The Haunting Memory

raine.
13 min readSep 4, 2022

--

[trigger warning: physical attack, harsh words, bullying, homophobic, past trauma, suicide, minor character death]

Setelah menghabiskan waktu untuk saling memanjatkan doa untuk Mason, Eijaz dan Ghaffar kini merasa lebih baik dari sebelumnya. Meski tubuh keduanya masih sesekali terisak, setidaknya rasa lega itu sedikit membantu meringankan beban batin yang mengisi relung hati kedua anak adam itu. Ghaffar berjalan mendekati Eijaz yang masih berdiri menatap laut yang membentang indah di hadapannya. Ghaffar masih memberinya waktu untuk mencerna, karena ia tahu semuanya tak terduga bagi Eijaz yang tak tahu apa-apa.

Eijaz kemudian memalingkan wajahnya ke kanan, menyadari bahwa Ghaffar berdiri hanya beberapa langkah dari posisinya. Ghaffar yang menangkap sinyal itu kemudian mendekat, membawa kedua tangannya untuk melingkar sempurna pada tubuh Eijaz. Rasa hangat yang selalu keduanya rindukan, kali ini terasa amat berarti dari sebelumnya.

Ghaffar mendaratkan wajahnya pada pundak Eijaz, menyesap aroma manis yang menguar dari sisi leher sang kekasih yang ikut menenangkannya. Eijaz kemudian membawa tangan kanannya untuk menangkup wajah Ghaffar, mengusap pipi lelaki itu dengan ibu jarinya.

“Strongest baby, you’re my strongest baby, Ghaffar…” klaim Eijaz dalam batinnya.

Tanpa bersuara, ia membalikan tubuhnya untuk menghadap Ghaffar. Kedua telapak tangan mungilnya kini menangkup wajah Ghaffar dengan sempurna, menghapus jejak air mata yang mengering di pipi Ghaffar. Ia kemudian berjinjit, mengecup pelan bibir tipis sang kekasih dengan lama, membiarkan Ghaffar tenang dalam sentuhannya. Kedua mata Ghaffar terpejam, menikmati bagaimana Eijaz berusaha menyembuhkan lukanya dengan magis yang selalu ada di dalam dirinya.

“I love you so much, Ghaffar…” bisik Eijaz di tengah ciuman keduanya, seolah sengaja ingin memberi tahu bahwa tak akan ada yang berubah darinya.

Ghaffar tak menjawab, ia hanya mengukir satu senyuman kecil yang dapat dilihat Eijaz sesaat sebelum bibir tipis itu kembali menciumnya penuh rasa.

Hangat sekali.

Keduanya menikmati saat-saat berharga seperti ini tanpa berpikir banyak. Eijaz hanya ingin berusaha membantu Ghaffar sedikit pulih dari rasa sakit yang menghantui bertahun lamanya. Pelukan keduanya mengerat, tak ada sedikitpun niat untuk memberi ruang di antara mereka sendiri. Terhanyut dalam suasana indah di sana, Ghaffar dan Eijaz mengukir satu kenangan indah di tempat yang memiliki kenangan buruk di hidup Ghaffar.

Berjalan berdampingan dengan kedua tangan yang saling bertaut, hal sederhana yang Eijaz pikir tak akan pernah ia dapati di hidupnya. Menghabiskan waktu dengan sosok yang dicintainya dengan bebas seperti ini merupakan satu hal indah yang tak mudah ia dapatkan. Ia merasa sangat beruntung memiliki Ghaffar yang juga tak suka berada di keramaian, hingga ia dapat memiliki waktu bebas dan mengukir kenangan berharga di saat yang bersamaan.

Now I'm feeling at ease that I finally can introduce Mason to you, Kak…”

“Makasih udah mau ngenalin Mason ke aku ya, sayang…” ucap Eijaz pada Ghaffar, “Kalo ngeliat kamu sama Stefan, I’m pretty sure that he’s a very handsome man…

He’s the most handsome, Kak. Kayanya kalo Mason di sini, Kakak bakal naksir sama dia.”

Eijaz terkekeh geli mendengar penuturan Ghaffar yang jujur. Ia kemudian menghembuskan nafasnya perlahan, mencoba menenangkan dirinya lagi sebelum kembali melanjutkan obrolannya, “I wonder if Mason loves me…”

“He’ll love you, I’m sure of it.”

“Masa si — ” Eijaz tak berhasil menyelesaikan kalimatnya kala ada suara lain yang menyambarnya.

