Menit berlalu sejak Eijaz mengirimi Ghaffar pesan singkat melalui ponselnya, namun yang diharapkan tak kunjung membalas. Ia kemudian beranjak dari tempat tidurnya, membereskan kamar tamu tempatnya menginap, lalu bergegas mandi sebelum keluar dari sana. Pikirannya mulai gelisah, maka ia ingin dengan segera mencari keberadaan sang kekasih yang mungkin saja sedang sibuk lari pagi seperti biasanya.
Tak butuh waktu lebih dari lima belas menit hingga Eijaz selesai membersihkan diri. Ia dengan cepat menyemprotkan kolonye di seluruh sisi tubuhnya, memakai losion dan menjadikan Bleu de Chanel- parfum favoritnya sebagai sentuhan akhir sebelum berjalan keluar dari kamarnya.
Netranya sibuk memindai seluruh isi ruangan, tak mendapati satu pergerakan apapun di dalam sana. Ibu dan Ayah Ghaffar kini sedang pergi ke luar kota, yang mungkin saja baru akan kembali beberapa hari lagi, sedangkan Stefan pasti sudah kembali sibuk di kantor polisi.
Yang ia cari juga tak ada di sana, tak menampakkan wujudnya. Eijaz kemudian berjalan menyusuri ruangan lain di sana tanpa satupun yang terlewati- hingga telinganya menangkap suara sayup-sayup dari arah halaman belakang rumah megah itu.
Sosok yang dicarinya di sana, sedang sibuk mengeluarkan keringat dengan melayangkan tinjunya tepat pada samsak yang tergantung di hadapannya. Ini merupakan kali pertama Eijaz melihat Ghaffar berlatih tinju sejak keduanya saling mengenal- juga kali pertama ia melihat Ghaffar kembali menyentuh karung tinju sejak lelaki itu menginjakkan kaki di California.
“Aku cariin kemana-mana ternyata lagi di sini…” komentar Eijaz sambil melemparkan senyum ke arah Ghaffar yang sedikit terkejut setelah mendengar suaranya, “Sorry if I’m disturbing you…”
Ghaffar kemudian menghentikan aktivitasnya, menghentikan samsaknya yang masih berayun pelan akibat seluruh pukulannya, “Eh? Ngga ganggu sama sekali kok? Sorry, handphone-nya lagi di-charge di kamar.”
Lelaki muda itu kemudian berjalan pelan ke arah Eijaz sambil membuka sarung tangan yang membungkusnya, “Udah wangi, mau pergi ya?”
Eijaz lalu mengulurkan tangannya untuk membantu Ghaffar mengeluarkan tangannya dari sarung tangan tinju yang dipakainya, “Pergi nyari kamu,” jawab Eijaz sambil terkekeh pelan, “Ga kemana-mana kok, tadi aku pikir kamu pergi ke gym lagi, jadi mau aku susulin kalo kamu di sana.”
“Wow…” ucap Ghaffar pelan.
“Kenapa ‘wow’?”
“Kinda amaze because you finally want to do some workouts? So I’m happy that I can finally do my workout routines with my boyfriend.”
“Nope, sorry to break your hope but aku ke gym cuma nyamperin kamu, by the way.” jawab Eijaz sambil tertawa. Ia kemudian meletakkan sarung tangan Ghaffar di atas meja yang terletak di sebelahnya, “Maaf ya, tapi pacarmu ini lumayan pemalas untuk sekedar lari pagi…”
“Padahal kalo lari pagi rame loh, Kak? Jadi kadang ngga ngerasa capek.”
“Rame? Bukannya biasanya kamu lari sendirian?” tanya Eijaz dengan wajah bingung, “Rame dengan siapa aja gitu?”
“Strangers, most of them are my neighbors.” jawab Ghaffar santai.
“Terus? Pada lari bareng kamu, gitu?”
“Iya? We usually jog together.”
Kedua mata Eijaz membesar, sedikit terkejut dengan fakta baru yang Ghaffar katakan kepadanya.
“Babe, you’re okay?” tanya Ghaffar saat melihat Eijaz yang tiba-tiba diam, “Is there something wrong, Kak?”
“Eh? Nggak kok. All is good.”
“Liar.” gumam Ghaffar pelan, “You don’t have to lie to me if you’re not okay with the fact that I met some strangers during my morning jog, sayang. Just tell me honestly.”
Eijaz mengangkat wajahnya yang memerah, merasa malu karena ia tertangkap basah sedang cemburu oleh Ghaffar, “S-sorry…”
“So, yesterday- when you were following me to the gym, itu karena cemburu juga? Bukan karena mau olahraga sama aku?” Ghaffar dengan sengaja menggoda Eijaz, “Hm? Coba dijawab dulu, Kak.”
Eijaz menggigit bibir bawahnya, merasa terkepung oleh pertanyaan Ghaffar yang sebenarnya sudah diketahui jawabannya, “Y-you know it.”
“How can I know it when you never told me before?”
Eijaz memejamkan kedua matanya, tahu bahwa Ghaffar akan menggodanya habis-habisan. Lelaki yang lebih muda darinya itu sangat paham bahwa ia merupakan salah satu orang yang tak bisa menyembunyikan rasa cemburunya — bahkan kepada Stefan sekalipun.
“My jealousy boyfriend,” Ghaffar membisikkannya pelan seraya mengacak rambut Eijaz yang sudah tersisir rapi, “Thousand of strangers are nothing compared to you, Kak.”
“Kan banyak berarti? Most of them surely prettier than me, iya kan?”
“Kalo nyarinya yang lebih cantik, lebih ganteng, lebih tinggi, lebih baik, kayanya memang pasti ada kok, tapi gimana ya? Aku udah sangat bersyukur dengan yang aku punya sekarang; kamu. Dan mereka yang lebih-lebih itu tetap ngga sama kaya kamu, they didn’t love me the way you do.”
Rona merah semakin mengisi seluruh bagian paras indah Eijaz. Terlihat luar biasa indah di mata Ghaffar yang tak pernah bosan mengaguminya, “Mason dulu pernah bilang, kunci hidup bahagia tuh bersyukur dengan apa yang udah kita punya. Comparison is the thief of joy. Kalo terus ngebandingin dengan yang dirasa lebih juga ngga baik, Kak. Ngga ada yang sama dengan kamu, you’re my one and only. Maybe it sounds too cheesy but I mean it that way. Di mataku, you’re the prettiest. Ngga tau dan ngga peduli dengan mata orang lain, tapi di mata Ghaffar Ozanich Kayana, tetap cuma Eijaz Javas Arsalan yang terbaik. And no one will ever compete you.”
Ghaffar maju selangkah, mengangkat wajah Eijaz dengan jari telunjuknya hingga kedua pasang mata mereka bertemu, “I’ll accept your insecurities as much as you accept mine, but please do remember that I don’t want nobody else — only you.”
“What a sweet talker,” gumam Eijaz sebelum berjinjit dan menyapukan bibirnya di atas bibir milik Ghaffar, “I love you, my one and only.”