Suasana hati Jimin jauh membaik setelah menyantap seporsi pasta yang dibuat khusus untuknya oleh lelaki yang pada awalnya adalah teman kencan satu malamnya. Lelaki yang pada tatapan pertama telah sanggup menaklukkannya. Lelaki yang tak pernah Jimin duga akan memutar balikkan dunianya dalam hitungan jam saja.
Jungkook tersenyum puas di hadapannya kala melihat bagaimana Jimin menyantap lahap makanan sederhana buatannya. Kedua matanya berkali-kali membesar, alisnya mengkerut kala mengekspresikan betapa ia menyukai apa yang dimakannya hingga tak tersisa sedikitpun di atas piring berwarna putih itu.
“I don’t know that you’re a really good cook,” puji Jimin setelah menelan suapan teakhirnya, “Ini enak banget, sumpah.”
“Glad that you like it.” Jungkook lalu berdiri, meraih piring kosong di hadapan Jimin untuk ia bawa ke wastafel, “Sebentar ya, aku cuci ini dulu.”
Jungkook meminta izin Jimin untuk meninggalkannya beberapa menit, dan dijawab dengan anggukan oleh Jimin yang mengizinkannya. Jimin lalu ikut terlibat dalam aktifitas domestik itu, sementara Jungkook mencuci piring kotor bekas mereka, Jimin membersihkan meja makan. Ia mengelap setiap sisi meja hingga tak ada lagi sisa makanan ataupun debu yang menempel di sana. Jungkook tak menyadarinya karena Jimin tak bersuara. Ia berinisiatif untuk melakukannya tanpa harus memberitahu Jungkook karena tahu bahwa lelaki itu pasti akan melarangnya.
Jimin sudah duduk kembali di posisinya ketika Jungkook membalikkan badannya, mendapatkan senyum dari lelaki cantik yang tengah menyangga wajahnya dengan satu tangannya itu, sedari tadi menatap Jungkook dari belakang sana tanpa melepas senyum. Jungkook mengeringkan tangannya yang basah, lalu berjalan kembali duduk di hadapan Jimin.
“Sorry…” ucap Jimin lirih.
“Sorry buat apa?” tanya Jungkook yang tak paham maksudnya.
“Tadi sempat mikir kalo kamu malu sama aku…”
Jungkook lalu bergerak pelan, mengulurkan tangannya untuk menggenggam tangan Jimin di atas meja makan itu, “It’s nothing to worry about, Bub. Stop saying sorry for that, ok?”
Lelaki bertubuh tinggi kemudian berjalan ke arahnya, mengulurkan tangannya pada Jimin untuk diraih lelaki itu, “Ngobrolnya di situ aja yuk?” ajak Jungkook pada Jimin, mengajaknya untuk duduk bersama di ruang tengah.
“Kamu ga mau ganti baju yang lebih nyaman dulu?” tanya Jimin tiba-tiba, melihat kemeja berwarna putih yang dikenakan kekasihnya yang sedikit kusut.
“Ngga apa-apa, nanti abis ini diganti. Changing my clothes aren’t my priority right now, aku mau dengerin kamu dulu.”
Jungkook lalu menarik pelan tangan Jimin hingga lelaki manis itu berdiri dan berjalan mengikutinya. Ia menuntun Jimin untuk duduk terlebih dahulu, sementara ia berjalan ke sisi kanan sofa untuk mengambil sebuah remote control. Jungkook menekan tombol di sana, membuat tirai besar yang menggantung di sana tertutup sedikit.
“Biar nyaman ngobrolnya,” ucap Jungkook saat sudah puas dengan pencahayaan ruangan yang sedikit redup, “Ngga apa-apa kan?”
Jimin menyunggingkan satu senyuman untuknya, “It feels better already.”
Jungkook lalu duduk bergabung dengannya, merangkulkan satu lengannya pada tubuh Jimin yang secara otomatis bersandar padanya. Keduanya lalu berdiam diri beberapa detik, sibuk dalam pikiran masing-masing. Jimin yang sibuk memilih kata, dan Jungkook yang menunggunya. Usapan pelan telapak tangan Jungkook pada bahunya itu menghangatkannya, menenangkannya. Ia lalu bergerak pelan, menyampirkan satu tangannya untuk menyentuh perut Jungkook dan mengistirahatkannya di sana.
“He said that I’m a slut.” ucap Jimin dengan suara pelan, namun dapat dengan jelas didengar oleh Jungkook. Jimin dapat merasakan tubuh kekasihnya menegang, mungkin sedang menahan emosinya yang tersulut dengan cepat, “Katanya aku murahan, ga pernah mau dia sentuh tapi malah dipake sama orang lain.”
