retrouvaille.

raine.
7 min readFeb 10, 2025

--

Perjalanan panjang yang rela ditempuh Damian untuk menghabiskan waktu liburannya itu nyatanya terjadi sesuai dengan apa yang Dimitri sebutkan di pesan singkat sebelumnya; bahwa Damian hanya akan menghabiskan waktunya dengan tidur. Mungkin memang lelaki tiga puluh satu tahun itu sedang lelah, maka ia berhasil mendapatkan tidur yang baik selama di pesawat. Namun ketika kedua matanya terbuka, gemuruh bahagia itu kembali menyapa.

Bibirnya beberapa kali membentuk senyuman tipis kala mengingat bahwa sebentar lagi ia akan bertemu dengan lelaki berdarah campuran yang juga merupakan adik sambungnya; Dimitri, yang sudah nyaris lima tahun tak dijumpainya.

Dimitri Von Roscoe, siapa pula di belahan dunia ini yang tak kenal dengan nama yang nyaris setiap hari dilafalkan oleh banyak orang? Seorang model tampan yang juga sesekali menyumbangkan suaranya untuk acara amal. Tubuh proporsional dengan wajah yang terukir sempurna itu kerap kali membuat jutaan pasang mata nyaris enggan berpaling, terlebih ketika mereka sibuk menggali lebih tentang bagaimana seorang Dimitri di dunia nyata.

Sempurna.

Dimitri itu sempurna, begitu pula menurut Damian yang sudah menjadi saudara sambungnya lebih dari lima belas tahun yang lalu ketika Dimitri baru saja hendak beranjak remaja. Dimitri selalu menggemaskan di matanya yang selalu ingin mempunyai adik laki-laki. Damian menyayanginya, melindunginya dari segala sisi. Keduanya benar-benar seperti saudara kandung meski tak ada sedikit pun ikatan darah di antara mereka.

Maka ketika Dimitri memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya di New York, Damian-lah yang paling patah hati. Damian sibuk memohon agar adiknya tidak menjauh, berkali-kali mengusulkan beberapa sekolah ternama yang bisa Damian tempuh tanpa harus pindah ke negara yang letaknya jauh dari rumah. Namun Dimitri nyatanya lebih memilih pindah karena ia selalu menaruh minat pada New York sejak matanya selalu menemukan hal indah yang terjadi di sana, lewat film-film yang ditontonnya hingga jatuh hati dan bertekad jika suatu hari, ia akan menyebut negara itu sebagai rumah.

Suatu hari, Damian tidak lagi menggebu melarangnya sebab Dimitri akhirnya mengucap janji untuk selalu pulang. Dimitri selalu pulang, setiap tahun di waktu yang sama. Dimitri menepati janjinya, tak sekalipun lupa untuk pulang dan menghabiskan waktu dengan sang kakak yang selalu menunggunya.

Namun nyatanya janji itu berhenti di lima tahun lalu, ketika Dimitri membatalkan rencana kepulangannya ke Jakarta karena alasan pekerjaan. Damian mengerti sebab karir adiknya memang sedang melejit. Tiap sudut jalan kota New York itu konon katanya diisi dengan wajah tampan Dimitri yang tengah menjadi muse dari beberapa brand internasional. Tawaran demi tawaran pun diterima, sampai ia pernah beberapa kali jatuh sakit karena kesulitan mengatur jam istirahat di tengah padatnya pekerjaan pada era Fashion Week yang mengharuskan dirinya beberapa kali terbang lintas benua. Hal itu sempat membuat hubungan keduanya renggang sebab rasa kecewa Damian ternyata cukup besar sehingga ia enggan untuk berinteraksi dengan sang adik untuk beberapa saat. Dimitri yang paham akan reaksi itu pun tidak banyak menuntut, tak juga banyak membujuk karena sikapnya yang memang acuh sedari dulu.

