Lovebirds

raine.
7 min readSep 29, 2022

--

sr. pinterest

Eijaz kini duduk sambil menunduk lesu menghadap Ghaffar yang masih irit suara karena informasi yang tak sengaja ia ketahui dari sang kakak bahwa Eijaz akan segera berangkat pulang membuatnya merasa sedih. Ghaffar tak banyak suara, hanya sibuk membalikkan lembaran buku yang tengah ia baca sejak mengetahui bahwa ia akan ditinggal oleh Eijaz dalam beberapa hari. Rasa sedih terus menyelimutinya, masih tak terima jika waktu juga jarak kini akan membatasi keduanya. Eijaz yang memang sudah beberapa minggu menemani hari-harinya, membantu proses penyembuhannya, mengisi jadwal lain pada hari-harinya yang hanya diisi oleh jadwal konseling sebelum kedatangan Eijaz.

Bersama Eijaz, ia berproses menjadi dirinya yang kini lebih dapat menerima keadaannya, menerima luka yang akan selalu hidup di dalam dirinya.

Bersama Eijaz ia dapat membuka pintu yang sudah terlalu lama ia kunci karena rasa bersalah yang terlalu besar untuk pundaknya yang ringkih.

Ia tak bermaksud untuk mendiamkan Eijaz yang kini sibuk diliputi rasa bersalah, namun ia hanya tak sanggup menatap wajah Eijaz karena rasa sedihnya kian terasa sejak tubuh mungil sang kekasih itu tiba di tempat ia berada. Eijaz pun paham bahwa Ghaffar masih belum terbiasa menyuarakan perasaannya, Eijaz paham bahwa Ghaffar memang tak dengan sengaja bersikap tak acuh atas keberadaannya. Maka dari itu Eijaz memutuskan untuk tetap berada di sana, duduk berhadapan dengan lelaki tampan yang wajahnya ditutupi masker juga topi itu.

“Ghaffar, kalo udah diemnya aku dijawab dong…” bujuk Eijaz dengan suara lirih, “Aku sedih kalo kamu diem begini…”

“Iya, sebentar ya.”

Eijaz tak mampu menjawabnya lagi. Yang ia lakukan hanya duduk sambil memainkan ujung jemarinya, menunggu Ghaffar bersuara. Suara hembusan nafas Ghaffar mampu mencapai telinganya, yang entah mengapa membuatnya rindu akan sosok kekasih yang berada di seberangnya.

Entah berapa menit telah berlalu, hingga lamunan Eijaz dipecahkan oleh suara buku yang baru saja Ghaffar tutup. Buku yang sedari tadi menyita atensi Ghaffar itu kini tergeletak malas di atas meja.

I’m sad, Eijaz.” ucap Ghaffar dengan suara pelan, tak lagi memanggil ‘Kak’ di depan namanya, “I don’t know what’s wrong with me today but I’m sad after I knew that you’ll go home soon, leaving me here alone…”

“Ghaf, aku beneran ga maksud untuk ga ngomong ke kamu soal ini. I intended to tell you tonight after I sort the things out. Aku paham kamu sedih, so am I. Tapi memang aku harus pulang buat ngurus sesuatu dulu, sayang. Aku bakal balik lagi ke sini, tapi nanti, setelah urusanku selesai. Kamu jangan marah, Ghaf, aku juga sedih loh ini…”

Ghaffar mengangkat wajahnya, menatap wajah murung Eijaz di hadapannya, “I’m acting like a kid, ya? Kesel sama sedih cuma gara-gara ini?”

“Ga, sayang. Your feelings are valid, wajar kok kalo sedih. I feel bad for not telling you first, but I must go home for some days. Maafin aku ya…”

“Some days?”

“Iya, setelah itu aku balik lagi ke sini kok. Kan kamu tau aku bakal ngadain surprise concert di sini?”

Air wajah sedih Ghaffar kini terlihat sedikit lebih cerah setelah mendengar bahwa Eijaz tak akan pergi terlalu lama, “Oh, iya… Jadi beneran ngga lama-lama pulangnya?”

Eijaz melemparkan senyumnya kepada Ghaffar, menggenggam pelan tangan Ghaffar di atas meja, “No, I’ll be back real soon. I’ll be back in less than two weeks, Ghaf. Kamu mau nunggu ga?”

