“Ngga mau kamu bukain aja?” tanya Jungkook pada Jimin, merujuk pada suara bel pintu rumahnya yang tak berhenti berdering, “We can face him together.”
“Ngga ah, ngapain? Biarin aja, he messed with me since months ago, diputusin malah ga terima. Moreover, I prefer this,” Jimin mengeratkan pelukannya pada tubuh Jungkook, “Di sini aja, kamu hangat.”
Jungkook tersenyum tipis, lalu menempelkan bibirnya pada puncak kepala kekasihnya, menyesap wangi manis yang menguar dari sana, “Okay, nanti diselesaiin lagi ya? Sekarang di sini aja sama aku.”
Jimin lalu mengangkat kepalanya, menatap wajah tampan Jungkook yang entah sejak kapan terlihat begitu menawan berkali lipat dari yang biasa ia pandangi, “You still can run away from me, Kook.”
“I run to catch you, not to run away from you. Lama dapetinnya, masa pas udah dapet malah aku tinggalin?” Puncak hidung Jimin mendapat sentuhan lembut darinya, “Don’t you dare to push me away, I’m with you no matter what.”
Pria kecil itu lalu terkekeh di posisinya, “Lama apaan, baru juga berapa hari?”
Jungkook tak menjawabnya, ia hanya kembali mengerengkuh tubuh Jimin untuk masuk lebih dalam di pelukannya dan tak bersuara. Jimin dapat dengan jelas merasakan detak jantung lelaki itu di bawah kulit wajahnya yang menempel di dada Jungkook, lalu tersipu entah mengapa.
“Aku boleh tanya sesuatu ngga?” tanya Jungkook tiba-tiba saat kedua mata Jimin mulai tertutup.
“Boleh, tanya aja.”
“Kamu boleh ngga jawab kalo ngerasa ngga nyaman.”
Sialan, Jeon Jungkook dan sikap sopannya itu lagi-lagi membuat seisi relung hati Jimin menghangat seketika.
“Iya, sayang. Coba aja emangnya mau tanya apa?” jawab Jimin dengan sengaja kekasihnya dengan memanggilnya demikian yang membuat si tampan sedikit terkejut.
“Sengaja banget mau bikin ngga konsen, hm?” Jungkook lalu mencubit pelan pipinya, “Ngga, aku cuma mau tanya kenapa kamu pertahanin hubungan kamu kemarin, padahal kamu udah tau lama kalo dia ngga bener?”
Jimin bergerak pelan di posisinya, meletakkan satu telapak tangannya pada perut six packs Jungkook dan merabanya pelan, “Aku juga bingung jawabnya gimana, tapi kayanya lebih ke pengen tau aja dia mau sampe sejauh apa, sefatal apa. Mau lihat gimana kelakuan dia kalo di depanku. I was questioning myself too, kenapa aku mau-maunya pertahanin- dari yang awalnya sakit hati sampe udah mati rasa- ya udah, gitu aja.”
“Terus, sekarang perasaan kamu sendiri gimana? Maksudku, kamu udah berapa lama sama dia, terus harus tiba-tiba selesai kaya gini, apa kamu ngga takut nyesel ada yang belum diselesaiin?” Jungkook lalu menjeda kalimatnya lalu berucap pelan, “Atau mungkin masih ada rasa?”
“Kalo soal perasaan, aku udah lost respect sejak pertama aku tau dia ngga bener, Kook. Sebenernya aku bisa aja confront dia dari awal- dan mungkin kalo dari dulu aku begitu dia juga ga sejauh ini. Tapi waktu itu aku masih mikir panjang karena dia baru naik jabatan di kantornya. No one expected, kan? Ternyata emang udah ngga bener dari awal. Salah satu selingkuhannya itu udah ada affair sama dia dua bulan setelah officially committed to me, dan si Wonwoo- selingkuhannya yang pertama ketahuan di aku itu pun kerja di tempat yang sama sama dia.”
Jimin menyeringai kecil lalu menggelengkan kepalanya pelan, “Jadi kalo sekarang kamu nanya soal perasaan, emang udah ga ada sama sekali kecuali benci? Jijik? Kecewa? All the bad feelings I have towards him are real. Sekarang kalo disuruh jujur, aku lega. Kaya ‘kenapa ga dari dulu aja gue lepas?’, tapi at the same time kayanya kalo ga kaya gini jalannya, aku ga bakal ketemu kamu.”
“Kenapa gitu?” tanya Jungkook bingung.
“Kalo malem itu Hoseok sama Yuna ga bilang kalo Tae selingkuh lagi, aku ga bakal pergi minum sih. Kalo ga pergi minum, ga ketemu kamu dong?”
“Siapa bilang gitu?” tanya Jungkook sambil tertawa kecil, “There’s more way to find you. Cuma keadaan kemarin bikin ketemunya lebih cepet aja. And now I’m forever grateful because it doesn’t take too long for you to be mine since that day.”
Jungkook menundukkan wajahnya, menggesekkan puncak hidung bangirnya dengan hidung milik Jimin pelan, “I love you.”