Tahun berlalu, meskipun Damian masih berharap bahwa sang adik tetap akan kembali, namun dalam batinnya ia mengerti kenapa Dimitri tak begitu menyukai Jakarta. Salah satunya karena ia paham betul bahwa potensinya tidak akan dihargai sebesar ia dihargai di negeri orang lain. Dimitri yang pendiam itu juga tak jarang menceritakan tentang kehidupannya di sana, bagaimana lingkungan kerjanya, juga orang-orang yang menjadi keluarga untuknya di sana. Alexander Min juga Giovanni Jang, sepasang produser musik yang sudah dianggapnya saudara, juga rekan sesama model papan atas, Ethan Gracia dan Milan Danuartha. Damian selalu antusias kala mendengarkan Dimitri bercerita sembari menahan kantuk yang menyerang karena perbedaan zona waktu, dan dua kakak-adik itu selalu menghargai tiap detik yang mereka habiskan meski hanya sebatas bertukar kabar singkat.

Dimitri menyelesaikan pekerjaannya, lalu pergi berpamitan dengan Alex dan Gio yang sudah tahu ke mana ia pergi sore itu mengingat waktu sudah menunjukkan bahwa sebentar lagi tamunya kan tiba. Sosok kakak sambung yang sudah lama tak ditemuinya secara langsung itu untuk kali pertama rela terbang jauh demi menyambanginya — yang juga sebagai wujud permintaan maaf Damian yang dua tahun lalu tak ikut perjalanan keluarga mereka saat hendak mengunjungi Dimitri saat New York Fashion Week. Tentu saja Dimitri sama antusiasnya dengan sang kakak, mengingat ini juga kali pertama keduanya akan menghabiskan waktu tanpa orang tua mereka. Mendapatkan izin selama tiga hari dari agensinya juga tentu bukan hal mudah di tengah jadwalnya yang nyaris tak berjeda, namun ia tahu ia pantas mendapatkannya setelah baru saja kembali sukses mencetak rekor penjualan brand yang baru saja merekrutnya sebagai ambassador.

“Jadi mulai besok sampe 3 hari ke depan, lo gak ke studio ya, Dim?” tanya Gio padanya.

“Iya, Kak. Kakak gue di sini sekitar semingguan, jadi setidaknya gue 3 hari bisa bener-bener nemenin dia keliling.”

“Oke kalo gitu, by chat aja ya kalo ada yang mau didiskusiin. Salam buat Kakak lo dari kita berdua.”

Dimitri mengacungi kedua ibu jarinya kepada dua orang produser yang sudah beberapa tahun belakangan menjadi panutannya dalam bermusik — hobi lain yang juga merupakan hal kesukaannya.

“Nanti gue sampein ke Kak Dami. Gue pergi dulu, ya!”

“Hati-hati, gak usah ngebut!”

Udara New York sore itu cerah, namun dinginnya cukup menusuk tulang. Beruntung Damian sedari awal sudah memakai jaket tebal untuk menghangatkan tubuhnya yang terkadang masih belum terbiasa dengan udara dingin karena seumur hidupnya ia habiskan di Jakarta, berbeda dengan Dimitri yang memang lahir dan tumbuh di London, Inggris.

Siapa pun yang melihatnya dapat dengan jelas mengetahui bahwa Damian baru saja bangun dari tidurnya tak lama sebelum pesawat mendarat. Meski terlihat sedikit berantakan, Damian tak peduli karena yang ia butuhkan saat ini hanyalah sebuah taksi untuk pergi ke tujuannya.

“Lah? Dimi belum ngasih alamat? Gimana sih ini bocah?” protes Damian kala memeriksa ponselnya, lalu dengan cepat memencet tombol dial untuk menelepon sang adik.

“Halo, Dimi?”

“Iya, Kak Dami.”

“Dim, ini gue udah landing, tapi lo belum share alamat apartemen lo. Gimana gue mau ke sananya?”

“Ya, kan lo langsung sama gue, Kak? Ngapain pake share location?”

“Kok jadi sama lo?”

“Gue jemput, Kak Dami. Ini gue udah di pick up point arrival, lo di sebelah mana, biar gue samper — oh wait, I think I see you.”

Telepon itu terputus, tak lama kemudian sebuah Mercedes-Benz AMG G63 berwarna hitam pekat berhenti tak jauh dari tempatnya berdiri.

