Mi Capitxn

raine.
13 min readApr 24, 2023

--

Pyeongchang — 23 Juni 2022

Jika dihitung berapa banyak waktu yang ia habiskan demi mengejar tenggat waktu yang ia buat sendiri, Yoongi mungkin sudah kehilangan arah. Lost of count, ia tak mampu mengingat sejak kapan ia mulai mengerjakan segalanya — hingga ia menemui titik jenuhnya.

Sibuk berpindah tempat, menemui banyak genius musik dari belahan dunia lain demi mencari inspirasi ternyata masih tak cukup baginya. Ia butuh lebih dari ini. Ia harus memenuhi keinginan juga egonya meski ia sendiri sudah merasa muak dengan apa yang ia kerjakan nyaris setiap jam dalam harinya.

“Kumpul di kantor aja, nanti bareng ke Pyeongchang-nya.” tulis Yoongi group chat-nya bersama beberapa produser dan tim yang terlibat dalam albumnya mendatang semalam, sebelum pagi ini berangkat ke lokasi tujuan.

Mendatangi lokasi shoot In The Soop 2 itu sebenarnya tak berada dalam daftarnya, namun karena ia menemui jalan buntu, ia rasa ia perlu pergi jauh dari hiruk pikuk kota untuk menenangkan pikiran — yang mungkin saja bisa menjadi sumber inspirasi untuknya.

“Gue stuck sama album gue. Setelah ‘That That’ kayanya otak gue bener-bener stuck. Jadi gue butuh refreshing ke sini.” ucap Yoongi jujur kepada seluruh anggota tim yang duduk bersamanya di meja makan.

“Gue malah ngerinya kita udah ke sini malah keenakan liburan, bukannya malah kerja.” timpal Yijeong sambil tertawa di sebelahnya.

“Ga masalah! It’s okay, to be honest. Jadi kita bisa have fun aja di sini, lumayan liburan bentar kan?” kedua mata sipit Yoongi itu kemudian seperti hilang sebab tawanya yang lebar, “Intinya, gue juga ga maksain kita semua buat harus bikin lagu, harus ngerjain project ini bareng-bareng, itu tugas utama gue karena ini album gue. Kalo ternyata ga ada hasilnya, setidaknya gue dan kita semua ngerasa lightheaded karena udah healing tipis-tipis. Terus sekalian di sini juga udah kita siapin semuanya, kalo memang tiba-tiba dapat inspirasi, yaudah kita bikin langsung, ga perlu buru-buru pergi dari rumah ke studio since we already set everything’s up in here.

Anggukan dan gumaman setuju dari seluruh tim yang membantunya itu membuat kedua sudut bibir tipisnya melengkung, merasa hangat karena ia kini tak sendiri. Beberapa dari mereka kini sibuk memindahkan barang, menyetel peralatan, bahkan ada yang sudah sibuk di dapur mempersiapkan makanan untuk tim. Sedangkan Yoongi kini berada di ruang tengah, memeriksa beberapa file rekamannya bersama Yijeong dan dua produser lain. Ia lalu berjalan mundur, duduk bersandar pada sofa yang terletak di belakangnya dan berdiam diri sesaat menatap Yijeong yang sudah duduk di depan laptopnya.

“I should take a picture of Jang Yijeong’s back.” ucap Yoongi tiba-tiba dengan senyuman tipis di wajahnya, “You look kinda cool.”

Yijeong yang tak menyangka akan mendengar pujian tiba-tiba dari Yoongi itu kemudian tertawa dan berbalik badan menatap Yoongi, “Sumpah, lo random banget.”

“Cuma ngomong jujur. Lo keren, beneran deh.” Yoongi lalu beranjak dari posisinya, berjalan mendekati Yijeong sambil memperlihatkan hasil fotonya kepada sang empunya, “Iya kan?”

“Gue iya-in aja biar lo seneng.” jawab Yijeong singkat sambil terkekeh.

