Recognition

raine.
5 min readAug 28, 2023

--

“Lama amat lo mandi, kaya mau nge-date aja!” protes Jovi setelah melihat Ian keluar dari kamar mandi khusus yang terletak tak jauh dari lapangan basket tempat keduanya beradu tadi.

“Lo tuh berisik banget sumpah, Jov. Protes melulu? Gue balik nih?” gerutu Ian setengah mengancam.

Idih, laki tuh begitu? Udah janji kalo kalah nemenin gue mah harus ditepatin!” Jovi lalu berdiri, merangkul pundak Ian yang tingginya sedikit lebih pendek darinya lalu melangkah bersama menuju gedung utama kampus mereka, tempat ruang latihan berada, “Seru tau kalo lo ngikut liat anak-anak dance lagi practice, banyak yang cakep!”

“Jadi tujuan lo liatin Kak Harvey apa ngeliatin semua yang cakep dah?” tanya Ian pada Jovi dengan lirikan matanya yang memicing.

“Ya menurut mata gue yang paling cakep mah Harvey. Kalo anak-anak dance lain banyak yang cakep. Lo tuh tiap tanding padahal ada anak dance tampil masa lo gak liat betapa indahnya ciptaan Tuhan yang ditaroh di kampus kita, Ian? Rugi amat lo basketan tapi gak liatin yang dukung dari cheerleaders sampe dance semua nongol.”

“Lo tau gue se-ngga peduli itu sama hal lain kalo udah tanding, Jov.” ucap Ian membela dirinya, “Lagian lo udah cukup liatin Kak Harvey aja, ngga usah sok mengagumi yang lain.”

“Lo bisa ngomong gitu karena lo terlalu apatis sih, Ian. Belom aja lo liat di sana ada Sesha, Maddy, sama Jacelyn. Or if you prefer the boys, ada Harvey, Josh, and Isa. Tapi kalo Harvey jangan lo incer, punya gue.”

Ian memutar kedua bola matanya, mulai lelah menanggapi energi Jovi yang tak ada habisnya. Ia tahu Jovi sedang senang sebab untuk kali pertama teman sebaya yang usianya setahun lebih tua darinya itu mampu mengalahkannya dalam sesi sparring tadi. Ia lebih memilih untuk mengangguk, mendengarkan apapun yang Jovi ceritakan padanya di sepanjang perjalanan mereka menuju tujuan, hingga langkah kaki keduanya terhenti tepat di depan pintu ruangan yang dimaksud Jovi.

“Bentar, Ian. Gue chat Harvey dulu.”

Ian menganggukkan kepalanya, lalu mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku jaket yang dikenakannya. Tak butuh waktu lama untuknya mulai merasa risih sebab banyak pandangan mata juga suara bisikan yang tertangkap rungunya. Meski sudah biasa, Ian tetap merasa tak nyaman menjadi pusat perhatian, terlebih ketika ia tidak sedang berada di tengah lapangan basket.

Ian lalu berbalik, berjalan beberapa langkah ke belakang Jovi lalu merogoh saku backpack-nya untuk mengambil airpods, lalu memakaikannya langsung pada kedua telinganya, tak ingin konsentrasinya diganggu oleh banyaknya orang yang membicarakan presensinya yang langka di depan ruang aula yang biasa dipakai untuk kelompok dance latihan untuk persiapan acara yang sudah tinggal menghitung hari.

“Ian, woy!” panggil Jovi padanya, “Dylan Shankara!”

Ian lalu mendongak, mendengar nama lengkapnya dipanggil oleh Jovi, “Apa?”

“Sini!” Jovi melambaikan tangannya, memberi isyarat untuk lelaki itu mendekat, “Sini, ngapain lo jauh-jauh?”

Ian lalu melangkah ke depan, menuju tempat Jovi berdiri dengan wajahnya yang cerah, mengantisipasi kedatangan lelaki yang ia tunggu di depan sana, “Sorry, gue nyari airpods tadi. Lagian kenapa gue ikut berdiri di sini?”

“Mau gue kenalin sama Harvey,” jawab Jovi cepat.

“Buat ap — ”

Belum sempat Ian menyelesaikan kalimatnya, pintu ruangan itu terbuka, menampilkan sosok lelaki yang ia yakini adalah Harvey Levi, kekasih dari Jovi.

Sorry ya, lama nungguin di sini?” ucap lelaki itu. Ian lalu melangkah sedikit mundur untuk memberi keduanya privasi, namun tangan Jovi dengan cepat menahannya, dan Ian nyaris terkejut.

“Enggak kok, baru aja sampe pas nge-chat kamu. Tadi sekalian nungguin anak ini selesai mandi, baru jalan ke sini.” ucap Jovi sambil menarik lengan jaket Ian, “Kenalin, ini Ian.”

