The Moment When Our Eyes Met

raine.
10 min readAug 29, 2023

--

Ian memutuskan untuk menyusuli Jovi dan teman-temannya di cafetaria kampus yang sudah lama tak ia kunjungi. Bisa dibilang bahwa Ian lumayan jarang pergi ke tempat itu sebab ia sering kali memilih untuk membawa buah-buahan atau bekal yang sudah disiapkan ibunya untuk menunda rasa laparnya daripada menghabiskan waktu berjalan jauh ke cafetaria lalu sibuk bercanda dengan semua temannya di sana. Terlebih, Ian sering kali merasa tak cocok menu yang disajikan di sana, meski beberapa menu pernah menjadi favoritnya. Belum lagi dengan atensi yang selalu tertuju padanya di manapun kakinya melangkah, dan Ian sungguh tak kuasa untuk menghadapi hal itu.

Jovi yang dari kejauhan sudah melihat presensinya itu lalu melambaikan tangannya ke arah Ian yang sibuk mencari dengan kedua manik bambi indahnya. Tentu saja, dalam hitungan detik, ia kembali menjadi pusat perhatian nyaris seluruh pasang mata yang berada di sana kala Jovi meneriakkan namanya. Ian tak memungkiri fakta bahwa ia dapat mendengar dengan jelas bagaimana namanya disebut oleh banyak mulut yang berbicara di sana, membuktikan bahwa memang benar itu adalah sebuah pemandangan langka saat seorang Dylan Shankara menginjakkan kaki di cafetaria.

“Ian! Sini!” panggil Jovi pada Ian.

Panggilan itu hanya dijawab anggukan pelan oleh lelaki tampan yang dikenal pendiam itu. Ia tak berpikir tentang apapun, netranya juga tak berniat mencari presensi siapapun. Namun anehnya, di saat ia menolehkan wajah, netranya langsung bertaut dengan tatapan seorang Killian Isaac, lelaki yang mencuri perhatiannya sejak kali pertama keduanya bertukar sapa beberapa hari yang lalu.

Ian nyaris berhenti melangkah dan berdiri terpaku, tak menyangka bahwa ia akan melihat Isa di sana, namun ia dengan cepat sadar dan langsung melempar senyum ramah lalu menganggukkan kepalanya sopan kepada Isa yang membalas senyumannya di seberang sana kemudian lanjut berjalan ke meja tempat teman-temannya berada.

Damn, boy. You stole my sanity right away.

Ian memegangi dadanya yang tiba-tiba bergemuruh selagi kakinya melangkah menuju meja tempat Jovi dan teman-temannya berada, berusaha menetralkan laju debaran jantungnya yang tak karuan karena sumber dari ketidakwarasannya berada di ruangan yang sama dengannya.

What’s wrong with you, Ian?

Batinnya sibuk mengeluarkan tanya yang tak berani ia jawab sendiri.

“Kenapa lo?” tanya Jovi pada Ian.

“Ngga apa-apa, abis lari tadi.”

Bohong. Ian berbohong demi menutupi kebenaran bahwa jantungnya berdebar karena seorang Killian Isaac yang melemparkan senyuman paling manis untuknya tadi.

“Ngapain juga lo lari?”

“Ya ngga apa-ap — ”

“Hi!”

Belum sempat Ian menyelesaikan kalimatnya, suara lain yang berasal dari luar gerombolan teman-teman satu klub basketnya itu membuat Ian mengangkat kepalanya, mencari sumber suara yang ternyata dari sisi kanannya. Mulutnya terbuka, dengan mata bambi yang membesar karena terkejut dengan apa yang dipandang oleh matanya itu sungguh tak ia sangka.

Isa di sana.

“Gue gabung boleh ga, Jov? Males gue sendirian di situ.” izin Isa pada Jovi yang berada di seberang meja, “Boleh ya?”

“Bolehlah, Sa! Kaya sama siapa aja lo nanya begitu. Ntar juga Harvey ke sini.” jawab Jovi dengan riang, “Gabung aja sini, anak-anak malah seneng kalo lo gabung.”

Isa lalu tertawa kecil, menampilkan manik sabit yang muncul di saat senyumnya mengembang — indah sekali, “Oke kalo gitu, gue gabung ya, guys!

Ian masih terdiam di sana, bingung untuk bereaksi bagaimana ketika Isa kini berada di dekatnya. Isa yang menyadari Ian berada di sebelahnya itu lalu menundukkan tubuhnya, menoleh ke arah Ian dan tersenyum menyapanya.

“Halo, Ian?” sapa lelaki itu ramah, yang entah mengapa membuat nafas Ian tercekat, “Gue boleh duduk di sini ga?”

“Boleh,” jawab Ian dengan suaranya yang pelan, “Boleh, Kak. Silahkan.”