“Lo seneng padahal kalo lagi gue puji.” ucap Yoongi pelan sembari tak melepaskan tatapannya pada mata lelaki yang tengah dilapisi kacamata minusnya.

Atmosfer di sana tiba-tiba berubah. Suhu tubuh Yijeong tiba-tiba menghangat meski hari sedang turun hujan yang sangat deras. Ini tentu bukan kali pertama Yoongi menggodanya jika mengingat dua lelaki itu sudah bekerja bersama bertahun-tahun, melahirkan banyak karya yang indahnya diakui banyak raga di dunia. Rentetan prestasi yang keduanya dapatkan kala bekerja bersama juga menjadi bukti bahwa hubungan dekat keduanya bukan baru seumur jagung. Yoongi menghormati Yijeong sama besarnya dengan lelaki itu menghormatinya.

“Lo ngomong sekali lagi, gue hapus nih file lo.” ancam Yijeong pada Yoongi di belakangnya, “Buruan sini kerja! Lo bawa gue ke sini buat kerja, bukan buat bercanda.”

Yoongi menurutinya tanpa menyela, hanya suara tawanya yang menusuk rungu Yijeong hingga lelaki tampan itu menempatkan diri dengan nyaman di sebelahnya, “Iya ini gue kerja, ga usah bete.”

Yijeong tak kembali bersuara sebab ia tahu Yoongi tak akan bosan menggodanya. Suasana hati lelaki itu perlahan membaik meskipun belum mulai bekerja. Yoongi beradaptasi dengan cepat dalam perubahan suasana bekerjanya. Ia tak menyesali keputusan mendadak yang ia buat dua hari sebelumnya untuk bekerja jauh dari studionya.

Yoongi juga Yijeong kemudian sibuk berdiskusi, bertukar pendapat juga saran tentang musik yang tengah digarap keduanya. Yoongi memusatkan perhatiannya pada file demo miliknya yang tengah didengarkan dengan seksama oleh Yijeong. Keduanya menghabiskan menit hingga jam bersama dengan beberapa produser lain yang juga ikut terlibat.

“Gimana menurut lo?” tanya Yoongi secara otomatis pada Yijeong yang berada di sisi kirinya, “Gue butuh saran.”

Yijeong lalu melepas headphone-nya dan menatap Yoongi, “Kayanya ini udah oke deh?”

“Beneran?”

“Iya, bener. Coba tanya yang lain.”

Yoongi lalu menekan satu tombol pada keyboard-nya dan menaikkan volume speaker dan kemudian memutarkan kursinya dan menghadap tim yang duduk di belakangnya, “Gimana menurut kalian?”

Semua kepala mereka mengangguk, beberapa bahkan menaikkan dua jempol tangan mereka untuk diacungi kepada Yoongi. Senyuman tipis kemudian muncul pada wajah putihnya yang tak dihiasi riasan apapun, merasa lega karena semuanya sependapat dengannya.

Ia kembali pada posisinya, berhadapan dengan layar laptop dan mengutak-atik musiknya sendiri. Yoongi tahu apa yang ia mau, dan ia tahu apa yang ia lakukan. Seluruh tim yang terlibat di sana juga takjub melihat bagaimana lelaki itu bersemangat tanpa kenal lelah, bahkan untuk sekedar minum air putih pun ia sering kali lupa. Beberapa orang dari mereka kemudian ke ruangan lain di sana, mengerjakan hal lain yang berhubungan dengan apa yang mereka kerjakan bersama, hingga Yoongi duduk bersama tiga orang yang kini sibuk ikut menggarap musik bersamanya.

Yijeong kemudian berdiri dan berjalan beberapa langkah dan duduk di sofa yang terletak tak jauh dari Yoongi. Ia melipat kedua tangannya di dada, sibuk memikirkan beberapa ide yang mungkin dapat membantu Yoongi. Entah berapa lama waktu berlalu, ia tak menyadari bahwa fokus matanya kini berada pada punggung mungil Yoongi yang masih memusatkan perhatiannya pada laptop. Yijeong kemudian terkesiap pelan, namun tak sampai membuat orang lain melihatnya.

