Sesuai dengan yang sudah keduanya janjikan, akhir pekan kali ini menjadi hari pertama keduanya bersua setelah nyaris sepekan tak diizinkan bertemu. Terakhir kali Ghaffar dapat menatap langsung wajah cantik sang kekasih adalah saat ketika ia menyempatkan diri untuk menghampiri Eijaz sebelum pertunjukannya, membawakannya sebuket bunga matahari yang secara magis dapat membuat semangat Eijaz membara hari itu. Presensi Eijaz selalu bisa menjadi sumber rasa damai bagi Ghaffar yang tak pernah merasakan cinta sebelumnya. Mungkin dirasa berlebihan, namun bagi Ghaffar bahkan masih jauh dari kata cukup. Ia selalu ingin bersama Eijaz tanpa terpisahkan jarak dan waktu.
Jika saja saat ini kedua matanya tak harus terfokus dengan jalan yang terbentang di hadapannya, mungkin saja ia sedang memandangi wajah Eijaz yang bersemu merona tanpa berjeda. Satu tangannya masih bisa ia fungsikan pada kemudi mobil, sementara tangan yang satunya sibuk menggenggam tangan mungil Eijaz di atas pahanya.
Domestik sekali.
Eijaz yang tak dapat menyembunyikan senyumnya pun merasakan bagaimana Ghaffar menyuarakan perasaannya hanya melalui tautan tangan. Musik yang mengalun di sana sudah diatur oleh Eijaz sendiri, sengaja membuat daftar putar lagu pada Spotify miliknya untuk ia nikmati bersama dengan Ghaffar. Sambil sesekali menoleh pada sang kekasih, Eijaz ikut menyumbangkan suara indahnya untuk Ghaffar dengar di sana.
“Your voice’s always amazing, Kak. I love it…” tutur Ghaffar saat lagu yang dinyanyikan Eijaz berakhir.
“Of course, you love me though, my voice is just a part of me,” jawab Eijaz dengan percaya diri, tersenyum bangga kala melihat Ghaffar mengangguk setuju, “Glad that you love my voice too, it feels so nice hearing it from you…”
Ghaffar tersenyum, paham dengan maksud dari ucapan Eijaz padanya, “You are loved by many, Kak. I’m just one of them. Sayangnya aku telat tau kalo suara Kakak kalo lagi nyanyi emang luar biasa dibanding Jazziest yang lain.”
“But you’re the most special one.”
“I know,” jawab Ghaffar dengan senyuman lebar di wajah tampannya, “Cuma aku yang paling spesial.”
“Only you, indeed.”
Hal sederhana yang tak pernah Ghaffar bayangkan akan dapat membuat dunianya membaik seketika. Jika saja benar wujud cinta itu indah, maka Eijaz memang jawaban paling tepat untuknya yang pernah terluka.
“Kak?”
“Hm?” Eijaz menolehkan wajahnya ke arah Ghaffar, “Apa, Ghaf?”
“We’ll arrive in less than five minutes, tapi sebelum sampe aku mau request sesuatu dari Kakak.”
“Apa? Kamu mau request apa?”
“Sing ‘Sanctuary’ for me once again.”
“Sanctuary?” tanya Eijaz pada Ghaffar untuk memastikan, “Sanctuary yang kemaren aku kirim pake voice note?”
“Iya.”
“Why ‘Sanctuary’?” tanya Eijaz lagi, “Padahal aku lumayan sering nyanyiin lagu lain ke kamu?”
Eijaz dapat melihat senyuman hangat mengembang, menghiasi wajah tampan Ghaffar yang terlihat membuatnya terlihat semakin menawan.
“It says, ‘I am your escape’- and yes, you’re my escape. And for years long I’ve been aiming for Heaven above, but an angel ain’t what I need. What I need was Heaven to pour me a lot of goodness in life- but it turns out that the angel that I never ask is all I need now; You.”
Ghaffar tak mengucapkannya sambil menatap kedua manik sabit Eijaz yang sedang berkaca-kaca saat ini, namun Eijaz tahu bahwa lelaki itu berucap tulus.
“You’re the sanctuary. You’re my sanctuary, Eijaz.”