“Yakin amat, Ghaf?”

Ghaffar tersentak kaget, kemudian dengan cepat berbalik arah mengikuti sumber suara dan mendapati sosok yang membuat hidupnya berantakan ada di sana- berdiri beberapa meter darinya. Eijaz kemudian ikut berbalik, matanya mengikuti arah ke mana mata Ghaffar tertuju.

Benhard Chandra, sumber dan penyebab dari semua rasa takut yang dialami Ghaffar.

Eijaz mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Ghaffar, menguatkannya agar Ghaffar tak mudah digoyahkan oleh Benhard.

“Yakin amat lo si Mason bakal happy sama hubungan lo? Gue kalo jadi Mason mah gak bakal, soalnya gak ada jaminan kalo lo bakal jagain cowok lo- toh lo aja gak bisa jagain Mason.”

Eijaz meringis pelan kala merasa Ghaffar menggenggam tangannya terlalu kuat. Ia menoleh, melihat bagaimana Ghaffar berusaha keras untuk menahan emosinya yang kini meluap.

“Keep my brother’s name from your fucking mouth.” Ghaffar memperingatinya.

“Kenapa? Takut?” Ben menantangnya, mengejeknya dengan raut muka yang membuat Eijaz ikut emosi, “Takut kalo nasib lo bakal sama kaya Mason?”

“I warned you.”

“Apa? Gak denger gue.” ejek Benhard padanya. Lelaki dengan lengan penuh tattoo itu tertawa melihat bagaimana Ghaffar menahan luapan emosinya, “Gue denger-denger, sekarang lo jadi petinju. Ngapain anjir? Jaman Mason masih hidup aja gak lo belain, sekarang malah jad — ”

Satu tamparan keras berhasil Eijaz layangkan tepat di wajah Benhard. Siapapun yang berada di sana mungkin dapat mendengar bunyi nyaring kala telapak tangan Eijaz menyentuh pipi Benhard dengan keras. Tubuh lelaki itu tersentak kaget hingga mundur beberapa langkah dari posisinya, tak menduga bahwa Eijaz dapat dengan cepat menyerangnya.

“Sekali lagi gue denger suara lo, gue yang bakal ngehabisin lo.” ancam Eijaz padanya.

Ghaffar yang masih mencerna situasi kemudian dengan cepat menguasai diri, berjalan ke arah Eijaz dan menarik tubuh sang kekasih untuk berlindung di belakangnya.

“Anjing juga lo! Sini lo bangsat!”

Belum sempat tangan Benhard meraihnya, tubuh lelaki itu kini tersungkur di tanah setelah mendapati pukulan keras dari Ghaffar. Benhard berteriak kesakitan. Ghaffar menyeringai tipis karena tahu ia menyerang Benhard tepat pada titik yang melemahkannya.

You’re not more than a bunch of garbage, Ben. Harusnya Mason yang masih di sini, bukan lo.”

“Oh, sekarang udah berani lo sama gue? Mentang-mentang udah jadi petinju?” Benhard meludah ke sembarang arah, mengeluarkan darah yang berkumpul di dalam mulutnya akibat tamparan Eijaz tadi, “Dan lo, jangan pikir mentang-mentang lo artis gue gak berani sama lo ya, sini lo! Jangan mentang-mentang cowok lo petinju jadi pengecut. Petinju kayak Ghaffar gak ada gunanya, liat aja tuh dia biarin adeknya mati, hahaha!

Belum sempat Ghaffar juga Eijaz menghajarnya, tubuh Benhard kini sudah kembali tersungkur ke tanah. Entah sudah berapa tinjuan yang diterimanya, namun kali ini Stefan-lah yang menghajarnya, “Sekali lagi lo sebut nama Mason, bener-bener gue bikin lo gak bakal hirup udara bebas lagi.”

Stefan kembali melayangkan tinjunya pada tubuh Benhard, “What Mason felt was more than this, Benhard. He was just a teenager, but you made him fly to Heaven too soon…”

Tak hanya Stefan, Vito yang juga berada di sana pun ikut andil untuk melampiaskan emosinya pada Benhard. Eijaz yang melihat pemandangan itu kemudian menutup kedua matanya, merasa ngeri karena ia pun tak bisa melihat kekerasan. Ghaffar yang peka terhadap itu kemudian dengan cepat membalikkan badannya, membawa kepala Eijaz bersandar di dalam pelukannya.