Ia lalu beranjak dari posisinya, berjalan ke arah dapur dan mengambil segelas air putih untuk ia habiskan. Ia lalu berdiam sejenak, tampak sedang berpikir namun tak tahu apa yang berkecamuk dalam pikirannya. Ia lalu kembali melangkah untuk meraih sebuah mug yang terletak tak jauh darinya, mengisi mug itu dengan segelas air putih dan ia bawa kembali ke ruang tengah tempat Yoongi berada.

“Minum dulu, Gi.” Yijeong menyodorkan segelas air putih itu di hadapan Yoongi yang sedikit kaget karena presensinya yang tiba-tiba, “Lo belom minum dua jam.”

“Serius?” tanya Yoongi tak percaya, “Perasaan barusan gue minum?”

“Iya, barusan lo itu dua jam yang lalu.” timpal Yijeong sambil terkekeh geli.

“Thanks, ya!”

Kedua alis Yijeong kemudian terangkat, lalu menganggukkan kepalanya pelan ke arah Yoongi. Lelaki itu kemudian membalikkan tubuhnya setelah melihat Yoongi menyesap minuman pemberiannya, lalu merasa bingung karena entah sejak kapan ruangan yang tadinya penuh itu kini menjadi sepi. Yoongi bersama dua orang yang berada di sisi kanannya, juga ia yang kini hendak duduk kembali bergabung bersamanya.

Yijeong lalu membuka ponselnya, membuka catatan yang ia buat cepat saat ia duduk di belakang Yoongi dan menyodorkannya kepada lelaki itu.

“Ini lo yang nulis?” tanya Yoongi padanya.

“Iya. Gimana?” kepala Yijeong sedikit miring kala bertanya pada Yoongi yang kini menaruh atensi pada layar ponselnya.

“Bagus. Banget.”

“Glad that you like it.” tutur Yijeong sambil mengangguk pelan, “Kalo lo mau ini buat liriknya, ambil aja.”

“Serius?”

“Gue di sini buat kerja bareng lo, kalo aja lo lupa sih, Gi.”

“Ya, kan bisa aja lo nulis lagu sendiri. Ga harus buat gue.”

“Buat lo. Emang gue tulis niatnya buat lirik lagu lo.”

Senyuman manis Yoongi itu membuat hatinya menghangat, namun ia dengan cepat menguasai diri meski jantungnya berdebar tak beraturan kala Yoongi mendekatkan diri dengannya, mengangkat satu tangannya dan mengacak rambutnya, “Makasih ya, you’re the best!

Dari terangnya sinar mentari menghiasi hari, hingga derasnya hujan yang membasahi, kini kegelapan malam menyelimuti hari panjang yang Yoongi lalui. Baru hari pertama, namun ia sudah merasa cukup puas karena tak sia-sia pergi jauh kemari untuk sebuah inspirasi. Ia lalu beranjak dari duduknya dan berjalan ke arah sofa, merebahkan tubuhnya di sana. Kedua matanya terpejam, sementara wajah tampannya tertutup lengannya yang ia bawa ke atas kepalanya. Yoongi merasa lelah namun lega. Rasa lelahnya dirasa terbayar dengan hasil yang ia dapatkan hari ini bersama tim yang ikut membantu seluruh prosesnya.

Rasa kantuknya datang tanpa ia minta. Yoongi tak mau repot-repot melawan rasa kantuk dan berjalan ke kamarnya karena ia sudah tak lagi mampu membuka kedua matanya sendiri — hingga akhirnya tertidur lelap tanpa menggubris suara lain yang sempat tertangkap telinganya.

