“Mau ngambil apa sih?” tanya Jungkook saat melihat Jimin melepas sabuk pengamannya dan bergegas keluar, “Kalo toiletries kan bisa beli sebelum nyampe rumahku?”
“Ngambil beberapa baju aja kok? Baju kamu kan besar semua, masa aku ke kantor pake oversized shirt? Yang ada ntar disangka jadi anak hip-hop.”
Jungkook lantas tertawa kecil lalu mengangguk pelan, membiarkan Jimin keluar dari pintu mobilnya, “Yakin ngga mau aku temenin packing?”
“Cuma tinggal ambil kopernya aja, aku udah packing tadi pas abis dari rumah Hoseok sebelum ke kantor. Tunggu di sini ya? Kalo aku ga turun in ten minutes, boleh deh naik, takutnya aku pas lagi sakit perut atau gimana.”
“Hush! Ngga boleh gitu ngomongnya.”
Pria cantik itu lalu tertawa meliha raut wajah kesal Jungkook, “Iya, iya. Maaf yaa. Intinya, kalo aku ga turun in 10 minutes, susulin, ok? Password-nya udah aku set sama kaya punya kamu.”
“Okay, hati-hati.” jawab Jungkook sambil melambaikan tangannya kepada Jimin yang berlari kecil untuk masuk ke dalam gedung apartemennya.
Waktu pun berlalu. Terhitung sudah lima menit sejak Jimin meninggalkan Jungkook di dalam mobilnya sendiri, namun Jungkook sudah merasa gusar entah mengapa. Satu kakinya sudah bergerak tanpa henti karena merasa cemas. Ia berkali-kali menengok jam tangannya juga layar ponselnya. Lalu melirik ke arah pintu masuk gedung apartemen itu, menunggu presensi Jimin kembali bersamanya.
Namun Jungkook ternyata tak sesabar itu. Sepuluh menit dirasanya terlalu lama untuk sekedar mengambil koper yang sudah Jimin siapkan. Lelaki itu lalu bergegas keluar dari mobil dan berlari menuju lift pribadi yang juga sudah ia hapal letaknya.
Langkah kakinya tak santai, ia berlari kencang menuju pintu apartemen kekasihnya. Debar jantungnya mulai tak karuan ketika melihat pintu rumah Jimin terbuka. Telinganya menangkap suara sayup-sayup yang datang dari dalam rumah itu.
Suara Jimin, dan satu suara lain yang tengah meneriakinya.
Tepat disaat kaki Jungkook menjejak masuk, saat itu pula tubuh Jimin terkulai di atas lantai marmer dengan pakaiannya yang sudah acak-acakan, dan wajahnya yang memerah.
Jimin melihatnya masuk. Tatapan ngeri dan dingin yang keluar dari sorot mata sang kekasih yang sudah dikuasai emosi itu membuat tubuh Jimin merinding. Kekuatannya nyaris hilang pasca beradu mulut dengan Kim Taehyung yang berujung pada tamparan kerasa pada wajahnya.
Jimin secara otomatis menutup kedua matanya saat melihat Jungkook menarik pundak lelaki yang paling tak ingin dilihatnya seumur hidup dan meninju wajah Taehyung dengan sangat keras hingga tubuh lelaki itu terlempar ke lantai.
Jungkook tak main-main. Ia menghajar Taehyung hingga lelaki itu tak dapat mengeluarkan sepatah katapun untuk membela diri. Tangannya bahkan tak mampu ia gerakkan untuk mencegah pukulan dan tinjuan dari Jeon Jungkook, atasan tertinggi di tempatnya bekerja yang kini menjadi kekasih dari Park Jimin; mantan kekasih yang dikhianatinya.
Jungkook tak memberi jeda pada tiap pukulan yang ia layangkan pada sekujur tubuh Taehyung, tak peduli dengan darah segar yang kini mengalir dari hidung juga sudut bibir lelaki itu, memberikan balasan yang ia harap setimpal dengan rasa sakit yang Jimin rasakan karenanya.
“You’ll never live in peace, Kim Taehyung. Mark my word.” sumpah Jungkook dengan geraman rendahnya sebelum melayangkan satu pukulan terakhir yang membuat lelaki itu kehilangan kesadaran.