Stop it, Abang, Vito! Don’t ever lay your hands on the dirt.” pekik Ghaffar dari belakang mereka. Ghaffar bukannya tak ingin ikut menghajarnya, namun ia tahu itu semua percuma karena bagaimana pun kerasnya pukulan mereka, Mason tetap tak akan kembali.

Ghaffar memalingkan wajahnya ke arah Vito, Stefan, juga Benhard yang sedang terbatuk-batuk di sana. Melihat bagaimana seringaian Benhard kini berubah jadi ringisan, memohon ampun kepada kedua lelaki yang tak lelah melampiaskan emosi kepadanya. Tiga pria asing yang ikut bersama Stefan kini sibuk merangkul tubuh Benhard yang terkulai lemas, membawa Benhard masuk ke dalam mobil van yang diduga Ghaffar akan menuju rumah sakit.

Tak banyak bicara, Stefan dan Vito hanya mengangguk dan melambaikan tangan mereka ke arah Ghaffar, memberi privasi kepada sang adik dan Eijaz untuk menenangkan diri dari hal yang cukup mengejutkan semua pihak. Kedua pria itu langsung berjalan masuk ke dalam mobil sedan hitam milik Stefan dan melaju cepat menyusul mobil yang membawa Benhard di depan mereka.

Ghaffar Ozanich Kayana, dalam keadaan sakit pun ia mampu menenangkan Eijaz yang bergetar hebat di dalam pelukannya. Tubuh kecil kekasihnya itu kini sudah mulai tenang, seiring dengan bisikan yang tak henti Ghaffar lantunkan di telinganya untuk menenangkan Eijaz. Pelukannya di tubuh Ghaffar menguat seolah menyatakan bahwa ia pun ada untuk Ghaffar meski rasa sakit juga ada pada dirinya.

“Ghaf, tahan ya… Nanti kamu j-jangan ikut mukul dia lagi. You’re doing great until now…”

“I- I’m sorry that I let you laid your hands on him b-before…”

“Gapapa, aku emang mau. Kalo dikasih kesempatan buat mukul dia lagi pun aku tetep bakal mukul dia — lebih keras dari yang tadi bahkan.”

Eijaz kemudian menarik diri, mengangkat wajahnya untuk melihat kedua netra Ghaffar yang sembab, “I’ll do my best to help you, and Mason too…”

Eijaz kini berada di rumah sakit yang terletak tak jauh dari pantai yang tadi dikunjunginya bersama Ghaffar. Stefan juga Vito ada di sana, sedang mendapatkan perawatan yang sama karena pukulan yang mereka lepaskan kepada Benhard. Ghaffar sedang sibuk entah kemana, mengurus administrasi tiga lelaki yang kini sedang diobati.

“Ghaffar kemana, Stef? Dia tadi juga mukul Ben, kayanya tangan dia juga harus diperiksa…” ucap Eijaz pada Stefan yang duduk di seberangnya, “Gue ga mau liat dia sedih ga bisa ikut match gara-gara cedera lagi- apalagi kali ini karena ngelindungin gue…”

Vito yang mendengar Eijaz pun akhirnya bersuara sebelum Stefan menjawabnya, “Bentar gue yang nyusulin, lo di sini aja Jaz.”

“Suruh periksa juga ya, Vit. Kalo dia nolak bilangin gue yang minta.”

Vito mengangkat satu ibu jarinya dan mengacungkannya pada Eijaz, “Sip, gue tinggal bentar ya!”

Suara ringisan pelan dari Stefan terdengar oleh Eijaz kala tangannya yang terluka disentuh kapas yang sudah dibaluri obat oleh perawat di hadapannya. Eijaz menatap Stefan tanpa suara, memandangi sosok kakak dari kekasihnya itu dalam diamnya. Meski banyak pertanyaan yang berputar di kepalanya, ia tetap memutuskan diam dan menunggu Stefan selesai diobati. Perban yang kini membalut telapak tangannya itu membuatnya berpikir jauh, betapa beraninya ia bertindak seperti tadi. Emosinya yang ikut membuncah kala Benhard terus-terusan menyulut Ghaffar yang menahan diri pada akhirnya tak lagi dapat ia tahan. Tanpa pikir panjang, ia bergerak maju dan menampar keras pipi Benhard yang justru semakin membuat pria itu meradang.

Namun Eijaz jujur dengan apa yang dikatakannya pada Ghaffar, bahwa jika ia diberi kesempatan pun ia akan tetap melakukan hal yang sama.