“Halo, Ian!” sapa Harvey ceria, “Gue sering nonton basket, liat lo, tapi baru kali ini kayanya lo nginjakin kaki ke sini?”

“Halo, Kak. Hehe, iya, baru kali ini juga diajak Kak Jovi ke sini.” ucap Ian ramah padanya.

“Tumben lo manggil gue pake ‘Kak’?” tanya Jovi dengan raut wajah heran.

“I’m just trying to be polite here.”

“Vey, udah belum? Ini gue sama yang lain udah siap-siap mau bubaran!” teriak seorang lelaki dari dalam ruangan.

“Bentar, Sa!” jawab Harvey cepat, lalu kembali menatap Jovi, “Bentar ya, aku panggil Isa dulu ke sini.”

Jovi menjawabnya dengan anggukan juga senyum hangat di wajahnya. Ian yang melihat bagaimana tingkah temannya itu lalu terkekeh kecil, menggelengkan kepalanya sebab Jovi di lapangan dan Jovi yang tengah bersamanya kali ini seperti berbeda orang. Ian lalu kembali menatap ponselnya, membaca sesuatu yang menarik perhatiannya hingga ia tak melihat kala Harvey kini telah kembali dari dalam ruangan bersama seorang temannya.

Ian kembali terkesiap saat Jovi kembali menarik lengan jaketnya, memberi kode kepada Ian bahwa Harvey ada di sana, “Eh, maaf Kak.”

“Santai aja, lagi bales chat pacar lo ya?” goda Harvey padanya dengan akrab.

“Oh, ngga! Ini baca artikel berita kok!” jawab Ian sambil menggoyangkan kedua telapak tangannya.

“Bercanda aja gue mah, Ian! Lo serius banget lagian?” ucap Harvey sambil tertawa, “Sorry ya kalo gue ngagetin!”

Jovi, Harvey, juga lelaki yang berdiri di sebelah Harvey itu lantas tertawa kecil melihat tingkah Ian yang lucu. Lelaki itu lalu menggaruk bagian kepalanya yang tak gatal, ikut terkekeh karena ia pun merasa sedikit malu dengan tingkahnya.

“Oh iya, sebelum balik, ini kenalin temen gue, Isa.” ucap Harvey pada Ian, memperkenalkan lelaki yang wajahnya sedari tadi sedikit tertutup rambut hitam nan lebatnya.

“Halo, gue Isa.”

Seketika segala sesuatu yang ada di sekitarnya terlihat buram. Tak ada suara yang mampu ia tangkap dengan jelas kala manik bambi milik Dylan Shankara bertemu dengan manik sabit paling indah yang pernah ia lihat dalam hidupnya. Degub jantungnya lalu berpacu cepat seolah ada hal lain yang kini mengisi dirinya dengan tanpa permisi. Selama beberapa detik, Ian bak tenggelam dalam pesona seorang Isa yang baru saja ditemuinya. Ian tak mampu berbicara, seolah suaranya kini tercekat oleh sesuatu yang menghalanginya untuk mengucap kagum pada sosok indah yang kini berdiri dan tersenyum kepadanya. Ian nyaris terlihat seperti orang kikuk jika saja ia tak cepat-cepat menguasai diri yang terpesona melihat presensi Isa yang dengan cepat menguasai dunianya.

H-halo, saya Ian.” ucap Ian dengan suaranya yang nyaris tak terdengar, “Salam kenal, Kak Isa.”

Senyuman manis yang mengembang itu terpatri jelas di wajah Isa, “Salam kenal, Ian.”

Ian tak mampu mencerna apa yang tengah beradu di pikirannya. Batinnya ribut, entah mengapa. Hatinya menghangat seketika kala Isa kembali menorehkan senyuman untuknya sebelum lelaki itu berbalik badan dan mengambil tas miliknya yang masih berada di dalam ruangan. Dan setelah Isa kembali, Ian masih memusatkan perhatiannya pada lelaki cantik yang dengan cepat mencuri atensinya.

Keduanya beberapa kali bertukar tatap tanpa ada rasa curiga satu sama lain, lalu saling membalas senyuman sepanjang perjalanan mereka ke parkiran mobil. Ian benar-benar dibuat gila oleh hal aneh yang kini sibuk mengusik hati dan pikirannya, yang tentu saja bersumber dari tatapan Isa padanya.

Detik itu juga, Ian menyadari bahwa akan ada hal baru yang menjadi alasannya untuk bangkit. Ada alasan baru untuknya bangun dan pergi dengan semangat ke kampusnya. Sebab kali itu juga ia menyadari bahwa sosok Isa akan menjadi salah satu alasannya untuk menikmati hidup.

--

--

No responses yet