Suara musik yang menusuk rungu itu dirasa terlalu kencang bagi Kaivan yang sebenarnya tak terlalu menyukai keramaian seperti ini. Lelaki tampan itu kini tengah duduk di salah satu sisi bar yang lebih gelap, membiarkan dirinya menenggak beberapa teguk alkohol sementara ia membebaskan Arkana sibuk membuat tubuhnya lelah dengan menari di tengah-tengah lantai dansa.
Arkana menjadi pihak pertama yang menginisiasi mereka untuk mengunjungi sebuah kelab malam yang sering didatangi Arkana ketika ia sedang ingin melepas penatnya. Kaivan tentu tak langsung setuju sebab ia bukanlah pria yang menyukai dunia malam yang terlalu ramai seperti ini. Namun tentu Arkana punya caranya sendiri untuk membuat Kaivan pada akhirnya menuruti maunya tanpa banyak bunyi.
Namun ternyata Kaivan tak mampu bertahan duduk sendirian lebih dari lima belas menit. Ketenangannya terganggu oleh kehadiran beberapa orang yang tak ia kenal, entah itu hanya berbasa-basi menanyakan hal tak penting, atau bahkan yang terang-terangan mengajaknya untuk pergi dari kelab dan menghabiskan malam bersama. Suasana hatinya semakin tak karuan kala Arkana meminta waktu tiga puluh menit lagi untuk membiarkannya menghibur diri, sementara ia tak tahu bahwa memang Arkana berniat menjahilinya.
“He knows how to test my patience,” ucap Kaivan dalam batinnya kala kedua mata bambinya tak lepas dari sosok Arkana yang dapat dengan mudah ia kenali di antara kerumunan manusia.
Sorot matanya mengikuti tiap gerakan tubuh gemulai Arkana yang meliuk indah mengikuti irama musik yang menggema. Bibir tipisnya berusaha kuat untuk menyembunyikan senyum tatkala netranya menangkap Arkana mengurai tawa kepada beberapa wanita yang mengitarinya, meski sebenarnya ia mulai tak sabaran sebab Kaivan tak pernah menyukai jika sesuatu yang merupakan kepunyaannya, didekati oleh orang lain. Ia tahu Arkana punya pesona yang tak akan mungkin bisa ditampik oleh manusia yang memiliki sepasang mata, sebab presensi juga aura lelaki itu selalu bisa menarik perhatian setiap nyawa yang memandangnya.
Kesabarannya yang sudah di ujung tanduk, kini kembali diuji ketika seorang pria dengan sangat kentara mendekati Arkana, menari dengan jarak terlalu dekat oleh lelaki berparas indah itu. Kaivan lalu menenggak gelas terakhirnya, lalu meletakkannya dengan kasar sebelum melangkahkan kaki jenjangnya untuk masuk ke dalam kerumunan manusia yang tengah sibuk menari.
“Babe,” ucap Kaivan sesaat setelah meletakkan satu telapak tangannya di punggung bagian bawah Arkana.
Lelaki yang lebih tua darinya itu sedikit terkejut tatkala mendapati Kaivan sudah berdiri tanpa jarak dengan dirinya, “E-eh? Kok ke sini?”
“You’ve been away for too long, Pretty Boy,” jawab Kaivan dengan suara yang sedikit ia tinggikan di telinga Arkana. Lalu tanpa permisi, Kaivan menurunkan wajahnya, mengecup bagian leher Arkana yang terbuka tanpa rasa ragu dan malu.
Satu.
Dua.
Tiga kali. Sebelum akhirnya menarik tubuh lelaki itu untuk merapat dengan tubuhnya.
Detik kemudian, Arkana paham maksud dari lelaki itu. Arkana lalu menyeringai tipis ketika beberapa lelaki yang tadi menari bersamanya perlahan bergerak menjauh tanpa berpamitan setelah melihat bagaimana Kaivan menandai teritorinya, “Not even close to thirty minutes, Sir. Segitu ga bisanya sendirian?”
“Iya, ngga bisa.” jawab Kaivan dengan suara rendahnya, “I can’t be left alone, especially when you look so stunning.”
“Thank you for the compliment,” ucap Arkana sesaat sebelum menghadiahi sebuah ciuman ringan pada satu sisi wajah Kaivan.
Arkana tampaknya tak pernah kehilangan ide gila ketika ia dan Kaivan berada terlalu dekat. Ia tersenyum senang, lalu memundurkan tubuhnya agar merapat pada tubuh Kaivan, dan dengan sengaja menempelkan bokongnya pada milik Kaivan, lalu kembali menari dengan sensual.