Eijaz kini mulai menyusun potongan peristiwa yang selama ini tak ia ketahui tentang Ghaffar. Tentang bagaimana seorang lelaki muda yang menghabiskan masa-masa di hidupnya tanpa banyak orang yang mengelilinginya. Tentang bagaimana Ghaffar memutuskan untuk mengisolasi diri dari kehidupan sosial yang dinikmati penuh oleh anak seusianya. Ghaffar menyimpan rasa sakit yang tak pernah Eijaz duga sebelumnya. Kehilangan memang tak pernah menjadi hal yang mudah dan Eijaz paham meski ia tak dapat merasakan sakit yang sama.

Benhard adalah satu bagian kelam dari masa lalu Ghaffar. Satu alasan kuat mengapa Ghaffar memilih untuk memendam segala rasa sakitnya seorang diri selama bertahun-tahun lamanya. Eijaz menyocokkan segala kemungkinan yang ada di dalam kepalanya, hingga tubuhnya tersentak kaget kala Stefan menyentuh pundaknya- membangunkan Eijaz dari lamunannya.

“Lo kenapa, Jaz? Masih shock ya?” tanya Stefan pada Eijaz, “Gue ambilin minum dulu.”

“Eh? Sorry, gue ngelamun ya? Maaf…”

“Lo yakin lo gapapa? Mumpung masih di rumah sakit, mending sekalian periksa lagi, Jaz.”

No, I’m good. Gue cuma mau mastiin Ghaffar baik-baik aja…” Eijaz kemudian menolehkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, “Ghaffar belum keliatan, Vito bisa nemuin dia ga ya, Stef? Handphone gue ketinggalan di mobil kayanya…”

He’s okay, kata Vito dia nurut kata lo kok. Lagi periksa ke spesialis, tunggu di sini aja ya?”

Eijaz menghembuskan nafasnya pelan, merasa sedikit lega setelah mendengar informasi dari Stefan. Ia kemudian memejamkan kedua matanya, merasa sedikit pusing karena semua terjadi begitu cepat hingga kepalanya merasa tak mampu untuk menampung segalanya.

“Jaz?”

“Hm?”

“Makasih ya udah dampingin adek gue sampe sekarang, gue sebenernya gak expect kalo lo bakal betah sama dia. Tapi ngeliat gimana hari ini lo yang bahkan gak pernah marah, terus nyerang Ben duluan rasanya gue nitipin Ghaffar ke orang yang tepat…” Stefan tersenyum tipis kepada Eijaz yang menatapnya tanpa ekspresi, “Gue tau lo sayang banget sama Ghaffar, dan gue bener-bener berterima kasih atas effort lo buat dia. Dan, kayanya hari ini Ghaffar udah buka diri ya, Jaz?”

Belum sempat Eijaz membuka bibirnya untuk menjawab, Stefan kembali melanjutkan kalimatnya, “From what I found before, kayanya Ghaffar udah ngenalin Mason ke lo…”

“I-iya, Stef…”

Stefan tersenyum getir, menundukkan wajahnya dan meraih ponsel miliknya yang terletak di atas nakas. Ia kemudian mengusap layar ponselnya dengan senyuman yang mengembang tipis di wajahnya, “Ini gue, Ghaffar, sama our little star, Mason…”

Tubuh Eijaz bergerak maju ke arah Stefan yang menyodorkan ponselnya ke arah Eijaz. Layarnya menunjukkan foto tiga anak laki-laki remaja yang sedang tertawa bersama sambil memegang benda favorit masing-masing. Stefan dengan gitar kayunya, Ghaffar dengan bola basketnya, juga yang terkecil sedang memeluk boneka bantal berbentuk bintang. Senyum Eijaz mengembang, air matanya kembali berkumpul di pelupuk matanya dan jatuh membasahi layar ponsel Stefan.

Just like how Ghaffar described him to me, Mason memang cakep…”

“Iya, Jaz. Mason was always the most popular one, the brightest soul- but he hid his fears from us all…

“Mason pendiem kaya Ghaffar ya, Stef?” tanya Eijaz, namun ia dengan cepat menutup mulutnya dengan satu tangannya yang tak terluka, “Eh, maaf gue kelepasan nanya…”

“Gapapa, Jaz. Gue rasa udah waktunya juga semua pertanyaan di kepala lo itu lo keluarin,” bibir tipis Stefan membentuk satu senyuman hangat yang ia tujukan pada Eijaz yang sedikit panik, “Sebenernya enggak, Mason was a social butterfly, kaya yang gue bilang, dia paling populer dari kami bertiga. Usia dia sama Ghaffar cuma beda setahun- he’s the youngest.

