Cuaca cerah langit California pagi itu membuat Ghaffar memutuskan untuk menghabiskan waktunya di taman belakang kediaman orang tuanya sambil membaca novel yang baru dibelinya kemarin setelah sesi terapi. Novel romansa- genre favorit Eijaz. Sambil berbaring santai pada hammock yang menggantung di antara dua pohon besar, Ghaffar tersenyum seirama dengan tiap bait kalimat yang ia baca di sana.
Seperti yang sudah diberitahu sebelumnya, Eijaz belum memberinya kabar terbaru. Ghaffar yang cukup dihantui rasa penasaran itu memutuskan untuk tak memusingkannya karena ia yakin Eijaz tak ingkar dengan ucapannya sendiri. Meski lumayan sulit, namun Ghaffar tetap tak memaksakan kehendaknya terhadap kemauan Eijaz. Otaknya tak menerka apapun, yang ia tahu Eijaz memang sudah mulai kembali bekerja seperti biasa sementara dirinya masih berada jauh di negeri orang untuk menyembuhkan diri.
Sudut matanya menangkap pergerakan lain tak jauh darinya. Ghaffar menolehkan wajahnya, melihat sosok sang ibu yang berjalan membawakan sepiring roti dan segelas susu hangat. Paras cantik ibunya itu dihiasi dengan senyuman lebar yang terpatri jelas di wajahnya, membuat Ghaffar yang sedari tadi masih asyik membaca langsung beranjak dari posisinya menyambut sang ibu.
“Enjoy your free time, sayang?” tanya sang ibu ketika Ghaffar mengambil piring dan gelas dari tangan ibunya, “You look a lot better now.”
“Thanks to you, Ma.” jawab Ghaffar dengan senyuman manis di wajahnya, “Kenapa repot-repot bikinin ini? I can make it for myself.”
“Anything for my baby, it’s been too long since the last time I cooked for you. Lagian cuma french toast, gak repot sama sekali kok.”
“Don’t let yourself tired for me, Ma. I’m a big guy now.”
“Your body is big, indeed. But in my eyes, you’re still this tiny.” tutur sang ibu sambil mencoba menggambarkan sekecil apa Ghaffar dengan kedua tangannya, “You’re my forever baby, Ghaffy.”
Ghaffar terkekeh ringan, tak mampu menyela kalimat sang ibu karena memang tak peduli berapapun usianya sekarang, sang ibu selalu memperlakukannya bak anak kecil yang selalu butuh kasih sayangnya.
“Dimakan ya? I’ll be sad if you don’t eat them all,” ujung jari telunjuk sang ibu menunjuk ke arah piring cantik bermotif blue willow yang terletak di sebuah meja kecil tepat di sebelah hammock tempat Ghaffar bersantai, “Harus habis, you need to be all fit and healthy.”
Kedua lengan besar Ghaffar mendapat usapan pelan kedua telapak tangan hangat sang ibu, “You’re doing well, Ghaffy. You’re doing great…”
“Am I, right?” tanya Ghaffar untuk memastikan, “Am I doing great, Ma?”
“Of course! Look at you, my strongest baby. Standing tall and healthy, so freaking handsome, and currently in love with someone named Eijaz. Now you have us all too, Ghaffy. You can lean on us while facing your own battle…”
“Can I win this time?”
“You’re a fighter now, you choose your own battle. You can win your fights, and you’ll always win.”
Kalimat penenang yang ampuh membuat jiwa Ghaffar sejuk seketika. Sentuhan penuh kasih sang ibu yang selalu mendukungnya itu membuat kedua netra Ghaffar dipenuhi air mata. Rasa haru yang memenuhi hatinya itu membuat dirinya semakin termotivasi untuk bangkit lebih dari hari ini.
“I love you.” satu sisi wajah Ghaffar mendapat kecupan singkat dari ibunya, “I’ll go somewhere and buy some flowers with Papa and Stefan. You can continue your free time alone- we won’t disturb you. And, please send my warm greetings to your loved one! Dan, jangan lupa dihabisin, kalo engga nanti Mama sedih!”
Belum sempat Ghaffar menjawab, sang ibu sudah melangkah menjauh darinya sambil melambaikan tangannya, memberi isyarat pada Ghaffar untuk tak mengikutinya. Ia kemudian berbalik badan, mengambil sepotong roti panggang yang disiapkan sang ibu untuknya dan menyantap habis hingga tak bersisa, kemudian meneguk pelan segelas susu rasa cokelat yang juga ada di atas meja. Tubuhnya kembali ia rebahkan pada tempat tidur gantung, menyampirkan satu tangannya di belakang kepala, kemudian melanjutkan bacaannya. Ia sebenarnya sedang sedikit gelisah karena total sudah lebih dari sepuluh jam Eijaz tak memberinya kabar, namun dengan cepat ia menepis kekhawatirannya karena ia percaya bahwa Eijaz baik-baik saja.
