Sweet Creature

raine.
6 min readJun 24, 2022

--

Eijaz tak henti-hentinya mengutuki diri dalam hati kala teringat bahwa ia tak menyebutkan waktu temu pada secarik kertas yang ia selipkan pada buku yang Ghaffar baca tempo hari. Alhasil, ia sendiri-lah yang harus berinisiatif datang lebih awal di tempat yang dijanjikan. Eijaz yang telah dengan rapi memarkirkan mobilnya di depan toko buku itu kemudian berjalan ke sisi kanan toko buku di mana taman yang ia maksud berada. Taman kecil itu cantik, tak terlalu penuh dengan bunga, namun terlihat dengan jelas bahwa sang pemilik betul-betul merawatnya. Eijaz yang selalu datang saat malam hari tak pernah sempat merasakan damainya duduk membaca buku di sana dengan terpaan angin sore yang meringankan kepalanya. Ia pun baru kali ini berkunjung saat matahari sore masih tersenyum menyapanya. Sungguh, cuaca hari itu indah sekali, seolah mendukung hal yang akan dilakukannya.

“Dia dateng ga ya?”

Entah berapa kali pertanyaan itu berputar di kepala Eijaz. Wajar saja karena ia sendiri tak pernah melakukan hal yang mungkin aneh di mata orang lain; mengajak seseorang bertemu dan berkenalan lewat secarik kertas. Ia tak berpikir jauh waktu itu, yang ia pikirkan hanyalah bagaimana cara ia mendapat kesempatan untuk mengenal lelaki misterius yang memiliki hobi sama dengannya.

“Sumpah ya, Eijaz. Kalo sampe dia ga dateng, gue ketawain lo.”

Batinnya yang tak tenang terus-terusan mengucapkan kalimat tak penting. Eijaz hanya sedang gugup. Menurutnya ia sudah duduk di sana selama berjam-jam kala faktanya ia baru berada di sana kurang dari tiga puluh menit. Ia dengan gelisah kembali menengok ke arah jam tangan di tangan kirinya, kemudian beranjak berdiri untuk berjalan masuk ke dalam toko buku, berniat untuk mengambil sebotol minuman untuk meredakan kegelisahannya.

Sang pemilik toko yang sudah tak asing dengan wajahnya itu menyapanya dengan senyuman ramah, “Halo! Hari ini datangnya lebih awal?”

Eijaz membalas senyuman pria tua itu kemudian menjawab, “Halo, iya hari ini lebih awal. Saya boleh ambil satu botol?” tanyanya sembari menunjuk botol minuman yang berada di atas rak tepat di belakang sang pemilik.

“Tentu.” Pria itu kemudian memberikan satu botol minuman kepada Eijaz.

“Terima kasih, Pak.” Eijaz meletakkan satu lembar uang di atas tumpukan buku, “Simpan aja kembaliannya, saya ke depan dulu.”

Belum sempat sang pemilik toko menjawab, Eijaz sudah dengan cepat berjalan keluar toko. Langkah kakinya kembali mengarah ke taman, sementara netranya mulai sibuk mencari presensi lain yang ditunggunya.

Ia memutuskan untuk duduk kembali di bangku taman yang disediakan di sana. Eijaz mengeluarkan ponselnya dari saku dan menyalakan kamera untuk memotret beberapa foto untuk ia simpan di arsip fotonya. Tempat itu terlewat cantik untuknya sendiri, maka ia memutuskan untuk menyimpan beberapa foto untuk kenang-kenangan yang mungkin akan membuatnya tersenyum suatu hari nanti.

Meski tengah fokus dengan hasil fotonya, telinga Eijaz mampu menangkap suara jejak kaki yang perlahan mendekat. Debaran jantungnya kian menguat saat ia merasakan ada sosok lain yang berdiri tak jauh dari sisinya. Dengan cepat ia melirik ke arah datangnya suara, mendapati sosok pria yang ditunggunya berdiri dengan pakaian serba hitam, lengkap dengan masker yang selalu menutupi wajah tampan itu. Eijaz dengan sigap berdiri, berhadapan langsung dengan lelaki yang tempo hari menerima ‘surat’ darinya.

“Hai, K-kak Ei.”

Jantung Eijaz nyaris berpindah tempat kala lelaki itu menyapanya setelah melepaskan masker dan hoodie yang menutupi kepalanya, sungguh, pendapat Eijaz soal betapa tampannya lelaki itu bertambah besar.

“S-saya yang terima s-surat Kakak kemaren.” Lelaki itu kemudian mengangkat satu tangannya, menawarkan diri untuk berjabat tangan dengan Eijaz, “S-saya Ghaffar, and I-I want to be friends with you, Kak Ei.”

“Lagi-lagi senyuman itu. You’re in a really big trouble, Eijaz Javas Arsalan.”

Eijaz dapat melihat tangan besar pria itu sedikit bergetar, mungkin saja karena gugup, pikirnya. Ia kemudian dengan cepat menyambut uluran tangan Ghaffar, “H-halo, Ghaffar! Sorry if I was too c-cringe yesterday, I-I just want to be f-friends with you.”

“Bohong banget, Eijaz. At this state, I might end up asking him to be my boyfriend instead…”

“Eh? N-no, it’s okay. It’s actually c-cute.” ucap Ghaffar pelan sambil menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

Eijaz tersenyum melihat Ghaffar yang salah tingkah, memperlihatkan kedua matanya yang membentuk sabit saat ia tersenyum lebar. Manis sekali. Ghaffar hanya tidak tahu bahwa lelaki mungil itu pun sebenarnya sedang menahan diri.

