Mason Darel Kayana

raine.
7 min readSep 4, 2022

--

[trigger warning: bullying, homophobic, suicide, minor character death]

California, 2015

Suara cekikikan tawa beberapa anak-anak yang sibuk berlarian di pinggiran pantai sore itu membuat Ghaffar dan Mason ikut menyunggingkan senyumnya. Pantai itu sepi, hanya ada beberapa pasang kaki yang sibuk meninggalkan jejak pada pasir yang membentang luas di sana. Pantai yang letaknya lumayan jauh dari sekolah juga rumah dua bersaudara itu selalu menjadi destinasi favorit mereka- baik saat sedang ingin sendiri maupun berbagi cerita. Terkadang keduanya hanya duduk di sana, menikmati bagaimana matahari sore pamit untuk berpindah tempat, menyinari permukaan bumi yang lain.

Mason selalu menjadi sosok yang terang di mata Ghaffar yang berusia setahun lebih tua darinya. Mason juga selalu menjadi teman Ghaffar untuk menghabiskan waktu dengan bermain basket bersama di lapangan kosong yang ada tak jauh dari bibir pantai.

Kadang kala keduanya sibuk saling nyanyi bersahutan dengan Ghaffar yang memainkan gitar kayunya dan Mason menjadi bintang utamanya. Mason memiliki suara indah, suara yang tak pernah bosan Ghaffar dengarkan meski sang adik bernyanyi saat mandi pagi- yang membuat mereka nyaris terlambat pergi ke sekolah karena sesi mandi pagi Mason bisa menghabiskan waktu lebih dari tiga puluh menit karena sambil bernyanyi.

Sama seperti sore itu, saat dua bersaudara itu selesai mengerjalan tugas sekolahnya, mereka memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di pantai favorit keduanya. Ghaffar sibuk memainkan kunci gitarnya sementara Mason bersiap untuk bersenandung di sisinya. Tak ada yang aneh, tak ada yang mencurigakan. Semuanya terasa tepat, terasa indah dan baik-baik saja. Senyuman manis masih menghiasi wajah tampan keduanya yang tak bercela, sinar mentari sore itu pun ikut berpartisipasi untuk membuat keduanya tampak luar biasa.

“Ghaf, kapan-kapan lo harus ngajak bang Stefan ke sini. Masa sama gue terus?”

“Ketuaan kalo sama Bang Stefan. Lo aja deh.”

“Bang Stefan lebih jago kalo soal musik, Ghaf. Nulis lirik lagu aja jago banget!” kedua mata Mason berbinar kala memuji sosok kakak tertua mereka, “Lo kan jago main gitar, ntar coba lo ajak Bang Stefan nyanyi bareng.”

“Suara lo udah paling masuk di telinga gue, Bang Stefan mah bisanya cuma nge-rap!

Suara tawa kedua remaja bersaudara itu mengisi rungu keduanya. Dihiasi dengan suara deburan ombak yang tak terlalu besar sore itu, Ghaffar sibuk memetikkan jemarinya pada senar gitar, diikuti dengan Mason yang bernyanyi di sebelahnya.

Selalu seperti itu. Sederhana, namun baik Ghaffar juga Mason berasa beruntung memiliki satu sama lain.

Semua terasa baik-baik saja, meski Mason menyimpan sesuatu di dalam hatinya yang tak mungkin mampu ia ungkapkan ke Ghaffar. Ghaffar selalu menjadi sosok kakak juga sahabat baginya, namun ia tak pernah mau melukai senyum Ghaffar dengan ceritanya yang menyayat hati.

“Eh, by the way, gue mau bilang makasih sama lo karna udah baik banget jadi abang. Padahal lo punya adek yang proudly gay, tapi lo tetep mau nemenin gue duduk-duduk gak jelas di sini. Mending lo cari pacar, Ghaf! Ke pantai tuh cocoknya sama pacar, bukan sama adek sendiri, hahaha!”

“Ngomong apaan sih, udah gila lo?” protes Ghaffar pada Mason. Telapak tangannya kemudian mengusak pelan rambut lembut Mason, mengacaknya agar terlihat berantakan, “Lo tuh adek gue, ya jelas gue bakal selalu nemenin lo- no matter what, no matter how. Ngga ada makasih-makasih, emang udah tugas gue buat nemenin lo.”

Mason hanya terkekeh ringan di posisinya, merasa relung hatinya seketika menghangat karena Ghaffar selalu menjadi sosok panutan yang ia sayangi. Ghaffar selalu menemaninya meski ia dijauhi karena orientasi seksualnya. Ghaffar tak peduli apapun, ia masih merangkul Mason dengan bangga setiap harinya. Mason merasa beruntung karena usianya dan Ghaffar tak berjarak jauh, juga ia yang dapat bersekolah di sekolah yang sama dengan sang kakak yang memang sangat pintar dalam akademik.