“Tapi dia tertutup, kaya Ghaffar?”

“Justru Ghaffar jadi tertutup begitu salah satunya karena Mason, Jaz…”

Eijaz dapat merasakan atmosfer di sana berubah sendu kembali. Raut wajah Stefan tak bisa ia baca, namun ia dapat merasakan rasa sakit yang tak divokalkan Stefan padanya, “Lo udah bisa connect the dots? Tentang gue, Ghaffar, Mason, dan Ben?”

“Eh- g-gue ga tau apa ini bener apa enggak, t-tapi berdasarkan dari apa yang gue tau dari informan gue, Ben dulu pernah di-drop out dari sekolah karena nge-bully. And I found out that Ghaffar sama Ben itu satu sekolah, jadi — ” Eijaz memberi jeda panjang pada kalimatnya, menatap resah ke arah Stefan yang menunggunya, “J-jadi gue pikir Ben pernah nge-bully Ghaffar…”

Stefan menganggukkan kepalanya tanpa suara. Ia kemudian mengambil sebotol air putih yang baru saja diletakkan perawat di atas nakas dan meneguknya hingga nyaris habis, menarik nafas panjang dan menghelanya perlahan. Stefan mengangkat wajahnya, menatap Eijaz sembari memilih kata di dalam kepalanya.

“Yang diserang Benhard waktu itu bukan Ghaffar, tapi Mason…”

Eijaz membutuhkan waktu untuk mencerna dan menata kembali potongan-potongan kecil fakta di kepalanya. Ia menelan ludahnya dengan susah payah, mengepalkan tangannya sendiri untuk menenangkan dirinya yang tiba-tiba merasa panik.

“Kalo dari yang barusan lo akui soal Ben yang pernah kena DO, gue rasa juga lo tau kalo dia pernah ketinggalan kelas kan? Benhard was Ghaffar’s classmate before, dan karena nilainya jelek, dia tinggal kelas dan pada akhirnya sekelas sama Mason. And that was where the nightmare began…

“Stef, jangan ya kalo lo ga kuat…”

I won’t tell you the details though, lo tenang aja.” Stefan kemudian menegakkan tubuhnya, kembali mengeluarkan helaan nafas panjang seolah menggambarkan bahwa hal yang dibicarakannya ini memang betul bukan hal yang dapat dianggap sepele.

“Mason pura-pura kalo semuanya dalam keadaan baik, selalu berhasil nutupin semua perlakuan gak pantes yang dia dapatin dari Ben selama di sekolah juga di luar sekolah. Kami bener-bener gak ada yang kepikiran sampe ke sana, Jaz, karna yang kita tau Mason memang selalu ceria dan hangat. Bahkan Ghaffar yang deket banget sama Mason pun gak notice apapun — dan hal itu yang bikin Ghaffar masih ngerasa bersalah sampe hari ini…” Stefan membawa kedua tangannya ke atas pahanya, mengelus pelan permukaan pahanya sendiri karena tiba-tiba rasa dingin menusuk rusuknya, “Ghaffar berubah karena itu…”

But it wasn’t his fault too, Stef? Ghaffar ga notice bukan berarti dia ga peduli kan? Memang Mason sendiri yang milih untuk ga cerita, terus kenapa Ghaffar yang ngerasa bersalah? Bukan gara-gara Ghaffar kan?”

“Gue kalo cuma tau ceritanya sampe di situ juga bakal bereaksi sama kaya lo sekarang,” tutur Stefan datar, tanpa ekspresi apapun ke arah Eijaz, “Lo lupa fakta kalo Mason udah gak ada di sini, Jaz?”

Nafas Eijaz tercekat, membuat seluruh suaranya tak mampu keluar dari mulutnya, “E-eh…”

Eijaz dapat melihat tubuh Stefan bergetar hebat di hadapannya, berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang dan melanjutkan cerita paling menyakitkan yang pernah ia alami seumur hidupnya.

