Untold Stories

raine.
6 min readJul 14, 2022

--

Waktu sudah menunjukkan pukul tujuh lewat empat puluh lima menit saat Eijaz dan Ghaffar tiba di depan kediaman milik Eijaz yang sudah dihapal arahnya oleh Ghaffar dengan mudah. Ghaffar memarkirkan mobilnya dengan rapi, dan setelahnya Eijaz dengan cepat membuka seatbelt-nya dan keluar dari mobil. Setelah menghabiskan waktu berbelanja bersama, kini keduanya berjalan dengan membawa kantong berisikan hasil belanja mereka.

Suara tawa dua anak adam itu masih menggema, terdengar jelas jika keduanya memang sedang memiliki suasana hati yang baik. Eijaz membuka pintu dan mempersilakan Ghaffar untuk masuk, kemudian mengarahkannya ke arah dapur miliknya dan meletakkan seluruh belanjaan mereka di atas pantry.

Thanks ya, Ghaf udah mau direpotin.”

No worry, Kak. You can ask me for help anytime anyway, hehe…” Ghaffar menggaruk kepalanya yang tak gatal. Ia kemudian melepaskan maskernya dan memasukkannya ke dalam backpack berwarna hitam yang selalu ia bawa.

“Duduk aja ya, Ghaf. Biar aku yang masak.”

No, Kak. I can’t sit still and watch you from behind, ngga sopan rasanya. Let me be your little helper.” ucap Ghaffar seraya membantu Eijaz mengeluarkan barang belanjaan mereka.

You’re the giant helper, not the little one, Ghaf.” ujar Eijaz sambil terkekeh, “But you’re the cutest one.”

Eijaz lagi-lagi mengucapkannya dengan santai, dan lagi-lagi membuat Ghaffar kikuk di hadapannya. Lelaki muda itu secara tak sengaja menjatuhkan dua bungkus makanan ringan karena gelar yang Eijaz sematkan padanya.

Melihat hal itu, Eijaz hanya tertawa kecil. Sungguh, sikap Ghaffar yang seperti inilah yang membuat hatinya menghangat tak menentu.

“Easy, tiger! We still have plenty of time, don’t rush!” Eijaz dengan sengaja menggoda Ghaffar, “Kenapa nervous begitu, Ghaf? I just blatantly say that you’re the cutest one- which is a fact!”

“N-ngga terbiasa dipanggil b-begitu, Kak…”

“Cutie?” tanya Eijaz memastikan dan dijawab anggukan oleh Ghaffar, “But you’re cute!”

“Did I ever say that I can’t be cute?”

Eijaz mengibaskan tangannya ke arah Ghaffar, “Ga berlaku kalo sama aku. You’re the cutest in my eyes, period.

Ghaffar hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepalanya saat mendengar apa yang Eijaz katakan padanya. Ia tak memiliki kekuatan lebih untuk melawan, karena baginya, Eijaz yang seperti itu saja sudah sangat menggemaskan.

Eijaz dengan piawai mempersiapkan seluruh bahan-bahan untuk menu makan malam mereka berdua. Ia tak memilih menu yang memakan waktu, ia lebih memilih menu sederhana yang biasanya tak pernah gagal; carbonara pasta. Ia dengan cepat menyelesaikan masakannya, menata piring dan menuangkan minuman pada gelas yang sudah disiapkan oleh Ghaffar sebelumnya.

Eijaz kemudian tiba-tiba berjalan melewati Ghaffar kala mendengar ponselnya berbunyi. Sorot mata Ghaffar mengikuti ke mana Eijaz berjalan hingga lelaki itu berhenti di depan televisi dan mengambil ponselnya pada rak buku di sana. Ghaffar membiarkan Eijaz mengurus privasinya, sementara kedua matanya mengedar ke ruangan luas di hadapannya. Ia dapat melihat dengan jelas bahwa terdapat banyak piala dan berbagai macam penghargaan yang terpajang. Ada yang disusun rapi di dalam lemari, di atas rak-rak kayu yang terlihat cantik, juga ada yang ditempel di dinding. Ghaffar dapat melihat banyak foto-foto yang menampilkan Eijaz tergantung dengan jelas di sana. Ia tak berhenti, hingga matanya menangkap satu foto Eijaz yang terlihat begitu indah di antara semua foto yang ada di sana. Tanpa sadar, kedua kakinya melangkah untuk mendekati foto tersebut.

