Langit biru yang membentang luas tanpa ada awan yang menghiasi itu dengan cepat membuat kedua sudut bibir Eijaz terangkat, membentuk senyuman hangat yang bisa membuat siapa pun yang melihatnya akan jatuh hati. Ia kini tengah duduk di salah satu kursi yang terletak di pinggiran taman, menunggu seseorang di sana. Kaki mungilnya ia goyangkan perlahan di atas rumput, memainkan beberapa helai daun kering yang terletak di sana.
Netranya kemudian beralih ke beberapa pejalan kaki yang berjalan melewatinya, menatap beberapa anak kecil yang tengah bercengkerama dengan kedua orang tuanya, dan beberapa pasangan muda yang tengah bermesraan tanpa peduli sekitar. Senyuman hangat itu semakin lebar, menyukai apa yang tengah menjadi pusat atensinya.
“Excuse me,” sapa seseorang dari sisi kirinya, “Are you waiting for someone here?”
Eijaz menganggukkan kepalanya pelan lalu tersenyum sopan, “Yes, I’m waiting for my boyfriend.”
“Oh, sorry,” ucap lelaki yang tampak lebih muda darinya itu, “I thought that you were alone, so I want to offer to accompany you.”
“Thank you, but I’m with my boyfriend.” ucap Eijaz sopan lalu menunjuk ke arah di mana lelakinya berada, “He’s right there, buying something from the food stall.”
“Ah, ok. I got it. Sorry for bothering you.”
Eijaz mengangguk kembali, sama sekali tak memutus senyum di wajahnya. Lelaki itu kemudian berjalan menjauh dengan salah tingkah, tak menyangka bahwa ia akan mendapat penolakan dari sosok yang menarik perhatiannya. Eijaz lalu menggelengkan kepalanya, merasa tingkah orang itu lucu dan mengingatkannya kepada seseorang yang tak lain adalah Ghaffar Ozanich Kayana, kekasihnya.
Ingatannya kembali di saat keduanya memutuskan untuk saling mengenal, mengingat dengan jelas bagaimana tingkah Ghaffar yang malu-malu saat keduanya berbincang untuk kali pertama.
“Oh, time flies…” gumam Eijaz sembari menghela nafas.
“What flies?” suara yang sangat dikenalnya itu sedikit mengejutkannya. Eijaz lalu mengangkat wajahnya hingga kedua manik sabitnya bertemu dengan netra bulat favoritnya, “Lagi mikirin apa?”
“Tiba-tiba keinget waktu pertama kali kita kenal dulu, Ghaf.” jawab Eijaz jujur.
“Tiba-tiba?” Ghaffar lalu memposisikan dirinya untuk duduk di sebelah kekasihnya, “Abis ngelamun ya, Kak?”
Eijaz lalu terkekeh kecil dan menolehkan wajahnya ke arah Ghaffar, “Barusan ada cowok nawarin diri mau nemenin aku, and somehow he reminds me of you.”
“He looks like me?” tanya Ghaffar pada Eijaz, “Kok berani ya ngobrol sama pacar orang? Boleh dikasih tau ngga orangnya yang mana?”
Ghaffar kembali menunjukkan sikapnya yang bak anak kecil yang tak suka sesuatu miliknya disukai orang lain. Eijaz sudah biasa dengan sikap posesif nan lucu dari lelaki yang sejak kali pertama sudah mencuri hatinya itu, maka ia hanya bisa tertawa melihat bagaimana manik bambi Ghaffar berusaha mencari-cari sosok yang dimaksud.
“Ga mirip kok, Ghaf, no need to worry. Lagian aku udah bilang aku punya pacar kok, makanya dia langsung pergi. Cuma pas dia ngomong mau nemenin aku itu lucu, terus dia salah tingkah — aku jadi keingat pas awal kita kenalan. That weird yet sweet memories.”
Lelaki yang lebih muda darinya itu kemudian mengangguk mengerti, tak ingin memperpanjang masalah sebab genggaman pelan tangan Eijaz pada tangannya sudah sangat menenangkannya. Ia sebenarnya tak perlu takut karena ia tahu Eijaz mencintainya sama besar dengan rasa yang ia berikan kepada sosok lelaki yang menjadi cinta pertamanya.
Ghaffar kemudian menyerahkan satu gelas minuman yang ia beli untuk Eijaz — lalu disambut Eijaz dengan antusias, “Makasih, sayang.”
Ghaffar tersenyum kala melihat Eijaz menyesap minumannya dengan cepat, memberi reaksi bahwa minuman itu nikmat baginya. Ghaffar dengan cekatan mengusap pelan ujung bibir Eijaz yang terkena foam dari minuman itu, “Kaya anak kecil kalo udah ketemu makanan kamu tuh, Kak.”