Ian dengan cepat menyingkirkan tas punggung yang ia letakkan di sana, menaruhnya di lantai, di antara kakinya, lalu kembali memberi isyarat kepada Isa untuk duduk di sana, “Sini Kak, duduk di sini.”

“Makasih ya!”

Isa lalu duduk tepat di sebelah kanan Ian yang mulai kembali bertingkah bak remaja yang baru bertemu dengan sosok yang disuka. Terpaku, dan cenderung salah tingkah. Ian sibuk mengatur isi kepalanya yang mendadak kosong, tak tahu harus berbuat apa dengan Isa yang kini duduk di sebelahnya.

“Lo gak pesen makan? Udah makan emangnya?” tanya Jovi pada Ian.

“Belum laper sih gue, kayanya ntar aja makannya.”

“Menunya kesukaan lo tuh, Ian! Ada sup jagung kesukaan lo sama garlic bread, tapi itu mah appetizer doang.”

“Ian suka sup jagung?” tanya Isa yang menolehkan wajahnya pada Ian.

“Iya, Kak.” jawab Ian malu-malu.

“Sama dong! Gue juga suka banget! Apalagi di sini tuh sup jagungnya enak banget.” seru Isa terdengar antusias, “Mau ga, Ian? Kalo mau biar gue ambilin sekalian?”

Eh? Ngga usah, Kak. Ntar ambil sendiri aja.” cegah Ian yang terlihat sedikit panik kala melihat Isa hendak beranjak dari duduknya untuk mengambil makanan yang dimaksud.

“Santai aja, Ian. Kan kita semeja juga, jadi biar ringkes gue ambilin sekalian kalo lo mau?”

“Mending Kak Isa aja yang tunggu di sini, biar saya yang ambil.”

Ian lalu beranjak dari posisinya, dengan bergegas berjalan menuju appetizer station yang dimaksud. Ia mengambil dua buah mangkuk juga sendok untuk ia letakkan di atas baki kayu yang sudah terlebih dahulu ia ambil, lalu menuangkan dua porsi sup jagung yang sudah menyulut nafsu makannya, untuk ia dan Isa. Ian tak menyadari raut wajahnya sendiri yang mungkin terlihat lucu juga mencurigakan bagi siapapun yang melihatnya, maka dari itu Isa yang menyusul tiba-tiba itu berkesempatan untuk menggodanya.

“Ian suka banget ya sama sup jagung, sampe ngelihatinnya aja senyum-senyum?”

Eh? Kak? Kok ke sini? Ini biar saya aja yang ambilin, Kak Isa duduk aja ngga apa-apa?”

“Males sendirian, barusan si Jovi sama yang lain barusan dipanggil sama manager kalian, jadi gue ditinggal sendiri,” jawab Isa jujur, “Terus mereka bilang lo harus makan dulu sebentar, baru nyusul mereka. Jadi gue temenin deh, sekalian gue nungguin Harvey juga, gapapa kan, Ian?”

Punya kuasa apa seorang Dylan Shankara menolak lelaki itu?

Jika saja ia bisa bersorak, ia mungkin sudah meneriakkannya di hadapan Isa. Namun Ian masih cukup waras untuk tak bertindak gila di sana, sebab ia berdiam diri saja sudah menjadi pusat perhatian.

“Boleh, Kak. Ngga apa-apa kalo memang Kak Isa juga belum makan. Kak Harvey ke mana memangnya?”

“Lagi ke parkiran ngambil baju ganti di mobil gue,” Isa mengambil dua potong garlic bread, lalu bertanya pada Ian, “Lo mau garlic bread-nya satu aja atau mau berapa Ian?”

“Satu aja, Kak.”

“Yakin ini cukup?” tanya Isa ragu, “Kecil loh ini?”

“Iya, Kak. Cukup kok.” jawab Ian sambil tersenyum.

“Gue kira atlet sibuk kaya lo makannya kudu double kalo lagi match season begini.” ucap Isa sambil terkekeh geli. Tangan mungilnya yang lentik itu lalu meletakkan tiga potong roti itu pada piring kosong yang ada di atas baki yang tengah ditenteng Ian, “Oke ini udah, ayo ke meja!”

Ian mengikuti langkah Isa dari belakang, membawa sebuah baki yang kini penuh dengan makanan yang hendak mereka santap bersama. Ian tak peduli dengan banyaknya pandangan mata yang tertuju pada mereka berdua hingga dua lelaki yang baru saling kenal itu tiba pada meja yang mereka tuju, dengan Harvey yang sudah duduk di sana.

“Sejak kapan lo berdua jadi akrab?” tanya Harvey dengan senyum curiganya.

“Tadi nungguin lo dateng, gue join meja-nya Jovi sama Ian, jadi yaudah barengan deh.” jawab Isa yang sibuk mengatur mangkuk di atas meja, “Kan udah kenal juga, ga salah dong kalo kita akrab?”