Menit berlalu, mentari sudah meninggi. Rasa sejuk dari angin yang bertiup pelan itu menyapa permukaan kulit halusnya, membuat Ghaffar sedikit merasa dingin meski cuaca masih cerah. Ia dengan cepat membungkus kakinya dengan kain selimut tipis yang menggantung di sana, memeluk tubuhnya sendiri karena pakaiannya ternyata tak cukup tebal untuk menghangatkannya.
“It’ll be nice if you’re here…” batin Ghaffar yang dimaksudkan untuk Eijaz yang sedang berada jauh darinya, “It’ll be really nice if I can hug you right now, Kak Ei…”
Entah karena faktor perutnya yang sudah terisi atau cuaca pagi itu yang memang sejuk, kedua mata Ghaffar terasa berat untuk ia buka. Beberapa menit mencoba untuk mengalahkan rasa kantuknya, tangannya kemudian terkulai lemah dan menggantung di sisi tubuhnya. Pria tampan itu tertidur damai di sana, dengan wajah sebagian tertutup buku yang sedang ia baca.
Ghaffar bahkan tak ingat hal terakhir yang ia lakukan, yang ia tahu hanya dirinya terbangun dari tidurnya ketika indera penciumannya menangkap aroma nikmat yang menguar dari dalam rumah- pertanda kedua orang tuanya juga sang kakak sudah kembali.
“Ghaf! Bangun, hey!” seru sang ayah dari ambang pintu, “Udah mau makan siang loh ini?”
“I’m up, Dad!”
Ia baru saja akan beranjak dari posisinya, namun dengan cepat sang ayah mencegahnya, “No, you don’t need to come here real soon, Mama masih masak. Lanjutin aja dulu bacanya.”
Ghaffar tersenyum, “Alright, call me when everything’s ready!” yang kemudian mendapat acungan jempol dari sang ayah. Ia melanjutkan aktifitasnya, membaca dengan tenang meski terdengar suara sayup-sayup dari dalam rumah. Netranya kembali terpatri pada lembaran buku yang digenggamnya. Tersenyum pada kalimat yang ia baca di sana, membayangkan setiap adegan yang tertulis rinci di sana dari dalam kepalanya. Ia tenggelam ke dalam cerita, hingga tak lagi terdengar suara apapun yang mampu ditangkap rungunya.
Ia dapat melihat pergerakan lain melalui netranya, namun ia memutuskan untuk tak mengangkat kepalanya. Ghaffar mengacuhkannya, lebih memilih tetap berkonsentrasi pada bacaannya meski ia tahu bahwa ada presensi lain yang berjalan mendekatinya.
“Konsen banget bacanya, sampe aku ga keliatan…”
Jantungnya tiba-tiba berdebar kuat kala mendengar satu baris kalimat dilantunkan oleh suara merdu yang teramat ia kenali. Dengan cepat ia mengangkat kepalanya, menutup buku tanpa memberinya tanda.
“K-kak Ei?” sepasang manik bambi itu membulat sempurna, menatap sosok Eijaz Javas Arsalan yang kini berdiri dengan senyuman paling indah di hadapannya.
“Hai? Aku Eijaz- orang yang lagi kangen pacarnya makanya sampe nyusulin kesini.”
Ghaffar melompat dari posisinya, terlalu terkejut untuk sekedar mengeluarkan suara. Dua bilah bibirnya tak mampu mengatup, terkesima dengan apa yang dilihatnya saat ini.
“Udah dong kagetnya, masa aku didiemin gini…”
Ghaffar menggeleng pelan, berusaha menyadarkan diri dari lamunannya, “Kak? Astaga ini beneran aku ngga lagi mimpi?”
“Mimpi apaan siang bolong begini, Ghaf? Kamu tuh ada-ada aja!” EIjaz tertawa ringan di hadapannya, menutupi sebagian wajahnya dengan telapak tangannya yang mungil.
“Ih, ngga gitu, Kak. Aku tuh sebelum ketiduran sempat ngebatin that it’ll be nice if you’re here, that’s why… Ini mimpi deh pasti!” ujar Ghaffar yang kemudian mencubit tangannya sendiri, “Ah! Sakit!”
“Karna ini bukan mimpi, sayang. I’ll make you really sure that this isn’t dream,” Eijaz kemudian mengintip ke arah pintu belakang rumah itu, memastikan bahwa keduanya tak memiliki penonton saat ini. Lelaki mungil itu kemudian maju selangkah, berjinjit dan menyapukan bibirnya pada permukaan bibir Ghaffar- mencium pelan labium tipis milik lelakinya yang nyaris dua pekan tak disentuhnya.
“I miss you real bad, Ghaf. Look what you’ve done to me, I flew for hours just to kiss you…”
Eijaz kemudian menarik tangannya dari belakang tubuhnya, mengeluarkan satu ikat bunga matahari segar yang ia bawa khusus untuk Ghaffar, “The day is finally come- when I can repay the endless happiness you gave to me with this.” ucap Eijaz sambil menatap hangat kelopak bunga matahari yang indah itu, kemudian menyodorkannya pada Ghaffar yang masih tak bersuara, “Here’s a little gift for my strongest person; the sunflowers and your sunflower; me.”