“Celemotan ya?” bukannya malu, Eijaz justru tertawa dan malah memajukan bibirnya ke arah Ghaffar, “Lap-in dong, nih.”
Bukan Ghaffar namanya jika tak dapat menangkap sinyal tersirat dari Eijaz. Ia lalu memajukan wajahnya, mengecup bibir ranum Eijaz tanpa peduli dengan orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka. Ghaffar yang sudah tak lagi malu menunjukkan afeksinya kepada Eijaz itu kini lebih berani, terlebih karena keduanya kini tak sedang di negeri sendiri.
“Sweet.” ucap Ghaffar sesaat setelah ia menarik diri, “Ke sana yuk? Ngga seru kalo lagi di Central Park malah duduk di pinggir sini.”
“Ih, mau kemana?”
“Ke sana, kalo bisa ke dekat danau malah. Yuk?”
Eijaz kini sudah duduk tak jauh dari bibir danau, menikmati pemandangan indah bersama beberapa orang lain yang berada tak jauh darinya. Ghaffar yang sedang menyesap minumannya itu terlihat tenang di sampingnya, menyandarkan kepalanya pada pundak Eijaz yang kecil, namun selalu kuat untuk menumpunya. Keduanya tak berbicara untuk beberapa menit, membiarkan kedua pasang mata mereka menikmati pemandangan yang jarang bisa keduanya tatap jika kembali ke rumah.
Rasa hangat yang tiba-tiba di pinggangnya itu membuat Eijaz tersenyum lebar, merasa senang kala tangan Ghaffar menarik pelan tubuhnya agar merapat. Eijaz lalu menyandarkan satu sisi wajahnya pada kepala kekasihnya, mengecupnya pelan beberapa kali hingga Ghaffar bereaksi.
“Seru ya kalo bisa tiap hari kaya gini,” gumaman Ghaffar itu terdengar pelan, namun rungu Eijaz dapat menangkapnya dengan jelas meskipun banyak suara lain yang ikut tercampur di sana, “Bisa berduaan setiap hari, duduk diem kaya gini tanpa harus pusingin jadwal latihan, atau jadwal kerja, terus bisa sama-sama seharian penuh, ngga mikirin apapun selain kita…”
“Iya, seru ya?” jawab Eijaz setuju. Pandangan matanya tertuju pada sepasang kekasih yang tengah tertawa tak jauh dari mereka, “Di sini sama-sama, bisa ketawa kaya ga ada beban. Kayanya seru deh, apa kita pensiun pindah ke sini aja?”
Tubuh besar Ghaffar itu bergerak karena ia tertawa, lalu disusul oleh Eijaz yang juga merasa ucapan konyolnya itu lucu.
“Kalo kita ngga kerja, aku ngga bisa beliin kamu jajan di sana tadi, ngga apa-apa ya? Yang penting bareng aja di pinggir danau begini?”
“Terus kalo laper makan rumput?” tanya Eijaz semakin mengikuti percakapan keduanya yang tak jelas, “Kalo haus kan tinggal ke danau tuh, minum?”
“Makan kamu aja, kan manis.”
Jawaban asal yang keluar dari bibir tipis Ghaffar itu sukses membuat Ghaffar mendapat satu cubitan ringan pada pahanya, “Aku bukan makanan.”
“Iya lah bukan, kan aku juga bukan kanibal, Kak. Masa pacar sendiri dimakan?”
Keduanya lalu tertawa bersama, melanjutkan candaan yang tak serius namun keduanya tertawa nyaring seolah lupa dengan siapa mereka. Ghaffar lalu mencium pipi Eijaz tiba-tiba, membuat wajah cantik lelakinya itu tersipu karena aksinya yang tak terduga.
Ia lalu mengeluarkan sesuatu dari tas yang ia bawa, lalu menyodorkannya kepada Eijaz. Ghaffar meraih satu tangan Eijaz, memasangkan sebuah gelang berwarna silver yang terlihat sangat cantik melingkar di pergelangan tangan Eijaz, “More years to come, until I grow old and grey with you, Kak. Happy first anniversary, Sunflower.”
Eijaz terkejut bukan main, sebab seingatnya- hari ini bukan tanggal penting untuk hubungan mereka, terlebih bahwa Eijaz tak mungkin melupakan hal itu, “Ghaf, kok? Ini kan bukan anniversary kita? We already celebrated it a month ago?”
