf.” Ia lalu meraih tangan Ghaffar, menyematkan cincin yang juga sudah disiapkannya untuk melamar Ghaffar pada jari manis lelaki tampan yang selalu memberi warna di hidupnya.
Tanpa perlu isyarat, Ghaffar mengangkat tangan Eijaz, mencium punggung tangan juga cincin pemberiannya di jari Eijaz sebelum menarik tubuh lelaki yang akan menjadi teman hidupnya untuk masuk ke dalam pelukan hangat yang akan selalu siap ia bagi. Ghaffar memeluknya erat, membiarkan pundaknya basah oleh air mata bahagia seorang Eijaz Javas Arsalan- lelaki yang menjadi sebab juga alasan untuk hidupnya yang kini menjadi jauh lebih baik. Lelaki yang juga akan selalu menjadi tujuan tempat ia berlabuh untuk waktu yang lama.
Ghaffar lalu menarik diri, mengecup singkat kening Eijaz sebelum mendaratkan bibirnya untuk menyatu dengan labium ranum milik Eijaz yang sudah sebulan tak ia rasakan manisnya. Mengesahkan hari baru bagi keduanya dengan ciuman hangat yang enggan mereka bagi untuk orang lain. Di taman kecil tempat keduanya bertemu, mereka kembali mengukir kisah baru.
Keduanya saling bertatap hangat, secara bergantian menatap sepasang mata sembab yang kini tengah berbahagia sebab mulai hari ini, ada cerita baru yang pantas ia tuliskan pada garis takdir keduanya.
“Let’s build our dream house- with a big backyard and plant some sunflowers in it- and a library for us to read, and write our magical love story, Ghaf.”