“Oh gitu, syukurlah kalo udah akrab,” Harvey kembali mengeluarkan gestur mencurigakan yang disadari Isa, namun ia memutuskan untuk tak terlalu menghiraukannya.

“Belum akrab banget sih, belum sempat ngobrol banyak sama Ian, soalnya keburu laper!” Isa tertawa kecil, melihat bagaimana Ian ikut tersenyum mendengarnya, “Oh iya, property buat acara udah lo drop ke aula semua, Vey?”

“Udah, Sa. Tinggal last minute practice aja ini sebelum besok perform. Gue deg-degan asli! Mana kali ini gue perform bakal ditontonin pacar gue lagi!”

Cih, bikin iri aja,” gumam Isa yang mengerucutkan bibirnya lucu. Isa lalu mengaduk pelan sup jagungnya, lalu menyantapnya, “Lo yakin kalo Jovi bakal nonton besok?”

He said he will come, ya kalopun dia gak nonton juga gue gak masalah sih.”

“Masa? Harusnya lo berharap dia nonton ga sih?”

“Iya, soalnya besok anak basket mau rapat, iya kan, Ian?” tanya Harvey pada Ian yang sedari tadi diam menunduk di hadapan Isa.

Eh? Iya, Kak. Besok masih ada rapat internal buat next match, cuma harusnya ngga lama sih.” jawab Ian meyakinkan Harvey, “Tenang aja, Kak. Kalo besok rapatnya kelamaan, saya pastiin Kak Jovi keluar duluan buat kasih support ke Kak Harvey.”

Senyum Harvey mengembang hangat, lalu lelaki itu bertepuk tangan karena senang, “Emang kapten kebanggaan kampus ini bener-bener peka ya! Makasih banyak, Ian. Gue bener-bener nunggu Jovi nonton sih, soalnya ini kali pertama dia liat gue perform. So I kinda want him to come though, tapi ya gak maksa juga, tapi pengen, ngerti kan?”

Ian tersenyum lebar lalu menangguk, “Ngerti, Kak. And I guess that Kak Jovi really wants to see you tomorrow as well. I’ll make sure that he will come on time.

Harvey kembali bersorak senang saat mendapat dukungan dari Ian. Lelaki bertubuh ramping itu lalu mengguncang tubuh Isa yang duduk di sampingnya, dengan sengaja mengganggu temannya yang tengah asyik menyantap potongan roti di mulutnya.

Sorry ya, Sa. Kayaknya besok muka lo bakal ditekuk lagi kaya hari ini, soalnya kapten klub cowok gue bahkan udah ngasih izin buat Jovi nonton besok.”

“Sumpah, Vey, ga penting juga buat gue?” Isa memutar kedua bola matanya malas, hal yang membuat Ian tertawa kecil di seberangnya, “Oh, love birds…”

“Lo nonton gak, Ian?” tanya Harvey lagi, dengan mulutnya yang sedang sibuk mengunyah kentang goreng, “Barengan Jovi aja kalo nonton?”

Oh, kayanya ngga, Kak. Saya jarang sih nonton performance begitu, soalnya terakhir kali ada di tengah-tengah kerumunan, saya malah dibuat ngga nyaman…”

Isa mengangguk bak mengerti maksud dari lelaki itu. Ia lalu menyodorkan sebotol air minum kepada Ian, lalu kembali memberi senyuman yang dengan cepat membuat wajah tampannya terisi rona merah, tersipu.

It must be really a bad experience for you, ya?”

“Quite so,” Ian membalas senyumnya, “Tapi ya udah berlalu juga, cuma ya aftermath-nya sampe sekarang masih ngerasa ngga nyaman kalo harus ada di antara kerumunan orang. Apalagi kalo dance performances anak-anak kampus kita selalu antusias kan? Anyway, thank you for the drink, Kak Isa…

Isa kembali menyantap makanannya, mencelupkan sepotong roti ke dalam sup jagung kesukaannya, membiarkan Harvey berbicara santai dengan Ian.

“Kok lo tau? Pernah nonton ya?”

“Tau, Kak. Anak-anak basket sering banget ceritain gimana luar biasanya kalian kalo perform.” jawab Ian dengan jujur, tak melebih-lebihkan, “Terus juga, kemaren pas ikut Kak Jovi nyusulin kalian, keliatan banget kalo kalian bener-bener go all-out for it, so I’m sure that you guys will nailed it.

“Daripada gitu, apa ga pengen nonton langsung aja, Ian? Sesekali coba lihat kita, apa bener sebagus itu?” Isa memiringkan kepalanya dengan dua sudut bibir terangkat yang membentuk senyuman indah, “I can save you a hidden spot in the barricade so you will not join the crowds, barengan sama Jovi kalo lo mau coba nonton dengan tenang. Gimana? Mau ngga?”