“That’s from a year ago, from my debut anniversary.” ucap Eijaz yang tiba-tiba sudah berdiri di sebelahnya.

“O-oh? Debut anniversary?”

“Iya.” jawabnya sambil tersenyum, “Udah siap tuh, yuk makan?”

O-okay, Kak…”

Ghaffar mengikuti langkah Eijaz dari belakang, terdiam dan tenggelam dalam pikirannya sendiri.

“Maaf ya, masaknya simple banget kalo dibandingin sama belanjaan yang tadi. But I feel confident in this menu, hope it’ll suit your taste.

Ghaffar mengulas senyum kepada Eijaz, “Makasih, Kak. Kelihatannya enak, smells good, too! Thank you for your effort…

“Ayo dicobain?” pinta Eijaz dengan antusias, “Let me know how it taste…”

Ghaffar menurut, ia kemudian mencicipi hasil jerih payah Eijaz hari ini. Kedua matanya membulat sempurna, ia kemudian kembali mencuri satu suapan ke dalam mulutnya sebelum mengacungkan dua jempolnya ke arah Eijaz, “Damn, Kak. You can be a chef! This one taste so good, I swear!”

“Jangan bohong!”

“No! I’m not a liar, I swear to God, Kak Eijaz.”

Keduanya bersuara tinggi, nyaris seperti sedang saling meneriaki. Tentu saja Eijaz percaya dengan apa yang Ghaffar ucapkan, hanya saja ia tak menduga bahwa reaksi Ghaffar akan se-epic itu. Ia kemudian mengangguk senang, tersenyum bangga dengan hasil masakan tangan mungilnya untuk tamu khusus yang datang bersamanya hari ini. Keduanya kemudian menikmati menu makan malam mereka sambil berbincang ringan, dengan Ghaffar yang sesekali mencuri pandang pada Eijaz yang menatap piringnya.

“Oh iya, Ghaf. Ntar mau ada temenku dateng sama produser- cuma mau nganterin sesuatu sih, kamu mau tunggu di sini aja apa di kamar tamu?”

“Produser? What he been doing?” tanya Ghaffar dalam hati.

Ghaffar memiringkan kepalanya bingung, “Kenapa harus di kamar, Kak? I can sit and wait here if you don’t mind.

Eijaz tiba-tiba teringat kala keduanya menyebut nama lengkap masing-masing tadi. Ekspresi Ghaffar yang tak terbaca membuat Eijaz semakin yakin bahwa lelaki itu memang betul-betul tak mengenal siapa dirinya. Ia seketika dilanda kepanikan, berusaha keras untuk menetralkan dirinya sendiri. Ia dapat merasakan bahwa Ghaffar kini sedang menatapnya- menunggu tanggapan darinya.

“Or I can go home instead…?” ucap Ghaffar pelan, tak ingin menyinggung Eijaz, “Aku ngga mau ganggu, if it’s important to you, then I’ll give you the privacy you need, Kak.”

Eijaz kemudian menarik nafasnya, menghembuskannya pelan dan mengambil satu tangan Ghaffar yang berada di atas meja, mengusap punggung tangan Ghaffar pelan dengan ibu jari miliknya.

You know, we decided to take this closeness seriously since days ago, we even confessed to each other kalo kita ternyata sama-sama punya rasa yang lebih dari sekedar temen biasa, kan Ghaf?” tanya Eijaz memastikan- dan Ghaffar menjawabnya dengan anggukan, “As per today, kita akhirnya sama-sama tau nama masing-masing; not only Kak Ei and Ghaffar, but Eijaz Javas Arsalan and Ghaffar Ozanich Kayana…

“From what I saw when I mentioned my name, you didn’t know who am I…” lanjut Eijaz pelan, melihat kedua mata Ghaffar yang masih terpaku pada matanya, “Iya kan?”