“I guess that I’m right, it’s you, Kak Dami,” ucap Dimitri sesaat setelah menurunkan kaca mobilnya, “Masih nunggu bagasi ya?”

“I-iya,” jawab Damian singkat.

Ok, I’ll park the car first. Tunggu ya.”

Mobil itu melaju menuju parkiran yang letaknya juga tak begitu jauh dari sana. Damian masih terdiam, sedikit terkejut dengan apa yang baru saja ia lihat. Sosok Dimitri yang dikenalnya itu terlihat familiar, sangat familiar. Namun entah mengapa di saat yang bersamaan, Dimitri terlihat — berbeda.

Belum sempat Damian mendiamkan isi kepalanya, sosok Dimitri yang berlari ke arahnya itu dengan cepat ditangkap oleh netranya. Senyuman hangat khas Dimitri itu lalu terlihat jelas, yang entah mengapa membuat Damian merasa hangat.

“Halo, Kak Dami,” sapa Dimitri dengan senyuman di wajahnya, “Five years passed, you’re still this tiny ya, Kak?”

Damian tak membuang waktunya untuk membalas senyuman Dimitri dengan sama hangatnya sebelum dengan cepat ia melemparkan tubuh untuk masuk ke dalam pelukan adiknya, “Five years passed and you’re getting more and more annoying, Dimitri. And I’m fucking miss you like hell…”

“Where are we going to?” tanya Damian setelah mobil yang ditumpanginya melaju.

“It’s almost dinner time already, are you tired or something so we can just go home and rest, or you’re hungry?” tanya Dimitri sembari menolehkan wajahnya ke arah Damian.

Ehm… Gue capek, tapi laper. Gimana tuh, Dim?”

Dimitri melengos, “Yang paling masuk akal ya, dinner first, then you can rest right after. Atau lo mau makan di rumah aja?”

Damian menatap Dimitri antusias, “Lo bisa masak?”

Lelaki yang lebih muda darinya itu lantas menaikkan kedua alisnya, “Well, I’ve been living abroad all by myself for more than half of my life, do you expect I couldn’t cook at all, Kak? In New York City?”

Damian lantas tertawa, merasa lucu dengan pertanyaannya yang memang terdengar konyol, “Lo tuh beneran se-savage ini kah sekarang kalo ngomong?”

“I just love to put something right in its place, akhirnya sadar kan kalo pertanyaannya rada ngga masuk akal?

Damian mengangguk setuju, “Iya sih, cuma gue tetep kaget kaya langsung diulti. Padahal satu jam aja belom lewat sejak ketemu setelah lima tahun.”

“Sorry if I offended you, Kak. I’m just… used to it,” Dimitri menjeda kalimat sembari mengendalikan setirnya, “Speak frankly, you know? Apa sih bahasa Indonesianya? Err… blak-blakan, maksudnya.”

“I can tell. Lo emang selalu blak-blakan dari dulu. Cuma karena udah lama ga ngobrol langsung makanya gue kaget dikit. Gue kira lama ga ketemu bikin lo lebih soft, taunya makin bar-bar.

“Well, it’s NY, Kak. Not every soft thing could win here. I can be a very sweet and kind little brother of yours at home, but sometimes you’ll see me being rude too. And also, this little brother of yours is quite known for being a soft-yet-savage person since a long time ago, so you have to get used to it since we’ll be together for a week — you know, my outspoken attitude. But when things are getting unbearable, please, remind me, Kak.”

Damian paham, Dimitri memang selalu jujur dengan apa yang dirasanya. Sering kali ucapannya yang sebenarnya biasa itu terdengar menusuk, namun Damian tahu yang disampaikannya adalah hal benar — hanya cara bicaranya terkadang terkesan ketus, ditambah dengan Dimitri yang juga minim ekspresi.

Mendengar itu, Damian tak mau ambil pusing. Senyuman tipis pun lalu terulas singkat pada wajahnya yang kini tengah mengamati paras tampan adiknya dengan lekat, mengamati bagaimana sosok adik kecilnya tumbuh menjadi pria yang tampan hanya dalam lima tahun keabsenannya.

“I know, well noted, Dim. And I can’t hardly wait to see all of it, my sweet little brother…”

--

--

No responses yet