“Ian!” panggil suara yang presensi pemiliknya ditunggu lelaki tampan yang kini duduk di sebuah kursi yang terletak tak jauh dari lapangan basket itu.
Senyuman hangat muncul di wajahnya kala dua manik bambinya menemukan Isa tengah berlari kecil ke arahnya berada. Ian pun sontak berdiri, bergerak maju tanpa dorongan untuk menyambut Isa dengan dua tangannya yang sudah siap menangkap Isa kalau-kalau kakak tingkatnya itu nyaris terjatuh.
“Kenapa lari-lari, Kak? Kan udah dibilang tadi jangan lari?”
“Gapapa, takut kelamaan kamu nunggunya,” jawab Isa sambil mengatur nafasnya, “Udah lama ya?”
“Ngga kok, baru aja ke sini abis dari dalem.” Ian berbohong sedikit, karena sebenarnya sejak Isa mengatakan ia akan menyusulinya, Ian sudah bergegas keluar dari locker room dengan menyampirkan tas punggungnya, berlari cepat ke lapangan dan memutuskan menunggu Isa di sana, dan itu sudah lebih dari sepuluh menit berlalu.
Ian lalu menyodorkan sebotol air mineral kepada Isa sambil mengurai senyum, “Duduk dulu, Kak.”
Isa mengulum senyum, entah mengapa merasa tersipu dengan perlakuan hangat Ian yang terasa tulus padanya. Ia lalu mengikuti ucapan Ian, menempatkan diri dengan nyaman di sebelah Ian dengan tangan mungilnya yang menggenggam botol minuman, “Makasih, Ian.”
“Iya, sama-sama, Kak Isa.”
Detik yang berlalu dalam diam itu terasa bagaikan jam. Hening itu menyiksa, namun tak satupun dari mereka berusaha mengeluarkan sabda entah mengapa. Atmosfer yang tadinya biasa saja pun terasa berat, terlebih untuk Ian yang memang menyimpan rasa pada sosok Isa. Ia takut untuk memulai, namun juga tak nyaman untuk tetap diam.
Ian berdehem, menegakkan tubuhnya hingga tanpa sadar membuat Isa menolehkan wajah, memperhatikan gerak-geriknya.
“Capek ya?” tanya Isa lembut, dan Ian pun salah tingkah, “Sorry ya, Ian. I accidentally made them badmouthing about you and I…”
Isa menjadi yang pertama membuka topik pembicaraan mereka. Ian dapat merasakan dengan jelas bahwa lelaki itu merasa tak nyaman dengan situasi aneh yang tak pernah mereka duga, dan hatinya ikut merasakan hal yang sama.
“Harusnya aku yang minta maaf, Kak. Kakak ngga pernah dapat omongan jahat sebelum kenal aku, kan?”
“Ga gitu, Ian…”
“But it was the truth though,” Ian tersenyum, “Kak Isa ngga pernah jadi bahan perbincangan kaya gitu sebelum aku masuk. Aku juga ngga pernah ada niat jelek, and I don’t even believe the shits they said about your intentions to me. Dan kalaupun iya, aku ngga ngerasa keberatan? I got myself a friend.”
“Maksud kamu?”
Ian lalu menarik nafas dan menghembuskannya perlahan sebelum melanjutkan obrolan mereka, memposisikan dirinya agar sedikit menghadap Isa di sebelahnya, “Mereka yang bikin keributan itu salah satunya sekelas sama aku, Kak. Tiga orang lainnya kelas sebelah. Aku ngga tau kalo hal sepele kaya gini bakal jadi bahan gosip buat mereka yang bahkan ngga akrab sama aku. This is why I hate when people start to pay attention for something that useless for them.”
“I’m sorry, Ian…”
“Kak Isa ngga salah apa-apa, Kak. Stop minta maaf, please?”
Isa kembali mengulum senyum kala mendapati Ian kini menatapnya dengan hangat meski sikapnya sedikit kikuk, lalu mengangguk mengiyakannya.
“Aku minta maafnya kalo nanti, habis ini, kita diomongin lagi.” ucap Isa sambil terkekeh ringan. Di saat itu Ian bersumpah, memang benar Isa terlampau sempurna- atau ia yang sudah jatuh terlalu dalam.
“Kalo nanti Kak Isa diomongin lagi, I’ll do the same thing to them as I did today.”
Bahu mungil Isa bergerak naik turun, seiring dengan gelak tawanya yang membuat netranya membentuk sabit indah yang kini tengah dipuja oleh Ian dalam batinnya, “I thought that you’re a quiet person? Tapi hari ini katanya orang-orang kamu galak banget?”