Lengan Ghaffar melindungi dan menjaganya. Namun nyatanya tak selalu demikian. Di balik pintu gudang arsip sekolah, lengan Ghaffar tak mampu melindunginya dari serangan Benhard yang membencinya. Mason rasa ia memang pantas mendapatkan perlakuan itu karena ‘keanehan’ yang ada di dalam dirinya, maka dari itu ia tak pernah mau bercerita tentang warna biru juga jejak darah yang nyaris setiap hari menghiasi tubuhnya. Mason selalu hebat menutupi segalanya seolah semua baik-baik saja. Meski kadang ringisannya terdengar saat Ghaffar, Stefan, juga kedua orangtuanya menyentuh bagian tubuhnya yang sakit, Mason selalu berusaha menahan semuanya.

Ia dulu pernah membaca pepatah tentang bagaimana waktu dapat menyembuhkan luka. Nyatanya semua tak seindah rangkaian kata bijak yang sering ia baca. Lukanya tak kunjung sembuh meski waktu telah berlalu lama.

Waktu berlalu, dengan luka fisik dan batin yang semakin membuat jiwanya nyaris goyah Mason masih melangkahkan kaki berdampingan dengan Ghaffar setiap harinya. Masih dengan senyum hangat yang sama di wajah tampannya, memastikan bahwa tak satupun orang tahu tentang apa yang dialaminya. Membiarkan rasa sakit itu bersarang di tubuhnya tanpa perlu mengadu.

“Ghaf, gue titip tas gue nih ya, ntar bawain kalo pas lo pulang.” pinta Mason tiba-tiba.

Ghaffar tak menangkap keanehan yang tersirat dalam permintaan sederhana Mason sore itu, ia hanya menganggukkan kepalanya karena Mason memang terkadang manja padanya.

“Eh, gue kemaren denger lagu ini di YouTube terus udah nemu chord gitarnya, lo coba baca dulu deh, abis itu kita nyanyiin.” Mason menyerahkan selembar kertas berukuran A4 yang ia lipat menjadi lebih kecil, berisikan chord gitar lagu berjudul ‘Langit Favoritku’ lengkap dengan liriknya di sana.

“Oke bentar ya.” ucap Ghaffar sebelum memfokuskan pandangannya pada kertas itu, membaca keseluruhan isinya hingga ujung jemarinya ia jentikkan pada senar gitar yang dipeluknya sedari tadi.

Mason tersenyum, menghadap hamparan laut yang terbentang di hadapannya. Sore itu indah sekali. Warna keemasan sinar mentari yang hendak pergi itu merupakan pemandangan yang paling ia sukai. Ia bahkan dapat menghabiskan waktu hingga matahari terbenam penuh hanya untuk menikmati pemandangan langit favorit yang selalu menjadi saksi bagaimana deras air matanya jatuh setiap saat sulit menghampirinya.

“Udah nih, ayo nyanyi” ajak Ghaffar pada Mason, menatap senyuman teduh Mason yang entah mengapa terasa menyedihkan baginya.

“Ayo!”

[play this song is strongly recommended]

Merayakan lagi
Rasa yang pernah kita bagi
Pilih baju yang terbaik
Mengantar matahari yang cantik

Bermimpi bersama
Di kota yang banyak tawarnya
Kita buat jadi penuh rasa
Cerita yang kan kita jaga

Jika tak bersamaku lagi
Ingat warna langit favoritku
Jika memang sudah tak berjalan seiring
Jaga diri masing-masing

Sampai bertemu di lain bumi
Sampai bertemu di lain hari

Yang menjadi sedih
Biarkan bersedih
Yang kan datang nanti
Biar harap yang membawa pesan
Agar lebih berkesan

Jika tak bersamaku lagi
Ingat warna langit favoritku
Jika memang sudah tak berjalan seiring
Jaga diri masing-masing

Jika tiba waktunya nanti
Yang tak dipaksa yang kan terjadi
Walau memang sudah tak berjalan seiring
Jaga diri masing-masing

Sampai bertemu di lain bumi
Sampai bertemu di lain hari
Temukan jalan yang terbaik
Relakan
Lepaskan…

Keduanya mampu dengan cepat menguasai lagu itu, meski suara petikan gitar Ghaffar masih tak selancar lagu yang biasa ia mainkan. Mason tersenyum lebar di sana, merasa puas dan lega karena permintaannya dikabulkan dengan sempurna oleh sosok yang paling disayanginya.