Yijeong yang melangkah masuk untuk mengambil tablet miliknya itu menyadari presensi Yoongi di sana. Ia beberapa kali memanggil Yoongi agar bangun dan tidur di kamarnya sendiri karena tak ingin mendengar lelaki yang seumuran dengannya itu bangun sambil menggerutu jika pinggangnya terasa sakit — namun tentu percuma karena Yoongi sudah tertidur pulas. Yijeong akhirnya menghela nafas, berdecak pinggang sambil menggelengkan kepalanya sebelum berjalan cepat menuju kamar tidurnya, dan kembali dengan sebuah selimut yang dipeluknya.

“Gue ga mau denger lo teriak sakit pinggang kaya kakek-kakek besok pagi, atau lo yang tiba-tiba demam karena kedinginan. I’m doing this because I care, nothing less, nothing more.” gumam Yijeong sembari membentangkan selimut di atas tubuh kurus Yoongi, “Besok kita tulis lirik lagi. Rest well, Gi.”

Yoongi dan sembilan orang lainnya kembali mengisi hari dengan ceria, mengerjakan pekerjaan mereka dengan santai namun ada hasilnya. Menghabiskan banyak waktu untuk saling bertukar pendapat mengenai apa yang sebaiknya mereka lakukan untuk album Yoongi. Tak ada suara yang tak terdengar. Tak ada pendapat yang percuma, Yoongi menghargai setiap kata yang keluar dari bilah bibir anggota tim yang bekerja bersamanya.

Tak ingin membebani semua orang dengan bekerja penuh waktu, Yoongi kemudian berinisiatif untuk memasakkan makan malam untuk mereka. Hal itu tentu membuat semua orang senang sebab sering mendengar rumor bahwa masakan Yoongi selalu lezat. Yoongi merasa puas saat melihat hasil masakannya dilahap habis oleh semua orang di sana, bahkan beberapa dari mereka terus melontarkan pujian tentang bagaimana nikmat rasa dari masakan Min Yoongi.

“Habisin ya, jangan sampe ada nyisa soalnya belom tentu besok gue masakin lagi.” canda Yoongi kepada mereka. Suara tawa lalu mengisi kesunyian malam di sana.

“Padahal kalo gue minta pasti lo masakin kan?” Yijeong bertanya dengan mulut yang tengah sibuk mengunyah daging.

“Habisin dulu, nanti baru minta masakin lagi.” jawab Yoongi pada lelaki itu. Satu tangannya kemudian meraih selembar tissue dan meletakkannya di atas punggung tangan Yijeong.

Tatapan bingung Yijeong menjadi pertanda bahwa lelaki itu tak paham dengan maksudnya. Yoongi lalu memberi isyarat melalui bibirnya yang mengerucut sambil menunjuk ke arah Yijeong.

Yijeong terkekeh pelan, kemudian mengelap pelan pinggiran bibirnya yang belepotan, “Wajar gue belepotan, lagi makan. Gini doang lo notice, salah fokus ya?”

Yoongi lalu memajukan tubuhnya mendekat dan berbisik pelan, “Tadinya gue pengen ngelap-in, tapi di sini rame. Hitung-hitung sebagai tanda makasih karena tadi malam lo nyelimutin gue.”

Yijeong tersedak, tak menyangka bahwa Yoongi mengetahui aksinya. Yoongi lalu dengan santai meletakkan segelas air di sebelahnya, tersenyum tipis melihat Yijeong yang salah tingkah.

“Apaan sih, Gi?”

Yoongi kembali tersenyum tipis lalu menggumam, “Kalo lo mau kita ngomongin ini sekarang, boleh.”

Yoongi lalu memberi kode melalui sorot matanya yang menatap banyak kepala lain di dekat mereka.

Lagi. Yoongi kembali dengan sengaja menggodanya.

“Lo jangan macem-macem!”

“Iya, ngga kok. Makan dulu, abis ini we’ll definitely talk about it.

