Unspoken Words

raine.
5 min readApr 12, 2024

--

“Lo kacau banget, Na.” ucap Raymond sesaat setelah menyerahkan segelas teh hangat kepada Arkana yang sudah sampai di kediamannya.

“Parah sih, haha!

Tawa itu Arkana tujukan untuk dirinya sendiri, menertawakan keadaannya yang berubah seratus delapan puluh derajat dalam sekejap mata. Senyum tipis yang terpatri di wajah cantiknya itu jelas terlihat tak tulus, mungkin hanya untuk membuatnya tak terlalu terlihat berantakan di hadapan sahabat sekaligus saudara sepupu dari sosok yang menjadi sebab dari kekacauannya.

“Sebelum lo nyampe sini, Kaivan sempat call gue, Na.” ungkap Raymond pada Arkana yang tengah melamun, “Dia liat lo masuk ke mobil cowok.”

“Iya, dia juga ada chat gue tadi, kayanya dia emang udah di lobi apartemen gue tadi pas gue pergi.”

“Lo gak liat dia?”

“Ga ada, pikiran gue udah ga fokus pas tau dia mau ke rumah gue disaat kondisi gue kaya gini,” Arkana kembali tertawa kecil, “Udah mulai ga waras gue, Ray.”

Tepukan ringan Arkana dapatkan di pundaknya dari telapak tangan hangat Raymond, “Gue gak tau gue harus gimana sih, Na. Karena sejujurnya tanpa ngeliat lo kaya ini gue udah bisa nebak ending dari hubungan gak jelas lo berdua. Cuma gue gak expect kalo lo bakal sekacau ini.”

“Nebak gimana? Kalo gue bakal catching feelings duluan, gitu?” tanya Arkana padanya.

Ray mengangguk pelan, “Kinda?” Ray lalu meletakkan gelasnya di atas nakas, “Gue tuh udah belasan tahun kenal lo, Na. Lo tuh paling gak bisa ngejalanin sesuatu yang gak pasti. Lo paling anti sama hubungan tanpa status, terus sekarang sama Kaivan lo ngejalanin itu, dengan dalih kalo lo bakal oke aja karena it seems fun at the beginning. Tapi lo lupa kalo itu bukan gaya lo.”

Arkana terdiam, tampak berpikir sejenak dengan apa yang diucapkan sahabatnya.

“Gue juga gak bakal nyalahin lo ataupun Kaivan di sini, karena ya mungkin menurut perspektif lo berdua, gak ada yang salah karena kalian ngejalaninnya secara sadar. Tapi emang no-string attached isn’t for everybody, Na. Gue tau Kaivan gimana karena dari anak itu lahir gue udah bareng dia. Kaivan memilih no string attached karena emang dia sulit buat maintain hubungan serius sama orang lain. You know, old money problem; everyone will try to interfere into your affairs.”

“Gue juga ga ada rencana buat jatuh hati sama Kaivan, Ray. Ini di luar kuasa gue,” ucap Arkana jujur, mengakui perasaannya pada Kaivan, “Gue juga kaget waktu gue sadar kalo urusan gue sama Kaivan udah bukan perkara urusan nafsu. Gue tau mungkin emang salah gue yang dari awal sok denial bahwa gue ga akan baper as long as kebutuhan gue sama dia terpenuhi, as long as we had fun together. Terlebih lagi dengan dia yang ngebebasin gue mau ngapain aja, as long as urusan itu gue cuma sama dia. Gue yang terlalu senang, sok merasa spesial dengan perlakuan Kaivan ke gue yang gue rasa memang khusus ditujukan buat gue as his partner, not only as his sex partner. Gue yang salah tangkap sinyalnya, Ray.”

“Ini bukan waktunya buat nyalahin diri, Na.”

“Terus gue harus gimana, Ray? Lo liat sekarang gue sekacau apa? Hati gue sakit, masih ga terima dengan apa yang lo kasih tau ke gue kemarin kalo Kaivan dijodohin, padahal gue sadar diri kalo gue bukan siapa-siapanya dia, gue ga punya hak untuk marah- bahkan untuk nanya ke dia aja gue ga berani.”

Arkana memijat pelan kepalanya, berniat untuk sedikit meredakan sakitnya di sana. Namun hal itu tak terlalu membantu sebab ia kini tahu pusat sakitnya bukan dari sana.