Permintaan terakhirnya yang tak disadari Ghaffar…

Deep banget lagunya, lo abis patah hati ya?” komentar Ghaffar pada Mason saat melihat sang adik berdiri dari tempatnya.

“Lo yang patah hati, gue mah udah enggak…” jawaban ambigu itu diselingi suara tawa kecil dari Mason, “Lo emang udah paling tepat buat selalu nemanin gue. Terbaik!” Mason mengacungi dua jempolnya ke arah Ghaffar, memberi tahu sang kakak bahwa pujiannya memang tulus karena Ghaffar selalu memberikan hal baik untuk Mason.

“Ghaf, gue main ke sana ya? Udah lama gak main air.”

“Udah mau malem, gelap, besok aja.” Larangan Ghaffar itu tentu tak diindahkannya. Mason justru tertawa lepas dan menepuk pundak sang kakak pelan, membiarkan Ghaffar bingung dengan tingkahnya.

“Kali ini aja, Bang. Janji!” Mason sangat jarang memanggilnya ‘Abang’, salah satu kelemahan Ghaffar yang memang menyayangi Mason teramat sangat.

“Ya udah iya, bentar doang tapi? Dan jangan sampe berenang, biar kaki lo aja yang kena air. Udah mau malem, ntar kita dicari satu rumah.”

Dengan senyuman lebar di wajahnya, Mason berteriak senang, “Thank you, Abang! You’re the best, please remember that!” Mason kemudian berjalan pelan ke arah bibir pantai, hingga ia berjarak cukup jauh untuk membalikkan badannya dan melambaikan tangannya ke arah Ghaffar, “Tas gue jangan lupa buat dibawa pulang ya!”

Belum sempat Ghaffar membalasnya, Mason sudah berlari kecil ke arah pantai, masih dengan melambaikan tangannya di udara. Ghaffar menatapnya dari posisinya, tersenyum melihat tingkah Mason yang selalu terlihat menggemaskan di matanya.

Namun entah mengapa Ghaffar merasa ada yang tak beres di dalam hatinya. Rasa aneh yang tak mampu ia suarakan juga tak bisa ia tepis dengan mudah.

Ia berusaha menampiknya, membalas lambaian tangan Mason yang kini kembali menyunggingkan senyuman paling indah yang dapat ia lihat meski Mason berjarak lumayan jauh darinya.

“Gue sayang lo, Bang Ghaffar!”

Senyuman cantik yang masih dapat diingat jelas oleh Ghaffar hingga hari ini — yang merupakan senyuman terakhir Mason yang dapat ia lihat semasa hidupnya. Ghaffar tak pernah sadar jika Mason memang berusaha membuat semuanya terlihat sempurna hingga hari itu tiba. Mason sudah merencanakan semuanya, pergi dengan sejuta kenangan manis yang tak akan mungkin Ghaffar lupakan sepanjang hidupnya- bersamaan dengan patah hati terdahsyat yang tak akan pernah mudah untuk disembuhkan.

Suara indah Mason kala menghantarkan pesan terakhir yang ia maksudkan pada lirik lagu terakhir yang ia nyanyikan bersama Ghaffar sore itu terngiang dengan jelas di pikiran Ghaffar. Tak punya pikiran bahwa Mason secara khusus memintanya untuk membawa pulang tas — bersamaan juga dengan tubuhnya yang tak lagi bernyawa.

Jika saja kiamat bisa digambarkan secara jelas, pada hari itulah Ghaffar merasa seluruh dunianya runtuh seketika. Tak ada upaya yang bisa membuat Mason kembali tersenyum ke arahnya, tak ada lagi hal yang membuat Mason benyanyi bersamanya. Yang tertinggal hanya sesal dan rasa bersalah yang membabibuta menyerangnya kala membaca surat terakhir yang dituliskan Mason tentang semua luka yang ia simpan seorang diri sejak lama.

Surat yang juga berisikan bagaimana Mason menyayangi Stefan juga kedua orangtuanya yang selalu mendukungnya. Surat yang berisikan kalimat penyemangat untuk orang-orang yang akan ditinggalkannya agar selalu memiliki kekuatan.

Namun sayang, Mason tak merasa cukup kuat untuk berpijak dengan rasa sakit yang tak mampu ia bagi kepada orang lain hingga ia memutuskan untuk pergi ke tempat yang ia yakini tak akan menyakitinya. Melepas semua beban juga cinta yang tersisa untuknya.

Mason Darel Kayana, pergi menjemput damainya di tempat indah di bawah langit favoritnya.

--

--

No responses yet