“Na,” gumam Kaivan memperingatinya. Dan Arkana seharusnya sudah mulai paham ketika Kaivan mengubah intonasi suaranya menjadi lebih berat ketika memanggil namanya — bahwa ia sedang berada dalam bahaya.
Namun tentu saja Arkana tak peduli. Ia memilih untuk tetap menggoyangkan pinggulnya, menyentuh Kaivan, dan dengan sengaja menggoda lelaki yang selalu lemah ketika ia pancing.
“Kana,” peringatan kedua dari Kaivan ketika ia menyadari bahwa ia mulai tersulut nafsu yang dengan sengaja dipicu Arkana, “You really need to behave, Na.”
“Aku ga ngapa-ngapain? I’m just dancing!”
“You’re testing me.”
“I’m not?” ucap Arkana tanpa rasa bersalah, “Kamu aja kali yang ke-trigger?”
Tanpa diduga, Kaivan membalikkan tubuh Arkana hingga kini keduanya berdiri berhadapan. Satu tangan Kaivan yang masih berada di pinggang Arkana itu lalu menariknya hingga tubuh bagian bawah mereka bersentuhan meski masih terlapisi celana, “You’re hard as well, I got you in the mood too, hm?”
Bukan kali pertama Kaivan bertindak sesuai intuisi dan kemauannya, dan Arkana sudah tahu betapa impulsifnya Kaivan yang seringkali berulah. Setelah sebelumnya ia sibuk menciumi leher hingga tulang selangka Arkana, kini bibirnya ia tempelkan tanpa izin pada bibir ranum Arkana.
Kedua anak adam itu larut dalam ciuman yang semula lembut, tak peduli dengan banyaknya pasang mata yang mungkin saja menaruh perhatian pada keduanya. Kaivan tak lagi dapat berpikir jernih, tak lagi mampu memikirkan jika bisa saja esok pagi ia melihat namanya terpampang pada puluhan situs berita karena aksinya yang gila kali ini. Hubungan tanpa status di antara ia dan Arkana itu hanya diketahui oleh Ray, sepupunya yang juga sahabat dekat dari Arkana sejak sekolah.
Dan kali ini, Kaivan tak peduli. Ia lebih memilih untuk sibuk menciumi bibir Arkana dengan lembut juga candu yang tak pernah lepas darinya sejak keduanya memutuskan untuk menjadi teman tidur.
“You’re drunk,” ucap Arkana di sela-sela ciuman mereka, “We have to stop, Van.”
“Ngga, I’m fully sober.” ucap Kaivan singkat sebelum kembali melumat bibir Arkana.
“Kita bisa ditangkap paparazzi, Kaivan. Don’t forget who you are!” Arkana kembali memperingatinya dengan nafas yang terengah.
“I don’t care, actually. They can write anything they want about me in the news later, but now all I want is you,” Kaivan menjeda kalimatnya. Ia lalu menempelkan keningnya dengan kening Arkana sebelum kembali berucap, “I don’t like the way people stare at you.”
“Kaivan, you’re jealous.”
Kaivan lalu mendengus pelan, “I hate it when people start to aim for what’s mine.”
Bibir keduanya kembali bertemu, namun kali ini tak ada kata lembut. Kaivan yang mulai tersulut itu bahkan tak menampik saat Arkana menyebutnya sedang cemburu — hal yang seharusnya tak boleh dirasa ketika mereka tak terikat hubungan serius.
Ciuman itu kembali terjalin dengan terburu-buru dan nafsu. Arkana bahkan tak lagi bisa menahan diri sebab tentu saja ia juga tersulut nafsu yang ia mulai sendiri. Mulutnya terbuka, mengizinkan Kaivan untuk mengeksplorasi lebih, membiarkan Kaivan berbuat sesuka hati pada mulutnya. Hawa di antara keduanya terasa semakin memanas, namun Arkana tak mampu menarik diri dari dominasi Kaivan. Ia bahkan tak memiliki keinginan untuk berhenti meski rasanya udara nyaris tak lagi mampu ia hirup, seolah hidupnya kini bergantung pada ciuman panas yang tengah ia jalin bersama lelaki yang berusia lebih muda darinya.
Kaivan lalu menarik diri, tersenyum pelan kala melihat bagaimana Arkana mengatur nafasnya sejenak. Ia lalu kembali berinisiatif untuk kembali melabuhkan beberapa ciuman kecil pada kedua sisi wajah Arkana, lalu ketika mulutnya berhenti tepat di telinga Arkana, ia berbisik, “You have my undivided attention and I won’t let you slip away, Arkana. You’re mine.”