Hati Ian kembali bergemuruh, rasanya ia sudah tak lagi sanggup menahan lelah sebab hari ini jantungnya bekerja luar biasa keras tanpa harus mengeluarkan usaha. Hanya dengan keberadaan Isa, juga senyuman hangat yang tak lepas dari paras rupawan lelaki yang lebih tua darinya itu, dunianya membaik seketika. Ian sebenarnya harus tahu diri sebab Isa sudah tak lagi sendiri, maka ia tak boleh membiarkan rasa kagumnya berubah menjadi hal yang sudah ia duga sejak kali pertama netra keduanya saling menyapa dalam tatap. Namun Ian hanyalah manusia biasa, yang juga ingin tahu bagaimana jika kelak ia jatuh cinta pada sosok manusia yang kini tengah duduk berhadapan dengannya.

“Memangnya ngga masalah, Kak?” tanya Ian sopan, “I can come and watch you guys tomorrow, tapi ngga perlu sampe disiapin spot di barricade sih kayanya? Di situ kan buat temen deket kalian?”

“Ya, gapapa! Kan lo temennya Jovi, terus sepupu gue juga ga jadi nonton jadi ada spot kosong, jadi ya gapapa kalo lo di barricade, soalnya emang ada spot khusus. Itu juga kalo lo mau, gue ga maksain, apalagi lo punya pengalaman ga enak.”

“Iya, Ian. Lagian gue lebih ngerasa aman kalo Jovi sama lo di barricade daripada dia sendirian, ngeri ada yang gangguin sih.” sambung Harvey kemudian, “Tapi ya, balik lagi ke lo. Kita ga maksain, cuma kalo emang lo mau, lo bilang aja ke kita, oke?”

Ian menganggukkan kepalanya pelan, “Oke, I’ll let you guys know later abis rapat basket ya? Atau mungkin nanti bakal langsung bareng Kak Jovi? I’ll let you guys know as soon as possible.

Hmm, kayanya lo tetep harus ngasih tau gue sih, Ian,” timpal Isa sambil menyesap minumannya, “Soalnya kalo di spot khusus itu, lo harus bawa access card by recommendation. Jovi udah pasti dapet dari Harvey, nah yang buat lo nanti pake kartu gue, jadi lo ga bisa masuk lewat Jovi ataupun Harvey.”

“Oh gitu,” Ian tampak berpikir sejenak, merasa sedikit ragu, malu, juga takut dengan ide yang muncul di kepalanya. Namun ia tahu ia tak punya jalan lain, “Apa nanti setelah rapat saya ke practice room aja buat ngasih taunya?”

Isa bersumpah, Ian itu memang menggemaskan. Entah memang karena aura positif yang selalu ia pancarkan, atau memang lelaki itu terlalu lugu.

Chat aja, Ian. Kasian lo capek-capek ke sana abis rapat, belum tentu juga kita bukain pintu karna lagi latihan?” tutur Isa sambil terkekeh geli, “Chat aja, gapapa kok!”

“Kalo gitu, saya boleh simpan nomor Kak Isa, biar nanti saya langsung ngabarin bisa atau ngga-nya? If you don’t mind, of course. Kalo misalnya keberatan ngga usah ngga apa-apa, Kak…”

Isa lalu menepuk pelan permukaan meja di hadapannya sambi tertawa kecil, merasa bahwa tingkah Ian begitu menggemaskan di hadapannya. Ia lalu menganggukkan kepalanya, setuju dengan apa yang baru saja Ian utarakan padanya, “Boleh kok, Ian. Siniin coba handphone lo?”

Adik tingkat yang merupakan atlet basket kampus itu lalu menyodorkan ponselnya kepada Isa, membiarkan Isa mengisi sendiri nomor juga kontaknya pada ponsel milik Ian, lalu menyerahkannya kembali kepada sang empunya, “Nanti kalo mau chat ngasih tau, jangan lupa kenalin diri, ya? Soalnya gue punya habit males balesin chat orang yang ga gue save nomornya.”

“Well noted, Kak Isa. I’ll let you know if the text is from me.”

Isa lalu berdiri, menarik pundak Harvey yang masih sibuk menatap ponselnya, “Kalo gitu, kita duluan ya? Jangan lupa kasih kabar! Bye, Ian!

Di sanalah Ian, duduk seorang diri dengan sendok sup yang masih ia genggam. Netranya tak meninggalkan presensi Isa yang berjalan menjauh darinya bersama Harvey, hingga tubuh lelaki itu hilang dari pandangannya. Hatinya menghangat, menyadari fakta bahwa ia kini menyimpan nomor Isa untuk ia hubungi segera, meski ia hanya perlu memberitahu perihal jawaban atas tawaran dari Isa.

So this is how the butterflies feel like, when your eyes met mine…

--

--

No responses yet