The Sky Isn’t As Sweet As You

raine.
6 min readJun 28, 2022

--

Ghaffar tak menghabiskan waktu terlalu lama untuk menunggu kabar dari Eijaz. Ia bahkan tak menganggap bahwa ia menghabiskan waktu, karena jujur saja- ia justru tengah menunggu hal yang dianggapnya baik. Eijaz yang baru beberapa kali ditemuinya, kini menjadi teman baru untuknya setelah sepakat untuk memulai beberapa hari yang lalu.

Ghaffar menganggap Eijaz itu lucu- teramat sangat. Ia tak pernah mendapati orang yang mengajaknya berteman melalui secarik kertas yang diselipkan di dalam buku yang tengah ia baca, di sebuah perpustakaan tua di pinggiran kota. Tak hanya Eijaz yang merasa pertemuan keduanya merupakan hal langka- karena Ghaffar juga menganggapnya demikian. Ia tak pernah bertemu seseorang dengan frekuensi yang sama dengannya, bahkan Vito yang sudah berteman lama dengannya pun enggan mendengar ceritanya soal kisah fana yang dituliskan di dalam buku.

Ia bergegas pergi dari tempatnya menunggu kala Eijaz mengirimkannya pesan singkat bahwa ia sudah menuju lokasi janji temu mereka. Ghaffar merasa sedikit aneh ketika ia dapat mendengar degub jantungnya sendiri.

“Damn, heart. What’s wrong with you…” ucapnya dalam hati.

Tekanan kakinya pada pedal gas itu sedikit lebih kuat dari biasanya, merasa ingin cepat sampai pada tujuan dengan alasan tak ingin membuat lelaki yang akan ditemuinya menunggu lama. Dengan rasa antusias yang besar, Ghaffar melajukan mobilnya.

Dua puluh menit berlalu, kini ia sampai di perpustakaan tua favoritnya. Tak ada mobil lain yang terparkir di sana, pertanda bahwa Eijaz belum sampai. Kedua sudut bibir tipis Ghaffar mengulas senyum yang sayangnya tak dapat disaksikan oleh sang penyebab. Ia kemudian mengambil backpack miliknya dan keluar dari mobil.

Belum sempat ia menutup pintunya, sosok yang ia tunggu pun tiba. Eijaz memberi sinyal melalui lampu mobil yang ia kedipkan ke arah Ghaffar dengan senyum yang merekah di wajah cantiknya. Untuk itu, jantung Ghaffar kembali dibuat tak karuan.

“For God’s sake, Ghaffar, it’s just a smile!” tutur batinnya.

Eijaz kemudian kembali mengemudikan mobilnya untuk ia parkirkan tepat di sebelah mobil Ghaffar. Lelaki berparas bak malaikat itu kemudian turun dari mobil, menyapa Ghaffar dengan senyuman yang tak pudar dari sana.

“Ghaf, bentar ya! Gue kebelet!”

Ghaffar tak sempat menjawabnya, Eijaz sudah berbalik badan dan berlari masuk ke dalam toko buku. Ia kemudian memutuskan untuk memberikan privasi kepada Eijaz dan menunggu lelaki itu di taman yang berada di sebelah toko buku; tempat kesukaan mereka.

“How can a smile take control over me like that?”

Ghaffar lagi-lagi disibukkan oleh pikirannya sendiri.

Ia kembali melanjutkan langkahnya untuk masuk ke dalam taman. Entah dari mana asalnya, debaran jantungnya itu tak bisa kembali ke tempo semula. Lebih tepatnya sejak Eijaz tiba di sana. Ghaffar berusaha kuat agar pikiran dan hatinya kembali ke sedia kala, namun gagal saat Eijaz kembali menampakkan diri di hadapannya.

“Maaf ya kalo gue lama, tadi ga sempat mampir pas ketemu rest area, gue rada ngebut soalnya.” ujar Eijaz memberinya penjelasan meski sebenarnya tak perlu, karena menurut Ghaffar, yang penting kini ia telah sampai dengan selamat.