“Mau.” jawab Ghaffar cepat. Kedua manik bambinya membesar sempurna, antusias dengan fakta bahwa ia dan Eijaz tak akan terpisah terlalu lama. Ia kemudian kembali menunduk, menggigit bibir bawahnya menahan senyum juga rasa malu, “I’m so sorry of I acted like a kid before, Kak. It was just too sad thinking that you’ll leave me after almost a month you’re here with me…

“Gapapa, sayang, aku ngerti kok. Aku juga minta maaf ya karna ga ngasih tau kamu duluan, padahal alasan besar aku di sini sekarang juga karna kamu. You supposed to know first though, tapi karena akunya yang lalai, jadi lupa. Maaf ya, jangan diemin aku lagi, Ghaffar…”

Ghaffar kemudian bergerak maju, menggeser kursinya untuk mendekat kepada Eijaz hingga lututnya menyentuh lutut milik kekasihnya, “Sayang, sorry. I’m the one who have to say sorry instead of you. You did nothing wrong…

Genggaman tangan Ghaffar pada Eijaz mengerat, menyalurkan rasa hangat yang mengisi relung hati keduanya, “I acted like a mad kid before, I’m so sorry. And I gave you silent treatment that you shouldn’t get at all. I’m a bad boyfriend, I know. I lack in so many things, but I really do love you, Eijaz. I’m bad at communicating, and I’m trying my best to fix it, please deal with me a little longer, ya? Aku sayang kamu, Kak…”

Senyuman hangat yang kini tergambar jelas pada wajah Eijaz yang diperuntukkan dirinya itu entah mengapa membuat rasa haru yang ia rasakan kian menjadi. Jika saja Eijaz tahu betapa kuat ia menahan diri agar tak menjadi lelaki lemah yang bisa menjatuhkan air matanya dengan mudah saat ini.

Ia tak mendapat jawaban. Hanya senyuman dan usapan lembut telapak tangan Eijaz pada permukaan pipi mulusnya. Ia menggerakkan kepalanya, menyamankan diri dalam belaian Eijaz. Ghaffar memejamkan kedua matanya, memfokuskan seluruh pikirannya pada sentuhan dari Eijaz yang meluluhkan jiwanya.

Seluruh kupu-kupu yang tertidur itu kini kembali berterbangan dengan riang di dalam perut Ghaffar kala bibir ranum Eijaz menyapu lembut permukaan bibirnya. Ghaffar tahu bahwa Eijaz bisa saja mendengar bunyi debaran jantungnya yang luar biasa brutal, namun ia tak bisa menahannya. Eijaz mampu membuat sekujur tubuhnya seolah mati rasa karena tak mampu menggerakkan seujung jari pun ketika belaian lembut bibir Eijaz justru semakin membuatnya mabuk tak karuan. Eijaz tak melepaskannya, lelaki itu justru semakin mendekatkan diri hingga posisinya kini tengah duduk di atas paha Ghaffar dengan kedua tangan yang melingkar pada leher sang kekasih. Beruntung bahwa tak ada orang lain selain mereka di sana, sehingga kedua anak adam itu mendapat privasi untuk saling berbagi rasa.

I know you love me, Ghaf, and I love you as much as you do too. Your flaws aren’t something to be blamed, aku juga masih banyak kurangnya kok? Sejauh ini kita saling terima semuanya kan? Baik dan buruk masing-masing. Aku yang mungkin kurang peka, dan kamu yang kurang dari segi nyuarain perasaan dan pikiran kamu. See? No one’s perfect anyway! Kamu sedih, aku ngerti. Aku juga pernah ngerasain itu waktu kamu harus tiba-tiba berangkat pulang, jadi aku paham gimana rasanya. Tapi aku ga ninggalin lama, sayang. I promise you. Selesai urusan di sana aku pasti balik ke sini, kan aku mau sama-sama nungguin kabar baik soal kamu? Jadi, jangan sedih lagi ya? Meskipun kamu lucu banget kalo lagi murung, tapi aku ga suka soalnya aku jadi ikut sedih…”

Bibir tipis Ghaffar membentuk satu senyuman tipis, membuat wajahnya terlihat jauh lebih tampan dari biasanya. Ia mengangkat wajahnya, menatap tepat pada kedua mata Eijaz di hadapannya kemudian membalas ciuman Eijaz satu, dua, tiga kali hingga wajah Eijaz merona karena tersipu.