Ghaffar mengangguk pelan, “I-iya…”

Eijaz tersenyum, kembali mengusap pelan punggung tangan Ghaffar yang kini menggenggam tangannya erat.

“Ghaf, jujur, salah satu hal yang bikin aku berani sampe sekarang buat deket sama kamu itu karna hal itu; karna kamu ga tau aku siapa. And somehow it feels nice? I finally can ease my feelings, I can rest myself, I can find my peace with you, sampe akhirnya aku sadar, rasa nyaman itu justru cuma hasil dari perasaan asli yang waktu itu belum pernah aku ungkapin; that I like you- a lot.”

“Aku Eijaz, I sing- sometimes. Kamu udah lihat foto-fotoku tadi kan? That’s what I’m doing since years ago, Ghaf. You can find me in Google, I guess?” ungkap Eijaz pada akhirnya.

Eijaz menunggu tanggapan Ghaffar yang masih terdiam tanpa suara. Hatinya sedikit meringis kala ia dapat merasakan genggaman tangan Ghaffar padanya tak lagi seerat tadi. Ia baru saja hendak kembali membuka suara, namun niatnya terhenti kala suara bel pintu rumahnya berbunyi.

“Bentar ya, kayanya itu Hugo udah sampe.”

Ghaffar mengangguk pelan, membiarkan Eijaz menyambut tamu yang ditunggunya. Ia kemudian menyesap satu gelas wine yang disajikan di atas meja, merasakan rasa manis yang tertinggal di ujung lidah. Ghaffar mendengar suara-suara yang datang dari arah ruang tamu kediaman Eijaz. Ia kemudian beranjak dari duduknya, mengemasi piring kotor yang ada di atas meja makan. Tanpa diminta, ia berinisiatif untuk mencuci bersih seluruh peralatan makan yang baru saja terpakai, termasuk setumpuk peralatan masak yang tadi dipakai Eijaz. Ghaffar dengan cepat menyelesaikannya, dan hendak berjalan kembali ke meja makan untuk mengambil ponselnya dan berniat duduk di ruang tengah.

Namun langkah kakinya terhenti mendadak kala kedua matanya mendapati sosok sang kakak yang berada tak jauh dari hadapannya, saling menatap sama bingung dan kagetnya dengan ia saat ini.

“Ghaf?”

“Abang?”

Ucap dua bersaudara itu secara bersamaan, “Lo kok bisa di sini, Ghaf?”

“I- I told you before…”

“Ghaffar?” telinga Ghaffar menangkap suara lain yang memanggil namanya. Sosok itu berada di belakang Stefan, berjalan bersebelahan dengan Eijaz.

“Lo Ghaffar kan?” tanya Hugo padanya.

“I-iya? Siapa ya?” tanya Ghaffar bingung.

“Heh, lo kenal?” tanya Eijaz pelan pada Hugo.

“Ya kenal, anjir! Lo kan tau gue suka nonton boxing?” jawab Hugo pada Eijaz, “Lo kok bisa kenal gini, Jaz?”

“Hah? Boxing?” Eijaz menatapnya bingung, “Hubungannya apa?”

Hugo membulatkan kedua matanya dan mencubit lengan Eijaz pelan, “Jangan bilang lo ga tau dia siapa, Jaz.”

“Bentar, ini tuh maksudnya apa ya? Kenapa adek gue ada di rumah lo, Jaz?” tanya Stefan pada Eijaz, “Sejak kapan kalian saling kenal?”

“Adek lo?” tanya Eijaz dan Hugo secara bersamaan dengan ekspresi kebingungan.

“Iya, Ghaffar kan adek kandung gue!”

--

--