Suara Jimin bergetar, menahan emosi juga rasa sedih yang tak ia pungkiri menyerangnya, “Beberapa kali aku pernah punya hubungan sama orang, ga pernah yang namanya aku dilabelin ‘slut’, ‘murahan’ pas udah putus kaya gitu. I mean, he was my boyfriend, how can he called me like that? I know I made a mistake dan aku pun ngaku caraku salah, tapi dia yang bikin kesalahan berkali-kali pun ga pernah aku rendahin segitunya…”
Jungkook lalu merengkuh tubuh mungil itu, mengeratkan pelukannya agar Jimin dapat merasa bahwa ia tak sendiri. Telapak tangannya kini mengusap pelan punggung Jimin, menenangkannya. Kini Jungkook tahu apa penyebab Jimin tiba-tiba merasa tak nyaman dan ia tahu langkah apa yang akan ia lakukan untuk lelaki itu.
“You met him?” tanya Jungkook pelan sementara tangannya tak berhenti mengusap tubuh Jimin.
“He texted me.” Jimin lalu mengeluarkan ponsel miliknya dari dalam saku, membuka kunci dan pesan singkat yang ia terima sebelum ini dan menunjukkannya pada Jungkook. Ia dapat melihat rahang lelaki itu mengeras, raut wajahnya tak senang dengan apa yang tengah dibacanya. Jimin lalu kembali mematikan ponselnya, melempar pelan ponsel itu ke atas meja dan kembali memeluk tubuh Jungkook untuk rasa nyamannya.
“Caraku salah, I know. I shouldn’t cheat on him. But I don’t deserve those kinds of labels…”
“No one deserves those kinds of labels, sayang. No one, especially you.”
Jimin menarik nafas panjang dan menghelanya pelan, berusaha menenangkan pikirannya yang masih tak terima atas ucapan tak pantas yang Taehyung ucapkan padanya.
“Cara kita memang salah, aku pun ngga membenarkan itu. We made a mistake, but I couldn’t even hold myself to not kissing you that morning even though I know that you were in a relationship. Jadi kalo mau ngomongin brengsek, tetap aku yang lebih brengsek.”
“No, you’re not. He’s the jerk.” timpal Jimin cepat.
“We are all the sinners, I said. Ngga pantas kata-kata kaya gitu keluar dari mulut sesama pendosa, dia melabeli kamu kaya gitu ngga membuat kadar kesalahan dia menipis sama sekali. He cheated, multiple times, for months long. He betrayed you, he hurt you. And right after everything was revealed, he still hurt you, right in front of my eyes. He’ll pay a very good amount for this.”
Jimin kembali merasakan Jungkook menahan emosinya, namun lelaki itu dengan cepat menguasai diri sebelum emosinya mengambil alih, “You’re mine now, no one shouldn’t touch what’s mine.”
Bunyi notifikasi ponsel Jungkook memecahkan keheningan sore itu. Keduanya kini sudah tak lagi membicarakan masa lalu meski rasa bersalah muncul di hati Jungkook karena ia yang menjadi penyebab Jimin mendapat kata-kata tak pantas dari mantan kekasihnya. Ia lalu meraih ponselnya sendiri tanpa melepas pelukan tangannya pada tubuh Jimin yang bersandar padanya.
“Ada William di bawah,” ucap Jungkook saat membaca ponselnya, “Mau minta tanda tangan kontrak untuk besok diambil sama vendor, aku boleh turun ngga?”
“Aku ikut.” ucap Jimin seraya bergerak melepas pelukannya, “Ayo!”
“Padahal ngga bakal lebih dari lima menit loh?” Jungkook terkekeh lalu mencubit pelan pipi Jimin.
“Ga mau pisah biarpun kurang dari lima menit.” ucap Jimin santai. Ia lalu berdiri mengulurkan tangannya agar segera diraih oleh tangan besar favoritnya, “Ayo sekarang! Biar cepet selesai, I still need my cuddle session.”
Dua anak adam itu kemudian bergegas keluar, berjalan berdampingan menuju lift pribadi yang akan langsung mengantarkan mereka ke parkiran VIP di mana William menunggu atasannya. Benar saja, Jungkook dapat dengan cepat mengenali sosok stafnya meski dari jarak jauh. Lelaki yang tak lebih tinggi dari Jimin itu kemudian berjalan cepat ke arah ia berada dengan Jimin yang juga mengekori sang atasan.
“Mohon maaf sudah mengganggu waktunya, Mr. Jeon.” ucap William sambim membungkukkan badannya, merasa tak nyaman karena harus mengganggu waktu pribadinya.
“It’s ok, Will. Yang penting beres dulu.” ucap Jungkook sambil tersenyum ramah, “Banyak yang harus ditanda tangani?”
“Tidak, Mr. Jeon. Hanya enam lembar yang sudah saya tandai saja.” William lalu menyerahkan berkasnya kepada Jungkook. Lelaki itu lalu menunggu dengan sabar. Namun ia tak memungkiri jika rasa penasarannya mulai muncul ketika melihat presensi lain yang berada di belakang pemilik perusahaan tempatnya bekerja itu. Ia lalu melirik cepat ke arah Jimin yang menunggu, bilah bibirnya terbuka kala mengamati visual Jimin yang luar biasa indah di matanya. Tak berapa lama kemudian, ia dengan cepat mengalihkan pandangannya karena Jimin mengangkat kepalanya dan menatap dirinya.
“Ini sudah. Ada lagi?” tanya Jungkook sambil memastikan jika tak ada yang kurang lagi.