“Dijodohin kan belum berarti Kaivan bakal nerima, Arkana. Ini bukan kali pertama dia dijodohin. Kan lo tau kalo dulu dia juga pernah nolak perjodohan pas awal mula lo deket sama dia?”

There’s no feeling involved at that time, Ray. Gue ga masalah saat itu karena it was just sex at that time so it was nothing to lose for both of us.

Raymond terdiam dengan mata yang masih menatap ke arah Arkana, merasa iba dengan keadaan sahabatnya, “I fully understand, Na. Tapi gak ada yang terlambat sekalipun sekarang lo kembali disadarkan dengan keadaan dia yang ternyata bisa tiba-tiba bikin lo kepikiran kaya gini. Malah menurut gue Kaivan emang bakal turn down the marriage offer, gue hapal banget sama adik gue sendiri. Lo apa gak kepikiran buat ngomong aja ke Kaivan? Setidaknya buat memperjelas posisi lo aja, or yes, for both sides’ sake?

Arkana menarik nafas panjang, lalu menghelanya perlahan sebelum kembali melanjutkan percakapan mereka, “Gue pura-pura nyangkal semuanya belakangan ini dengan harapan yang sederhana; I won’t lose something between us, apapun itu. Gapapa kalo dia mau minum sama other girls and boys, gapapa kalo dia mau party sampe subuh asal dia tetap ngabarin gue sebelum private time-nya. Gue ga masalah kalo dia ga tau soal perasaan gue yang entah kapan munculnya ini selama dia tetap bakal balik ke gue, Ray. Gue takut dia ngejauh ketika dia tau karena emang dia udah negasin dari awal kalo dia gamau repot dengan titel ‘pacaran’ dan gue sangat menghargai itu. Toh, gue juga menyanggupi dari awal karena gue pikir gue butuh afeksi itu. Gue butuh temen yang ga akan menjadi hakim di setiap cerita gue, tapi gue juga butuh sosok yang juga ‘menginginkan’ gue sama besarnya dengan rasa ingin gue ke dia. Dan gue dapatin itu semua di Kaivan, Ray. Seketika gue lupa dengan ‘siapa’ dia sebenarnya, karena di mata gue dia cuma manusia biasa yang ternyata juga butuh teman. Gue diem, gue ga ngomong soal ini semua itu sederhananya cuma karena gue ga sanggup kalo harus kehilangan walaupun gue tau dari awal dia bukan milik gue.”

Arkana menjeda kalimatnya, berusaha menenangkan dirinya yang mulai dikuasai emosi yang sulit untuk ia tahan, “Reaksi gue berlebihan untuk ukuran orang yang baru dengar soal perjodohan itu, Ray. Gue tau, gue sadar. Tapi hal itu justru bikin gue semakin ketampar sama kenyataan kalo selama ini gue hidup di dalam cerita dongeng romansa yang gue ciptain sendiri- cerita manis yang ga ada akhir lain selain bahagia sama tokoh sesempurna Kaivan. Gue lupa dengan kenyataan bahwa gue dan Kaivan datang dari latar belakang yang jauh berbeda, gue cuma pekerja biasa yang bahkan hidup dari gaji yang Kaivan kasih ke gue. He’s standing on top of the Empire State with all of his fame and wealth when all I can do is just laying my body on the streets while staring at him. Gue yang ga sadar diri kalo rasa kagum gue terhadap atasan gue sendiri udah berubah. Jauh sekali…”

Manik sabit milik Arkana itu kini dipenuhi dengan air mata yang menggenang, air mata yang siap jatuh kapan saja- dan Ray dengan sigap kembali menenangkannya. Pelukan Ray menghangat seiring dengan semakin bergetarnya tubuh ringkih Arkana yang menumpahkan emosinya. Nafasnya mulai sesak, mulai tak beraturan karena tak mampu menahan diri untuk tak meledak karena isi pikirannya sendiri.

“Gue ga siap untuk patah hati bahkan sebelum gue memulai semuanya, Ray. Gue ga siap kehilangan disaat gue bahkan belum bisa memiliki, sementara hati dan dunia gue udah diambil duluan sama dia tanpa dia sadari...”

--

--

No responses yet