Banyak hal yang terlintas di benak keduanya ketika menatap bagian depan toko buku yang menjadi tempat bersejarah cerita mereka berdua. Ghaffar yang menyetujui ide Eijaz untuk menghabiskan waktu berdua di tempat ini justru tak memiliki perasaan sesal sedikitpun. Meski harus rela pergi menjauh dari kota, rasa bahagia yang membuncah di hati keduanya justru semakin besar, teringat saat Eijaz menjadi yang pertama memulai untuk saling mengenal dengan secarik kertas yang ia selipkan pada buku yang dibaca oleh Ghaffar. Ia tak pernah menyangka bahwa hal itu mampu membuatnya jatuh hati pada sosok lugu Ghaffar. Eijaz dapat melihat wajah Ghaffar yang bersemu saat sepasang netra lelaki itu terpaku pada taman, tempat keduanya memulai kisah baru.
“Masuk yuk?” ajak Eijaz pada Ghaffar, “Kalo diliatin terus tamannya ikut salah tingkah kaya aku loh?”
“Kakak salah tingkah?” tanya Ghaffar sebelum menolehkan wajahnya ke arah Eijaz, kemudian tersenyum kecil saat melihat rona merah yang menghiasi wajah Eijaz, “Oh iya, sampe merah gitu pipinya.”
Eijaz secara otomatis menangkup kedua sisi wajahnya, berusaha menutupi rona merah yang tetap terlihat jelas meski pencahayaan di sana tak begitu terang.
“Udah, ngga usah ditutupin gitu, aku suka banget kok!” ucap Ghaffar tanpa berpikir efek yang ia timbulkan kepada Eijaz. Ia kemudian menautkan jemarinya dengan jemari milik Eijaz, menggenggam erat telapak tangan mungil nan hangat yang selalu menjadi kesukaannya.
“Ayo kita mulai library date-nya!” ajak Ghaffar pada Eijaz yang masih tersipu. Lelaki yang lebih kecil darinya itu kemudian mengangguk pelan dan berjalan pelan, berdampingan dengan Ghaffar untuk memasuki toko buku.
Suasana hangat dengan cepat menyapa keduanya. Tanpa alasan yang jelas, kedua sudut bibir dua anak adam itu terangkat kala netra mereka memindai seluruh sisi ruangan yang sudah lama tak mereka kunjungi. Sang pemilik toko yang selalu menyapa mereka pun ada di sana, berdiri menyambut kedatangan keduanya dengan senyum ceria di wajahnya.
Baik Ghaffar juga Eijaz kemudian membungkukkan badan mereka, membalas senyuman sang kakek yang selalu menyapa keduanya tanpa suara. Langkah kaki mereka kemudian sampai pada ruangan khusus untuk membaca, tempat di mana Eijaz menemukan Ghaffar di sudut ruangan dengan pakaian serba hitamnya.
“Aku inget banget waktu pertama kali liat kamu duduk di sana, in all black outfit, ga keliatan mukanya,” kenang Eijaz sembari menunjuk satu sisi ruangan tempat ia menemukan Ghaffar, “Padahal sebelumnya aku selalu sendirian di sini, waktu denger kamu ketawa, aku kaget, sampe kepikiran kalo kamu stalker yang ngikutin aku sampe ke sini.”
Ghaffar yang baru mengetahui fakta itu lantas tertawa kecil, merasa sedikit kaget namun entah mengapa ia justru merasa pengakuan Eijaz itu lucu, “Masa sih? Padahal waktu itu aku bahkan ngga tau kamu siapa ya Kak…”
“Aku sempat ga percaya waktu kamu ga ngenalin aku, aku pikir kamu bohong. Sampe akhirnya aku sendiri yang penasaran. Lucu ya kalo diinget?”
“No one know how the future works, dari kita yang ngga saling kenal, justru jadi kita yang ngga mau saling jauh.”
Tatapan tenang mata Eijaz itu selalu menghantarkan rasa nyaman ke dalam diri Ghaffar. Ia membawa tangan Eijaz yang masih dalam genggamannya ke arah bibirnya, memberi satu kecupan lama di punggung tangan mungil lelaki yang tak pernah lelah menghadapinya.
“Ghaf…” sekujur tubuh Eijaz menghangat seketika akibat ulah Ghaffar yang tak pernah diduga.
“Hehe, sorry. I can’t help it.” Ghaffar tiba-tiba merasa malu dengan tingkahnya, ia mengusap pelan belakang kepalanya sendiri karena salah tingkah, “ Kak, let’s sit first, aku mau ambil buku terakhir yang aku baca. Where’s yours? Biar aku yang ambilin.”