“Kenapa ngebut? Kakak kan bukan pembalap?” terkutuklah Ghaffar dengan komentarnya kepada Eijaz yang ia lontarkan tanpa bercermin dengan tingkahnya saat berkendara tadi.

“Takut lo nunggu lama, hehe.” jawab Eijaz dengan polosnya. Ia tak tahu bahwa Ghaffar-pun beralasan sama dengannya.

“It’s better late daripada kenapa-kenapa, Kak. Sampe kebelet gitu…”

“It’s okay, Ghaf. Gue emang ga suka bikin orang nunggu sih, suka kepikiran soalnya. Ntar malah ngerasa bersalah. Jadi udah ya? Let’s talk about the other thing, oke?” Eijaz tersenyum dan memiringkan kepalanya kepada Ghaffar, tingkah sederhana yang kembali membuat perut Ghaffar bak diserang perasaan aneh yang tak pernah ia alami sebelumnya.

“Lo kenapa? Kok pucet?” tanya Eijaz, tanpa sadar mendekatkan wajahnya pada wajah Ghaffar, “Sakit ya? Atau capek karna abis olahraga?”

Eijaz nyaris refleks untuk memeriksa suhu tubuh Ghaffar, beruntung ia dengan cepat menguasai diri hingga ia tak melakukan hal yang mungkin akan membuat Ghaffar tak nyaman padanya, “Minum dulu aja yuk, Ghaf?”

“N-ngga, Kak. I’m okay, c-cuma nge-blank aja tadi.”

“Lo pucet banget asli, minum dulu deh yuk?”

“Ngga apa-apa Kak, I’m all good. Di sini aja ya…”

Eijaz kemudian mengangguk pelan, mengikuti keinginan Ghaffar meski ia masih merasa sedikit khawatir. Eijaz kemudian merogoh tas yang ia bawa dan menyodorkan sebungkus permen mint kepada Ghaffar, “Ini coba, biar rada enakan?”

Ghaffar menyambutnya dengan baik, seulas senyum tipis dari wajahnya dapat dengan jelas dilihat oleh Eijaz meski Ghaffar dengan cepat kembali menunjukkan wajah datar. Sungguh, pria ini terlampau tampan. Eijaz tak habis-habisnya mengagumi sosok Ghaffar yang lugu.

“Oh iya, Kak. Tadi pas jalan ke sini, aku beli sesuatu,” Ghaffar meraih satu paper bag berukuran besar yang ia letakkan di atas backpack miliknya, “Ini buat Kak Ei, semoga Kakak suka.”

Eijaz tak dapat menyembunyikan keterkejutannya. Ia tak menyangka bahwa di pertemuan kedua bagi mereka, ia sudah mendapat hadiah dari Ghaffar, “Eh? Apaan nih kok tiba-tiba?”

“Consider it as a gift for being my friend, maybe?” jawab Ghaffar asal- karena alasan sebenarnya tentu saja bukan itu.

“Ghaf, aduh- gue jadi ga enak nih…”

“No need to, Kak. I just want to give it to you, ngga minta timbal balik. Tulus kok.”

“Demi Tuhan, Ghaffar, gimana caranya gue bisa nahan diri kalo kaya gini…”

Di dalam hatinya, Eijaz merasa tersentuh dengan hal kecil yang tak diduganya datang dari pria pendiam seperti Ghaffar. Sungguh, lagi-lagi Eijaz dibuat gila hanya dengan hal sederhana.

“Thank you, Ghaf. I mean it. Gue ga nyangka sih…”

“Hope that you’re happy…” senyum tulus itu kembali Ghaffar berikan padanya.

“Happy kok! Happy banget malah!” Eijaz tak menyembunyikan ekspresi bahagianya di hadapan Ghaffar, “Ini boleh gue buka?”

“B-boleh…”

“Oke, gue buka ya, Ghaf!”