Satu kecupan hangat itu Jungkook berikan kepada lelaki cantik yang tengah tersipu, “You’re so beautiful, Park Jimin…”
Kali ini Jimin menyambutnya, menangkup wajah Jungkook dengan satu tangannya, menyapukan pelan bibir manisnya di atas bibir milik kekasihnya. Ciuman yang keduanya bagi itu hangat, tanpa dihiasi nafsu sedikitpun. Jungkook memang tak bisa memaksa Jimin untuk dengan segera membalas perasaannya, namun ia tahu bahwa ia tak butuh waktu lama untuk mendapatkan apa yang ia mau.
Park Jimin.
“Heaven…” bisik Jungkook saat nafas keduanya sudah kembali beraturan, “You’re my heaven.”
Jungkook lalu bergerak pelan, melepas satu tangannya dari tubuh Jimin dan meraih sesuatu di atas nakas, “Nih, simpen buat kamu.”
Jimin yang matanya mulai sayu karena rasa lelah dan kantuk itu menatapnya heran, “Itu apa? Black card? Ga perlu, Kook, aku juga punya.”
Jungkook lalu tertawa kecil mendengarnya, menggelengkan kepalanya pelan lalu mengusap beberapa helai rambut yang menempel pada kening kekasihnya, “Nanti, black card-nya nanti aku kasih. Tapi hari ini, ini dulu ya?” Jungkook lalu menyodorkan sebuah kartu berwarna abu-abu tua dengan aksen emas untuknya, “You can come home whenever you want. I’ll let my guards know, and all of my staffs will know your name start from tomorrow. You have free access to enter my house- and everything in it, and you can visit me in my office- whenever you want, I’ll let you in.”
Jimin terkejut di tempatnya. Mulutnya sedikit terbuka, namun tak mengeluarkan sepatah kata pun karena bingung. Ia lalu kembali menatap Jungkook dengan heran, memiringkan kepalanya dengan maksud bertanya apa alasan dari lelaki itu memberinya kartu akses rumah miliknya.
“Ini- kenapa kamu kasih aku ini?”
“Ya, biar kamu bisa datang kapan aja?” jawab Jungkook sederhana.
“Iya, paham. Tapi apa ga kecepetan, Kook? I mean, we just know each other- and okay, we had sex- amazing ones, tapi kalo untuk ini apa ga terlalu terburu-buru?”
Jungkook lalu sedikit bergerak untuk memposisikan tubuhnya untuk berbaring menghadap Jimin, meletakkan satu tangannya untuk menyangga kepalanya dan satu tangannya yang bebas bergerak pelan mengelus pinggang ramping milik Jimin, “Kalo ngomongin soal buru-buru, aren’t we too in rush to be in a relationship too?”
Jimin terdiam dan mengangguk pelan di hadapannya, “Iya juga…”
“Tapi aku ngga ngerasa itu sebuah masalah, Ji. Kita bisa jalan pelan-pelan, sambil saling kenal lebih jauh lagi meski dari awal kita udah terlalu ngebut. We can set our pace now, together. Soal akses rumah juga kantor aku ngga mau dibilang terburu-buru juga, I just want you to feel safe everytime.”
Jungkook mengulas satu senyum tipis di wajahnya, lalu mengelus pelan pipi Jimin yang merona dengan punggung jarinya, “Terlebih dari dia-” Jungkook menggerakkan kepalanya ke samping, memberi kode kepada Jimin yang mengerti betul akan maksudnya, “Aku ngerasa ngga nyaman kalo kamu masih diganggu dia sampe ke rumah kaya gini.”
Jimin lalu tersenyum lega. Hangat hembusan nafasnya dapat dirasakan dengan jelas oleh Jungkook di kulit tubuhnya. Jimin lalu bergerak maju, meletakkan tangannya pada pundak lelaki itu dan memeluk tubuh besar yang menjadi tempat favoritnya yang baru, “Makasih, ya. Aku ga pernah dapet kepercayaan sebesar ini sebelumnya, Kook. Sebelum sama Taehyung juga aku belum pernah segini dipercayanya untuk megang kunci rumah pasangan sendiri. This is new for me. Jadi kalo aku masih banyak clueless-nya, enlighten me ya?”
“I’m the one who doesn’t know anything about relationships, so you’re the one who should enlighten me.” Jungkook lalu membalas pelukannya, mendekap erat lelaki cantik yang tak bosan-bosannya ia akui sebagai miliknya. Ia memejamkan matanya, menikmati hangatnya pelukan Jimin di tubuhnya.
“Soal Taehyung, aku janji bakal cepet nyelesaiin semuanya. Aku janji ga bakal bikin kamu khawatir soal dia lagi setelah ini. He should stay on his lane. Lagipula, aku udah punya kamu. There’s no place in my world for him.”
“Good to know that.” gumam Jungkook sambil tersenyum lugu bak anak kecil yang bangga dengan mendengar validasi tersebut, “There’s no one else in your world. It’s just me, and only me.”