Perintah lembut itu dengan cepat dituruti oleh Yijeong yang kembali menyantap makanan di hadapannya dengan rasa gugup yang kini bersarang di batinnya. Yijeong tak menyangka bahwa aksinya bsia dengan cepat diketahui oleh Yoongi. Tindakan yang ia pikir tak akan disadari oleh Yoongi.

Ia juga Yoongi lalu kembali bercengkerama dengan semua orang di sana, namun Yijeong benar-benar tak diberi damai oleh Min Yoongi. Ia tak sengaja melihat bagaimana Yoongi meletakkan potongan daging di atas piringnya, mendekatkan gelas minumannya, mengambilkan sayuran, hingga beberapa kali saling mencuri pandang. Yijeong tak ingin secara kentara memperlihatkan kegugupannya, maka ia berusaha sekuat tenaga untuk bersikap santai terhadap godaan bertubi yang Yoongi berikan khusus untuknya.

Yoongi menyeringai kala mendapati Yijeong tak sengaja menatap punggung tangannya selama beberapa detik. Ia lalu dengan sengaja mengangkat tangannya, terus menatap sorot mata Yijeong yang mengikuti pergerakannya. Yoongi membawa satu tangannya untuk menopang wajahnya, dengan jari kelingking dan jari manis yang sibuk mengusap pelan sisi bibirnya dengan sengaja, ingin melihat bagaimana reaksi Yijeong.

Dan Yoongi mendapatkan apa yang ia mau; Yijeong yang terus menatapnya hingga menelan ludah sebab rasa gugupnya sudah terlihat jelas. Yijeong bahkan sampai tak menyadari bahwa meja makan itu sudah tak lagi terisi banyak kepala, hanya tinggal ia dan Yoongi di sana. Yijeong masih tak menyadari bahwa Yoongi tahu bahwa ia sedang memperhatikan lelaki itu, hingga saat dua jemari Yoongi menekan pelan bibir tipisnya, membuatnya sedikit terbuka.

“Abis ini kita bikin yang mana lagi?” tanya Yoongi tiba-tiba, membuyarkan isi pikiran Yijeong.

Ah- anu, yang mana ya,” Yijeong total salah tingkah di hadapan Yoongi dan Yoongi sungguh menikmatinya, “Lupa gue…”

“Ya udah masuk dulu, ntar kita lanjutin yang tadi.”

“O-oke…” Yijeong menjeda kalimatnya, lalu kembali berucap kala melihat Yoongi bangkit dari duduknya, “Thanks, Gi. Masakan lo enak.”

“Glad that you like it.” jawab Yoongi sembari melemparkan senyum manis ke arah Yijeong. Ia lalu berdiri dan menoleh ke arah Yijeong, “Ayo masuk?”

Entah seserius apa mereka bekerja, hingga waktu telah menunjukkan pukul dua dini hari. Yoongi dan Yijeong masih sibuk mengerjakan musik mereka bersama hingga tak ada lagi presensi lain di sana. Yijeong yang kini duduk di kursi tengah menghadap laptop itu tak menyadari bahwa Yoongi kini tak lagi berada di sisinya. Yoongi berada di dapur, mengadukkan sesuatu di dalam dua buah cangkir sekaligus. Cuaca dingin malam itu membuat Yoongi berpikir untuk memberi mereka berdua cokelat panas untuk mereka sesap sesekali sambil menggarap album.

“Minum dulu, Jeong.” Yoongi meletakkan sebuah cangkir tepat di sebelah tangan kanan Yijeong, “Keburu dingin kalo ntar-ntar.”

“Iya, bentar. Dikit lagi.”

“Minum dulu, gue bilang.”

Yijeong lalu mengangkat kepalanya untuk melihat ekspresi serius dari Min Yoongi, “Iya, Yoongi, ini gue minum.”

Yoongi tersenyum puas saat melihat Yijeong meletakkan gelas kosong di atas meja, “Makasih ya.”