“I actually am,” jawab Ian, “But I can be noisy too. Someone really need to put them in their places, Kak. Kalo dibiarin, mereka bakal kesenengan ngomongin hal-hal yang bisa bikin orang lain rugi.”
“Oh, you’re a captain for a reason, huh?”
Ian memiringkan kepalanya dengan raut wajah yang sedikit terlihat bingung, “Korelasinya apa, Kak?”
“You can put them in their places easily, Ian. Banyak orang yang segan sama kamu.”
“Mungkin karena aku banyak diemnya, Kak.”
“Iya, terus hari ini kamu ngelihatin sisi kamu yang mungkin ga disangka orang-orang. Nanti fans kamu berkurang loh kalo galak, Ian?” Isa terkekeh, lalu tersedak gelak tawanya sendiri.
“Pelan-pelan, Kak.” Ian secara otomatis memajukan badannya, hendak mengulurkan tangan ke punggung Isa untuk membantu lelaki itu, namun ia mengurungkan niat kala Isa sudah dapat menguasai diri, “Ya ngga masalah? Toh aku juga ngga pernah expect bakal disukai orang kok.”
“Ada korelasinya sama kamu yang ga suka keramaian ya?” tanya Isa pelan, tak ingin menyinggung Ian, “Sorry if I got too far.”
Ian lalu menyunggingkan seulas senyum sembari memerhatikan jemarinya yang saling bertaut di atas pahanya, “Iya, mereka salah satu sebab kenapa aku ngga nyaman.”
Isa mengangguk mengerti, tak ingin bertanya lebih lanjut sebab ia juga tak ingin membuat Ian merasa tak nyaman di sekitarnya, “Kalo gitu aku ngga akan minta Ian buat nonton aku perform lagi deh.”
Ian mendongak, terkejut dengan pemberitahuan tiba-tiba dari Isa, “Loh? Kenapa gitu?”
“I can’t let you feel uncomfortable during the performance, Ian. Walaupun kemaren aku ga gitu merhatiin, cuma aku harap kamu ga ngerasa risih ya?” Isa menepuk pelan pundak Ian sebelum melanjutkan kalimatnya, “Sebagai gantinya, aku juga bakal lebih galak sama orang-orang yang rese.”
“Ngga perlu sampe kaya gitu, Kak…”
“Gapapa, aku juga ngerasa ga nyaman waktu mereka bilang aku deketin kamu karena ada maksud, terus dibilang genit karena baru putus udah langsung deketin kapten basket. Padahal niat aku emang mau temenan aja? Masa kaya gitu salah ya?” Isa menggelengkan kepalanya sembari tertawa kecil, “Orang tuh kadang terlalu sok tau, aku juga sebenernya males dikasih atensi yang ga berguna kaya gitu. Cuma kadang pengen aja aku kasih pelajaran biar kapok?”
“Kasih pelajaran?” tanya Ian dengan kedua alisnya yang bergerak naik, “Pelajaran gimana, Kak?”
“Gimana aja! Biar mereka kapok or makin panas sekalian,” Isa kembali menenggak minumannya hingga botol plastik itu kosong, “Anyway, makasih ya Ian buat yang tadi, makasih udah bikin mereka minta maaf ke aku. Thank you for defending me and yourself too.”
“Sama-sama, Kak.”
“Semoga kamu ga kapok ya temenan sama aku, hahaha!”
If I could be more than a friend, I’m willing to become your boyfriend right now, Kak Isa…
“Kak,” panggil Ian yang tampak ragu.
“Hm? Kenapa Ian?”
“Kakak pulang pake apa?”
“Mau nebeng Harvey sama Jovi sih ini, mereka masih di perpus tadi katanya. Kenapa?”
Ian diam sejenak, masih tampak ragu dengan apa yang tengah bergulat di dalam kepalanya. Isa mendapati lelaki itu terlihat lucu, namun Isa hanya mampu merasa gemas di dalam hatinya.
This not-so-little boy is killing me with his cuteness, I swear…
“Kak,” panggil Ian lagi.
“Iya, Ian? Kenapa?” Isa terkekeh melihat mata bulat Ian yangmembuat wajah tampannya terlihat bak anak kecil yang ingin ia bawa pulang, “Say it, ga usah ragu-ragu.”
“Tadi Kak Isa bilang mau kasih pelajaran ke mereka kan?”
“Iya, terus?”
“I have an idea,” ucap Ian pada Isa yang menunggu, “I’m sorry if this is so rude and please don’t get me wrong, tapi kalo Kakak pulang naik motor sama aku, mau ngga?”