“Hmm, can I call you ‘Ghaf’?” tanya Eijaz padanya, “Gapapa kalo kamu ga nyaman.”

It’s okay, Kak. You can call me ‘Ghaf’.”

Senyuman Eijaz kian melebar setelah mendengar jawaban Ghaffar. Ia kemudian menggerakkan tautan tangan mereka dan memiringkan kepalanya, “So, Ghaf, we’re friends now?

Dengan senyuman yang sama manisnya Ghaffar menjawab, “Sure, Kak. We’re friends now.”

“Can’t believe that now I can make some friends. Moreover, this sweet creature is my friend now…” ucap Ghaffar dalam hatinya, sengaja tak ingin Eijaz tahu bahwa ia berjanji bahwa ia tak akan pernah melupakan hari ini- hari di mana ia dan Eijaz memutuskan untuk memulai kedekatan keduanya.

“Awalnya gue ga nyangka kalo ternyata ada yang hobinya sama kaya gue loh, Ghaf! Mana temen sama sepupu gue tuh bilang gue aneh cuma gara-gara suka baca buku…”

“Ngga aneh kok, Kak.”

“Iya kan? Emang dasar mereka aja pemikirannya masih primitif, masa hobi baca buku dibilang aneh. Padahal buku tuh bisa bikin happy, kan? Coba lo deh, Ghaf, seneng ga baca buku? Seneng kan pasti?”

Ghaffar tersenyum dan menjawab, “Iya, Kak. I’m happy with the books.

Eijaz dan Ghaffar menghabiskan waktu mereka dengan berbincang ringan tentang banyak hal. Anehnya, keduanya tak merasa canggung sama sekali seolah mereka sudah lama saling mengenal. Eijaz bahkan sudah langsung paham bahwa Ghaffar memang sedikit pendiam berdasarkan dari singkatnya jawaban Ghaffar saat menimpalinya. Namun Eijaz tak merasa risih, ia justru merasa senang karena lelaki itu memang tipe pendengar yang baik.

“Tuh kan! Emang deh ya sehati deh kita kalo soal beginian, ntar kapan-kapan boleh kok rekomenin gue buku bagus.”

Sure.

Eijaz tertawa kecil melihat Ghaffar yang kembali menjawabnya singkat. Ghaffar menyadari hal itu, ia kemudian dengan cepat menyesap minuman di depannya sebelum melanjutkan perbincangan mereka.

“Kak, I’m sorry if you’re not comfortable enough to talk with me just because I answered you shortly, but that’s me, in case you’re not good with it, don’t mind to remind me ya, Kak…” Ghaffar menjelaskan sikapnya pada Eijaz. Ia merasa sedikit takut bahwa Eijaz akan mundur dan memutuskan untuk tak lagi mau berteman dengannya.

No, Ghaf. It’s okay kok. Jujur malah gue seneng? Berasa didengerin. It feels nice…” Eijaz menepuk pundaknya, memastikan bahwa sikap Ghaffar tidak membuatnya tak nyaman, “Jangan ngerasa terbeban ya? Gue bukan tipe temen yang suka maksa orang kok, if you’re comfortable with it then go with it, toh gue ga ngerasa itu aneh kok.”

“Damn, he’s nice…” ucap Ghaffar dalam hatinya.

“I’ll always listen to you, Kak. Thank you.

Eijaz tersipu malu mendengar janji yang tiba-tiba Ghaffar ucapkan padanya, “Well, gue yang harusnya bilang makasih, seneng sekarang akhirnya ada yang mau dengerin ocehan gue…”

Lelaki yang lebih tua itu melirik ke arah jam tangannya, kemudian dengan cepat menghabiskan minumannya. Ghaffar yang melihat tingkahnya itu kemudian secara otomatis juga ikut melihat jam dan terkejut karena keduanya telah menghabiskan waktu selama empat jam hanya untuk berbincang.

“Ghaf! Ini udah malem, kebetulan rumah gue lumayan jauh dari sini, jadi hari ini kita cukupin aja gapapa ya?” Eijaz merasa tak nyaman karena harus berpamitan pada pria yang dengan cepat memberinya rasa tenang itu, “Next time we’ll spend more time, I guess?”

“Ngga apa-apa Kak, I understand. Rumah saya juga lumayan jauh dari sini, so until the next time…?

“Ah! Pinjem handphone lo, boleh?” tanya Eijaz padanya dengan sopan.

“Eh? B-boleh, Kak.”

Ghaffar kemudian menyerahkan ponselnya yang telah ia buka sandinya kepada Eijaz yang menunggu. Beberapa detik kemudian ia mendengar ponsel Eijaz berdering dan Eijaz dengan cepat mengembalikan ponselnya.

Sorry ya, Ghaf, gue lancang, tapi ga bakal ada ‘next time’ buat kita kalo kita ga tukaran nomor handphone.”

Ghaffar mengangguk mengerti maksud dari Eijaz, “Ah, iya juga, Kak…”

“Hehe, sorry ya?”

“It’s okay, Kak, you can stop saying sorry for now, we just met today but you said so many sorry…”

Eijaz tertawa mendengar ucapan Ghaffar yang tak disangka, membuat Ghaffar pun ikut tersenyum di hadapannya.

“Ghaf?”

“Iya, Kak?”

“Is it okay if I text you?” Eijaz bertanya dengan suara pelan karena merasa sedikit malu. Ia merasa tak pernah se-agresif ini sebelumnya.

“Iya, boleh.” jawab Ghaffar dengan senyuman yang tak luntur sedari tadi, “Then I’ll wait for the text from you, Kak, Ei…”

--

--

No responses yet