“Sama-sama,” Yoongi lalu menundukkan tubuhnya dan menghadap Yijeong hingga wajah keduanya hanya berjarak beberapa senti, “Setiap lo belepotan begini, gue jadi ga bisa mikir. Kali ini boleh gue yang ngelap-in?”

Deg!

Detak jantung Yijeong mengkhianatinya. Ia tadinya tak lagi berpikir untuk memusatkan perhatiannya pada lelaki itu, namun Yoongi ternyata ingat dengan apa yang keduanya bicarakan sebelumnya.

“G-ga usah aneh-aneh lo!”

Just trying to be a gentleman, kan lo juga udah peduli sama gue?” bisik Yoongi dengan suara rendahnya, “Tanggung jawab, Jeong. Gue udah ga bisa lanjut kerja nih.”

“Kenapa sih lo?”

“Ga tau? Lo kali yang ngapa-ngapain gue?”

“Ngaco!”

Yijeong lalu beranjak dari kursi dan berjalan cepat ke belakang, meraih bantalan sofa yang kemudian ia arahkan ke Yoongi, “Lo kalo udah capek mending tidur deh.”

“Terus lo selimutin lagi?” tanya Yoongi dengan nada menggoda, “That’s a good idea, but this time I prefer a cuddle. Mau?”

“Min Yoongi, lo beneran lagi ga waras.”

“Gue lagi seneng.” ungkap Yoongi tiba-tiba, “Seneng banget karena hari ini produktif. Kayanya emang ngajak lo kesini bikin semuanya lancar deh.”

“Yang kerja bukan cuma gue, Gi. Rame.”

“Tapi kalo yang bikin gue semangat ternyata lo, gimana?” tanya Yoongi lagi dengan nada rendahnya, kali ini terdengar lebih serius dari sebelumnya, “Sebenernya cara kaya gini- pergi ke sini and do the music tuh beneran menyenangkan. Gue ga maksain diri untuk ngehasilin sesuatu, tapi ketika gue lagi stuck kaya tadi, lo ngebantuin gue.”

Yijeong tak bersuara, berusaha mencerna apa yang baru saja Yoongi ungkapkan kepadanya.

“Yang kerja memang bukan cuma lo. Semuanya bantuin gue tanpa terkecuali, tapi lo ga sadar kalo perhatian gue ke lo doang hari ini.” Yoongi lalu menyeringai, berdiri dengan kedua tangannya yang ia lipat di dada dan menatap Yijeong, “Sama kaya lo yang merhatiin gerak-gerik gue.”

“G-gue cuma ga mau lo ngeluh soal sakit pinggang, lo dibangunin ga mempan, jadi gue bawain selimut biar lo ga kedinginan.” Yijeong akhirnya mengaku, “Nothing less, nothing more.”

Yoongi lalu berjalan mendekat hingga jarak tubuh keduanya hanya tersisa satu langkah kecil, “How sweet… Tapi kalo gue expect lebih gara-gara tindakan lo gimana?”

“Bukan salah gue.”

“Salah lo,” Yoongi memajukan tubuhnya selangkah hingga tubuh bagian depan keduanya bersentuhan, “Salah lo karena tindakan manis lo bikin isi kepala gue cuma lagu tentang lo.”

Pertahanan diri Yijeong runtuh. Egonya tak lagi memimpin permainan sebab Yoongi kini menjadi lebih berani mengungkapkan isi pikirannya. Ia tahu bahwa rekan kerjanya itu berbahaya, maka selama ini ia tak berani melangkah. Namun ia ternyata salah karena Yoongi justru tak peduli dengan hal lain. Yoongi tahu apa yang ia mau, dan ia bertekad untuk mendapatkan itu.

Yijeong.

Jang Yijeong yang ia mau.