“Sudah lengkap, Mr. Jeon.” jawab William padanya.
Jungkook lalu mengangguk pelan, lalu kembali memasukkan bolpoinnya ke dalam saku celana yang ia kenakan, “Kalo begitu, saya masuk ya. Makasih, Will.”
“Sama-sama, Mr. Jeon. Saya permi- Oh! Iya, ada yang ketinggalan! Sebentar, Mr. Jeon. Ada titipan dari Mr. Min untuk anda, akan saya ambil di dalam mobil.” William pamit sambil membungkukkan badannya sebelum berbalik dan berjalan cepat ke arah mobilnya terparkir.
“You good?” tanya Jungkook saat menoleh kepada Jimin yang terdiam.
“Good. Tapi kenapa ya muka staf kamu kaya ga asing?” Jimin memiringkan kepalanya, tampak berpikir sejenak, “Kayanya aku pernah lihat, tapi dimana?”
Jimin mengajukan pertanyaan itu untuk dirinya sendiri, lalu tenggelam dalam pikirannya dan berusaha mengingat-ingat hal yang mungkin ia lupakan. Jungkook lalu mengusap pelan puncak kepala lelaki itu, merapikan beberapa helai rambut Jimin yang sedikit berantakan karena ia tadi bersandar pada tubuhnya. Tak berapa lama kemudian, William kembali membawakan barang titipan dari Yoongi untuknya. Namun kali ini William tak sendirian, ada orang lain di belakangnya yang ikut membawakan dua kotak besar untuknya.
“Saya bantu bawa ya, Mr. Jeon.” William menawarkan dirinya dengan sopan, “Kebetulan arah rumah saya sama rumah Pak Taehyung satu arah, jadi tadi beliau menawarkan diri untuk membantu saya membawakan ini semua waktu Mr. Min minta tolong untuk diantarkan kemari.”
Alis Jungkook mengernyit, tampak teringat sesuatu namun tak disuarakannya. Laki-laki di belakang William itu lalu menampakkan diri dan tersenyum sopan padanya, “Selamat sore, Mr. Jeon. Saya Kim Taehyung dari divisi humas.”
Suasana di parkiran luas itu tiba-tiba hening karena tak adanya jawaban cepat dari Jeon Jungkook. Laki-laki tampan itu terdiam, sadar akan sesuatu. Tangannya lalu mengepal di sisi tubuhnya, berharap Jimin tak mendengar apa yang baru saja ia dengar.
Namun harapannya itu pupus kala Jimin menampakkan diri dari belakangnya dan disadari oleh Taehyung. Netra keduanya bertemu. Raut wajah Taehyung yang tadinya tersenyum lebar kala menyapa pimpinan tertinggi di tempatnya bekerja itu kini menjadi raut wajah terkejut seperti baru saja melihat ketakutan terbesarnya.
“J-jimin?!”
Bulir keringat lalu muncul pada wajahnya yang memucat. Mulutnya terbuka, terkejut bukan main atas apa yang sedang dilihatnya, “J-ji? Kok di sini? Kenapa k-kamu ada di sini? M-maksudnya apa?”
Sikap protektif Jeon Jungkoook muncul. Lelaki itu mengulurkan tangannya ke belakang tubuh besarnya dan menggenggam erat tangan Jimin. Tubuhnya secara otomatis menghalangi pandangan Kim Taehyung pada sosok lelaki yang sudah menjadi miliknya itu.
William yang tampak bingung itu lalu menoleh ke arah Taehyung, “Tae, kenapa?”
“Woo, Wonwoo, he’s Jimin, he’s my-”
“He’s my boyfriend.” ucap Jungkook dengan suaranya yang mengintimidasi di hadapan dua lelaki yang bekerja untuknya itu, “Park Jimin is mine, Kim Taehyung-ssi.”
Jungkook lalu maju selangkah, mendekat pada Taehyung yang masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya, melewati William yang membatu di sana dan berbisik dengan suara rendah yang membuat nyawa Taehyung nyaris melayang seketika, “What a pleasure to finally meet you, Taehyung-ssi. How is it? Am I better than you?”
Jungkook mengejeknya sambil tersenyum, menyindirnya dengan bahasa sarkastik, merujuk pada pesan singkat yang ia kirimkan kepada Jimin siang tadi, “Is it already proven that I’m the better one, hm? Oh, ngga. We aren’t even suitable to be compared.”
Lelaki dominan itu lalu memajukan wajahnya mendekat pada wajah pucat Taehyung yang sudah dipenuhi keringat dingin karena rasa paniknya, “How can you called him cheap when your life is the one that I can buy?”
Kim Taehyung kini berharap di dalam hatinya jika saja ia bisa memutar waktu, ia akan memilih untuk diam dan tidak mengatai Jimin seperti tadi. Namun sebesar apapun usahanya untuk memutar fakta, Jeon Jungkook kini tetap bisa mendominasinya, menunjukkan kuasanya, terlebih kuasa atas Park Jimin di hadapannya.
“If you dare to hurt him, touch him, or call his name once again, no one will ever remember your name, little slut.”