“Pacarnya sedih aja dibilang lucu loh?”

“Ya emang lucu, gimana dong? Tapi ga deh, aku ga mau liat kamu sedih lagi. Mending sekarang kita jalan aja yuk? Aku pengen jalan-jalan.” ajak Eijaz pada Ghaffar.

“Jalan-jalan? Night drive or strolling around?

Strolling around, walking side to side, holding this big hand for all night sounds good, iya kan?” tanya Eijaz sambil mengangkat tangannya yang menggenggam tangan milik Ghaffar, “Take me to a date, babe. My favorite kind of date; the classic one.”

Raut wajah bahagia terlihat jelas dari wajah keduanya. Berjalan bersama dengan tangan yang saling bertaut tak membuat dinginnya malam itu mengganggu waktu yang tercipta hanya milik mereka. Suara tawa kecil juga candaan yang tak henti dilontarkan keduanya. Hanya menikmati presensi masing-masing sambil berjalan santai di atas trotoar di pinggiran jalan yang sepi malam itu nyatanya mampu membuat seluruh keadaan membaik. Tak lagi mengingat rasa sedih karena akan segera berpisah, baik Ghaffar juga Eijaz kini justru bertingkah bak remaja yang sedang kasmaran dengan senyuman yang tak lepas sedetikpun dari sana.

Hanya berbekal cahaya dari lampu jalanan yang tak terlalu terang, semilir angin yang bertiup mengenai permukaan kulit mereka justru menambah suasana hangat malam itu. Berbagi beberapa referensi lagi favorit melalui satu sisi airpods yang menggantung di telinga masing-masing, menceritakan cerita sederhana yang belum pernah didengar masing-masing.

Sungguh, malam itu indah dihiasi suara merdu Eijaz dan Ghaffar yang kini sedang sama-sama menyanyikan lagu yang tengah didengar keduanya. Yang lebih tua kemudian maju selangkah, berdiri menghadap Ghaffar dan mengangkat tangannya untuk Ghaffar sambut. Gerakan kecil yang diinisiasi Eijaz itu sukses membuat Ghaffar tersipu. Dengan wajah merona di bawah sinar lampu jalanan, Ghaffar menuruti kemauan Eijaz yang tiba-tiba mengajaknya berdansa.

“Suara kamu bagus, aku suka…” puji Eijaz saat tubuh Ghaffar mendekat padanya, “Aku baru tau kalo kamu bisa nyanyi…”

Everyone can sing, Kak. Bedanya cuma ada yang enak didengar, ada yang kurang.” jawab Ghaffar sederhana, “I sing sometimes, tapi selama ini yang denger cuma aku sendiri, atau Bang Stefan.”

Sing for me, I’ll wait for it. Ga boleh bilang ‘ngga’.”

You’re really something, Kak. Tiba-tiba ngajak kencan, dancing like this in the middle of the night, terus sekarang minta aku nyanyi?”

Eijaz tertawa kecil, “I’m asking too much ya?

“Ngga, cuma lucu aja, semuanya sekaligus dalam sehari. We have so many tomorrows kan? No need to rush, Kak. Sekarang ini dulu ya?”

Dalam satu gerakan sederhana, Ghaffar mengangkat tangannya yang bertaut dengan tangan Eijaz, memberi kode kepada Eijaz untuk berputar. Eijaz yang paham kemudian dengan sempurna memeragakannya, membuat senyum di wajah Ghaffar mengembang.

“Pas banget sama lirik lagu barusan ya? We’re strolling down the boulevard, and dancing under streetlights…” ucap Eijaz, merujuk pada lagu Every Summertime yang sedang keduanya dengarkan, “Every year we get older and I’m still on your side?”

Ghaffar mengangkat satu tangannya ke arah wajah Eijaz, menggeser beberapa helai rambut tebal Eijaz yang jatuh menutupi sebagian matanya, “Of course, you’re stuck with me until then…” bisik Ghaffar sebelum menyatukan bibirnya dengan milik Eijaz.

Di pinggiran jalan sepi, di bawah lampu jalanan, bertatapkan langit yang dihiasi rembulan, di tengah kencan sederhana dua anak manusia, Eijaz mampu membuat Ghaffar jatuh cinta lagi, untuk yang kesekian kalinya.

--

--

No responses yet