“You can sue me tomorrow, but now let me taste those lips,” bisik Yoongi sebelum menarik pinggang Yijeong untuk masuk ke dalam pelukannya. Yijeong tak diberi waktu untuk berpikir juga menjawab karena terkejut dengan aksi tiba-tiba Min Yoongi yang tak meminta izin juga persetujuan darinya, hingga saat otaknya hendak bekerja, bibir tipis Yoongi telah berlabuh hangat pada bibirnya.

Yijeong membeku, tak mampu bergerak sedikitpun karena Yoongi menyerang seluruh syaraf di dalam tubuhnya hanya dengan satu ciuman manis yang tak pernah ia duga akan ia dapatkan dari lelaki yang selalu bekerja dengannya.

Yoongi lalu menarik diri, membawa satu tangannya ke dagu milik Yijeong, dengan ibu jarinya yang menarik pelan agar bibir manis Yijeong terbuka dan kembali menyerang lelaki itu. Yoongi menciumnya pelan, tak seagresif yang ada di dalam pikiran Yijeong. Ciuman itu lembut dan hangat, tak menuntut juga tak terburu. Yoongi menikmati waktunya, menikmati rasa manis yang ia dapat dari sana.

Sudut bibirnya lalu terangkat kala kedua lengan Yijeong kini melingkari lehernya serta bibir Yijeong yang ikut membalas ciumannya dengan lembut dan dalam. Seluruh darah dalam tubuh keduanya berdesir, ribuan kupu-kupu menyerang mereka dengan cepat. Rasa hangat menjalari seluruh sisi tubuh keduanya yang kini sibuk membagi hangat.

Manis. Ciuman itu manis hingga baik Yoongi maupun Yijeong tak ada yang mau menjadi yang pertama menarik diri meski oksigen mulai dibutuhkan oleh keduanya. Yoongi menarik tubuh Yijeong dengan kedua tangannya yang melingkar pada tubuh ramping pria tampan itu, membiarkan tubuh keduanya tak lagi berjarak sedikitpun. Yijeong yang terkesiap lalu dengan tiba-tiba menarik diri, mengatur nafasnya yang terburu-buru dengan kedua mata yang tak mampu menatap Yoongi.

Yoongi kemudian memiringkan kepalanya, berusaha mencari kemana sorot mata Yijeong bertumpu dan berbisik kepadanya, “Ke kamar ya? Gue masih mau cium lo sampe gue tidur.”

Yijeong menggeleng cepat, “E-enggak, jangan!”

“Kenapa?” tanya Yoongi bingung.

“Ngga apa-apa…”

“Jawabnya coba sambil lihat mata gue, Jeong.”

Yijeong menurut, secara perlahan mengangkat wajahnya hingga kedua netra mereka bertemu. Di sana ia dapat melihat bagaimana wajah tampan Yoongi dibasahi sedikit keringat, merona merah, juga bibirnya yang sedikit membengkak karena lumatannya. Hati Yijeong berantakan seketika, tak mampu membendung segala hal yang ia tahan selama ini terhadap Yoongi.

“I’m afraid that I’ll ask more, Gi…”

Paham dengan maksudnya, Yoongi lalu mengecup pelan kening Yijeong, “Gue tau. Gue juga takut lepas kontrol. Tapi gue masih waras, gue sadar kita ga cuma berdua di sini dan gue ga pengen lo nahan diri. Gue mau denger suara lo senyaring mungkin, tapi nanti ya? Nanti tunggu kita pulang, gue bakal biarin lo minta apapun dari gue. Hari ini gue cuma mau-” Yoongi lalu mengecup singkat puncak hidung Yijeong, “Mau cium lo, mau ngehabisin waktu sampe gue capek cuma buat cium lo. Biar pas bangun nanti kerjaannya lancar.”

“Gimana lo bisa yakin kalo kerjaannya bakal lancar?”

Yoongi kembali menempatkan ciumannya pada bibir Yijeong, satu, dua, tiga kali sebelum berucap, “My brain is already full of songs about you and me, Mi Capitxn.”

--

--