Eijaz dengan antusias membuka paper bag yang membungkus hadiah pemberian Ghaffar untuknya. Ghaffar dapat melihat kedua mata Eijaz yang sipit tiba-tiba membesar, mulutnya terbuka, lebih terkejut saat ia melihat apa yang ada di dalam sana.

“Ghaf… Astaga…” Eijaz kehilangan kata-kata, tak mampu mengungkapkan apa yang ia rasa saat ini, “Ghaf… oh my God… You’re so sweet…

Eijaz berusaha keras untuk tak mengabulkan keinginan batinnya untuk memeluk Ghaffar saat ini juga.

“Are you happy?” tanya Ghaffar dengan lugu, padahal dapat ia lihat dengan jelas bagaimana raut wajah Eijaz saat ini; smiling ear to ear.

“I think it’s quite obvious that I’m VERY HAPPY now!” Eijaz dengan sengaja menekankan kata ‘very happy’ agar Ghaffar yakin bahwa ia memang betul-betul senang dengan apa yang Ghaffar berikan padanya, “What’s the reason, if I may know?”

“There’s no particular reason. It’s pretty, just like you.”

Eijaz ingin sekali berteriak dan mencabut semua pendapatnya soal Ghaffar yang lugu- meski ia tahu bahwa memang Ghaffar itu terlewat lugu. Buktinya, ia tak memikirkan dampak dari semua yang ia lakukan hari ini kepada Eijaz yang mulai merasa tak waras.

Ghaffar dapat melihat wajah Eijaz yang mulai memerah- dan tentu saja ia tak menyadari bahwa itu karena ulahnya.

“M-makasih ya, Ghaf. Bener-bener bikin gue happy…”

“Seneng dengernya…” Ghaffar dan kalimat singkatnya- sukses membuat Eijaz pusing bukan main.

“Thank you for becoming my friend, Kak Ei…”

“Gimana caranya we stay as friends if you do this to me, Ghaffar…”

“Gue juga mau bilang makasih buat dateng waktu itu, gue pikir gue bakal dibiarin nunggu sendirian di sini…”

“Caranya Kakak unik, and it touched me somehow? Soalnya ngga pernah ada yang mau ngajak kenalan anak aneh kaya aku…”

Satu bagian kecil di dalam hati Eijaz sedikit sakit mendengar pengakuannya, “Ghaf, lo ga aneh… Kalopun lo aneh, gue juga dong? Ya udah, berarti kita berdua anehnya bareng aja mulai sekarang, gimana?”

“Ngapain Kakak mau ikut-ikutan dibilang aneh? Mana ada orang aneh kaya Kak Ei…”

“Well, I’m a weirdo too! Kita sama-sama punya hobi baca buku, lebih gilanya maunya di old library inside an old bookstore somewhere far away from the city like this, sama kan?”

“Iya juga…”

“Ya udah, sekarang kalo ada yang bilang lo aneh, bilang aja kalo lo anehnya ga sendirian. Lo punya gue sekarang. Oke?”

Eijaz menepuk bahu Ghaffar dan mengelusnya pelan, menyalurkan rasa hangat yang ajaibnya bisa menenangkan pria itu, “Gue juga ga punya banyak temen, so you can hold on me, Ghaf. And we can hold onto each other…”

Langit yang sudah mulai gelap itu tak menutupi betapa indahnya paras Eijaz Javas Arsalan saat mengatakan kalimat sederhana yang mampu meruntuhkan ego Ghaffar. Sosok baru yang Ghaffar temui baru beberapa hari, dengan cepat membuat dunianya bak disinari cahaya baru. Ia merasa sedikit sombong tatkala merasa bahwa pertahanan dirinya cukup kuat, terbukti dari selama hidupnya, ia tak pernah sekalipun merasakan seluruh tubuhnya dipenuhi oleh kupu-kupu yang tanpa henti berterbangan dan menyentuh tiap sudut.

With that magic words, tanpa disadari sang empunya, hati Ghaffar berlabuh untuk pertama kalinya.

--

--

No responses yet