“S-Stef…”

“Mason ended his life… r-right in front of G-Ghaffar, Jaz…”

Kini terjawab sudah semua teka-teki yang berputar di kepala Eijaz. Satu fakta yang tak pernah terlintas sedikitpun di benaknya bahwa hal semenyakitkan itu dialami langsung oleh Ghaffar, kekasihnya yang malang. Menyaksikan sosok terkasih pergi tepat di hadapannya tentu bukan hal yang mudah. Rasa sakit itu mungkin tak akan pernah pergi dari hidupnya sampai kapanpun.

Tubuh Eijaz membeku di tempatnya, tak mampu berbicara sepatah katapun. Ia bahkan tak menyadari bahwa air matanya jatuh begitu deras mengaliri pipinya. Tubuhnya ikut bergetar, membayangkan bagaimana Ghaffar menghadapi mimpi terburuk selama bertahun-tahun.

Mason was a very proud gay back then- and Ben was a homophobic. Gue sama Ghaffar tau Mason dari awal karena dia sendiri memang ngaku kalo he was into boys. Tapi nyatanya gak semua orang bisa nerima itu, Jaz. Gue bahkan gak bisa bayangin gimana sakitnya Mason di-bully habis-habisan tanpa ada yang tau selama di sekolah — and he was being all smiley when he’s home… Semua gak ada yang ngira hal kayak gitu terjadi sama Mason karena anak itu dengan hebatnya nutupin luka. He acted like everything was fine, until that day came, w-when he decided to e-ended his life, di hadapan Ghaffar…”

Air mata Eijaz tak mereda sedikitpun. Ia justru membiarkannya jatuh seiring dengan tiap kalimat yang keluar dari bilah bibir Stefan tentang kenangan buruk yang menggerayangi Ghaffar selama ini. Rasa sakit yang diderita sang kekasih mungkin tak akan bisa ia kira seberapa menyakitkan, namun Eijaz paham. Ghaffar ternyata cukup kuat untuk mencoba kuat dalam menjalani hari-harinya meski selalu dihantui sesuatu yang ia harap hanya mimpi buruk di tidur malamnya.

Namun sayangnya tidak, semua itu nyata, bukan mimpi.

“Dan sejak itu Ghaffar ikut ngubur diri, Jaz. Dia selalu berusaha senyum karena gak pernah mau ngeliat gue sama orang tua kami khawatir, tapi gak jarang gue denger dia nangis sendirian di kamarnya…”

Stefan pun kini tak mampu menahan laju air matanya yang ikut tumpah karena menceritakan kisah pahit itu kembali setelah sekian lama ia coba tutupi, “Sekarang lo bisa nyimpulin sendiri kan, kenapa Ghaffar jadi ansos, kenapa orang di usia Ghaffar lebih milih untuk nangis sendiri ketimbang ketawa sama orang lain? Tentang kenapa gue protektif sama Ghaffar? Karna dia nyaksiin itu semua dengan matanya, sendirian. Dia orang terakhir yang ngeliat Mason ketawa, ngeliat Mason senyum sebelum semuanya diambil Tuhan sebegitu cepatnya. Sakit yang gue alami gak seberapa dibanding dengan sakitnya Ghaffar. Ngebayanginnya aja gue bisa gila sendiri, gimana kalo ngalamin sendiri?”

“Ghaffar cuma berusaha mati-matian untuk terlihat kuat, Jaz, padahal dia yang paling butuh pertolongan… Jadi, gue harap lo bisa bantu gue untuk bikin dia percaya, bikin dia yakin kalo Mason gak pernah menyalahkan dia atas apa yang udah terjadi…”

“G-gue janji, Stef…” ucap Eijas di tengah isak tangisnya yang belum mereda. Dengan tubuh yang masih bergetar Eijaz memantapkan tekadnya untuk membantu Ghaffar.

“He deserves all the good things in the world. And if I can sacrifice myself to make him happy again- I’ll do it right away. Anything for him, Stef. You know how I love Ghaffar, right? Anything, I’ll do anything to bring his warm smiles back to me, to us all…” janji Eijaz di hadapan Stefan. Kedua lelaki itu kini saling memeluk, mengusap pelan punggung satu sama lain, berusaha saling menguatkan karena Ghaffar-lah yang sedang butuh kekuatan luar biasa untuk pulih dari lukanya.

Dan Eijaz pun bersungguh-sungguh dengan janjinya; bahwa ia akan melakukan apapun demi melihat senyuman hangat terus bersemayam di wajah tampan pria dengan hati paling lembut yang pernah ia temui di sepanjang hidupnya; Ghaffar Ozanich Kayana.

--

--

No responses yet