“No need to, aku mau nemenin kamu baca aja.” jawab Eijaz padanya. Lelaki itu kemudian berjalan pelan menuju sofa tempat yang biasanya Ghaffar duduki, “Sini, Ghaf. You can read your book, when I just really want to enjoy your company.”
Dengan sebuah buku dalam genggamannya, Ghaffar menuruti Eijaz. Ia duduk tepat di atas permukaan sofa yang sebelumnya ditepuk pelan oleh Eijaz untuk ia duduki dengan nyaman tanpa jarak dengan sosok Eijaz yang kini menyandarkan kepalanya di bahu bidang milik Ghaffar.
Hanya suara deru nafas dan suara kertas yang dibalik oleh jemari panjang milik Ghaffar yang mengisi ruangan itu. Eijaz tak melakukan apapun selain menyamankan dirinya di sana, menemani Ghaffar yang kedua netranya sudah terpaku pada lembaran buku. Tak ingin mengganggu konsentrasi sang kekasih, Eijaz memutuskan untuk memejamkan kedua matanya, memfokuskan indera pendengarannya pada suara detak jantung Ghaffar yang selalu menjadi melodi favoritnya.
Entah sudah berapa lama keduanya menghabiskan waktu di sana, yang Ghaffar tahu hanyalah Eijaz yang tertidur damai dalam rengkuhan hangatnya. Ghaffar sudah tak lagi membaca. Buku yang tadi menyita atensinya kini tergeletak begitu saja di atas meja sementara satu tangannya membelai pelan kepala Eijaz. Ia tak ingin menjadi pria gila yang mencuri kesempatan saat sang kekasih tengah lengah, namun intuisinya mengatakan bahwa ia boleh membubuhkan ciuman pada puncak kepala Eijaz.
Tak banyak, hanya satu kali. Namun ia enggan menarik diri. Kedua manik bambinya tertutup kala bibir tipisnya mencium lama puncak kepala Eijaz yang masih bersandar di pundaknya. Ia menghabiskan waktunya dalam posisi itu, menyesap wangi yang menguar dari hair mist yang selalu dipakai Eijaz.
God, I probably can do anything if he’s here with me. So please, don’t ever take him away from me. Don’t ever take anyone else from me no matter what…
“Hngh…”
Ghaffar membuka matanya pelan, merasakan Eijaz yang bergerak pelan dalam tidurnya.
“Ghaf…”
“I’m here, sayang.”
Hanya butuh jawaban singkat itu untuk membuat Eijaz melingkarkan kedua tangannya pada pinggang Ghaffar, memeluk tubuh besar kekasihnya tanpa membuka mata, “I’m here too, Ghaf. Please do remember that…”
Debaran jantung Ghaffar melaju seketika ketika mendengar kalimat terakhir yang diucapkan oleh lelaki mungil yang kini masih sibuk memeluknya. Seolah paham oleh suara hati yang tak mampu Ghaffar vokalkan, Eijaz memilih untuk tak memaksanya berbicara namun ia memastikan bahwa ia akan selalu ada di sana jikalau Ghaffar membutuhkannya kapan saja.
Entah sudah berapa banyak alasan yang telah Ghaffar tuliskan jauh di dalam hati dan pikirannya, tentang apa saja yang menjadi pemicu rasa sayang dan juga cinta yang ia rasakan untuk Eijaz sejak pertemuan pertama mereka. Eijaz yang tak pernah mempermasalahkan sikapnya yang dirasa aneh itu justru menjadi salah satu alasan yang terbilang sederhana namun bermakna bagi sosok Ghaffar yang tertutup. Eijaz selalu dapat menciptakan alasan baru untuknya semakin jatuh. Eijaz selalu dapat membuat buruknya menjadi indah secara magis.
Mungkin benar apa yang dulu pernah ia dengar, bahwa hal magis terdahsyat adalah cinta. Dan Ghaffar tak pernah berhenti bersyukur atas kehadiran Eijaz yang tak pernah ia kira akan berdampak besar di dalam hidupnya. Cahaya yang telah lama redup dan hilang di dalam hidupnya, kini kembali terlihat. Hati beku yang telah ia simpan lama itu kini menghangat, dan hanya Eijaz yang menjadi sumber dari segala awal yang baru. Baik bagi Ghaffar, maupun Eijaz sendiri.
“And I realize, no one has ever really touched me before you, Eijaz…” ucap Ghaffar pada Eijaz di dalam hatinya, kembali bersyukur atas presensi lelaki yang tak pernah lelah merangkul jiwanya, “And I‘ll tell ‘The Star’ about you every night.”