“Ngga apa-apa, pengen ngulang aja karena waktu itu aku belum sempat kasih Kakak ini,” Ghaffar lalu membawa kedua tangannya melingkari bahu Eijaz, mengaitkan kalung yang kini menggantung indah pada leher mulus kekasihnya, “I won the last match because of you, so you deserve this too.”
Rasa haru dengan cepat memenuhi rongga hati Eijaz melihat bagaimana raut wajah Ghaffar yang terlihat bahagia kala berhasil memberikannya hadiah yang entah sudah ke berapa dalam rangka hari jadi keduanya. Ghaffar selalu begitu, selalu bisa membuat Eijaz tak bisa berkata-kata karena sikapnya yang terlalu manis.
“I always wanted to have this kind of date with you, not the fancy one because both of us didn’t really love it. Library date, park date, street foods date, and so many kinds of dates that I really want to try with you, cuma waktu kita terbatas. Kita sama-sama punya jadwal kerja. I guess that I got lucky when Kak Hugo said that you have a week free, so I could take you here.”
Ghaffar mengambil satu tangan Eijaz untuk ia genggam erat di atas pangkuannya, lalu satu tangannya yang lain menangkup pelan sisi wajah Eijaz yang tak pernah lupa ia puji setiap netranya tatap, membelai pelan permukaan halus pipi Eijaz dengan ibu jarinya, “I love you, Kak. Thank you for never get tired while guiding me.”
Eijaz membawa kedua tangannya naik dan bertaut di belakang tubuh Ghaffar, menarik lelaki itu untuk masuk ke dalam pelukannya. Ghaffar dengan cepat membalas pelukannya, mengeratkan hingga tubuh keduanya tak lagi terpisah jarak. Yang lebih tua lalu menarik diri, menatap kedua mata Ghaffar bergantian sebelum melabuhkan satu ciuman lembut di atas bibir kekasihnya.
“I’ll never get tired of you, Ghaffy. And yes, I love you too.”
Senyuman kini terpatri jelas di wajah dua anak adam yang saling mencinta itu. Tubuh keduanya kini kembali bertaut, berbagi pelukan hangat seolah tubuh mereka tak dilapisi apapun selain tubuh masing-masing. Seluruh sisi wajah Ghaffar menjadi landasan empuk bagi bibir Eijaz yang mengecupnya berkali-kali hingga tak terhitung sudah berapa jejak bibir Eijaz di paras tampan Ghaffar.
“Kak,” panggil Ghaffar pelan, “Kak Ei, sebentar dulu.”
“Apa?” kedua alisnya bergerak naik kala bertanya maksud Ghaffar, “Ada apa Ghaf?”
“Ada satu lagi, sebentar.”
Ghaffar lalu meraih tasnya yang lebih besar, lalu mengeluarkan isinya yang membuat kedua bibir Eijaz terbuka lebar karena terkejut. Lelaki itu kemudian menyerahkan hadiah sederhana itu kepada Eijaz dengan senyum yang tak lepas dari wajahnya yang sedikit tersipu.
“There’s no particular reason, it’s pretty, just like you…” ucap keduanya serentak.
Eijaz menerima seikat bunga matahari yang tampak masih segar itu dari Ghaffar. Bunga yang menjadi simbol penting dalam hubungan mereka, bunga yang menjadi hadiah pertama dari Ghaffar untuk Eijaz — yang berujung pada nama kecil untuk Eijaz dari Ghaffar.
Sunflowers for his sunflower.
Kedua tangan Eijaz kemudian kembali terbuka, menarik Ghaffar untuk kembali memeluk tubuhnya. Ghaffar lalu mendapat satu hadiah manis dari Eijaz di sana, sebuah ciuman lembut yang tak ingin Ghaffar sudahi meski akan berganti hari. Kedua lelaki yang tengah jatuh cinta itu kini sibuk saling menautkan bibir mereka, membelai dan melumat pelan, berbagi ciuman hangat yang tak akan sudi keduanya bagi untuk orang lain. Tak ingin mengingat hal lain, tak ingin merasakan hal lain, sebab baik Eijaz ataupun Ghaffar kini telah tenggelam semakin jauh ke dalam nirwana yang mereka sebut cinta.
Beberapa pasang mata yang melihat mereka itu ikut menyoraki, ikut bahagia sebab aura magis yang selalu terpancar dari keduanya itu nyaris tak bisa dilewatkan begitu saja, hingga membuat siapapun yang berada di sana iri dan seolah hanyut ke dalam kisah cinta mereka.
Ghaffar lalu menarik diri, membiarkan keduanya mengatur nafas mereka sebelum berbisik pada Eijaz, “You gave me peace in a lifetime of war, Eijaz. So, until every last star in the galaxy dies, you have me. You’ll always have me.”