Weird Yet Exciting

raine.
8 min readJul 5, 2022

--

Ghaffar melajukan mobil kesayangannya beberapa menit setelah mendapat pesan dari Eijaz. Dengan cepat ia berangkat pergi menjemput Eijaz pada alamat yang diberikan lelaki itu. Entahlah, rasa senang yang dirasa tak wajar itu memang secara sadar dirasakan oleh Ghaffar. Ia yang tak pernah merasa demikian, merasakan hal baru hanya dengan berkenalan dengan seorang lelaki cantik yang menamai dirinya ‘Ei’.

Jarak yang ia tempuh nyatanya tak terlalu jauh. Jika saja tak diisi dengan dua kali lampu merah yang membuatnya kian tak sabaran, waktu yang ia tempuh mungkin bisa hanya lima belas menit untuk sampai di tempat yang ia tuju. Lingkungan sekitar sana terlihat asri, jauh dari kebisingan kota. Bisa dikatakan bahwa Eijaz tinggal di sebuah kompleks perumahan elit, terlihat jelas dari seluruh bangunan rumah yang ia lewati.

Senyuman manis khas wajah Ghaffar yang memperlihatkan gigi kelincinya itu terukir jelas kala netranya menangkap sosok Eijaz yang sudah berdiri di depan rumahnya. Ia kemudian menurunkan laju kendaraannya dan berhenti tepat di depan Eijaz.

Ghaffar dengan cepat turun dari sana dan berjalan ke arah Eijaz, “Halo, Kak. Lama ya nunggunya?”

“Hai, Ghaf! Engga kok, gue barusan aja keluar rumah, belum sampe satu menit sebelum lo dateng.”

Tentu saja Eijaz berbohong. Ia sudah berdiri menunggu kedatangan Ghaffar lebih dari lima menit dengan mata yang sibuk menatap ke arah jalan juga jam tangan yang memeluk pergelangan tangannya.

“Ah, syukurlah kalo gitu.” ucap Ghaffar dengan tak melupakan senyum yang dengan sekejap membuat wajah Eijaz kembali bersemu merah, “Kita pergi sekarang?”

“A-ayo!”

“Tapi belum pamit…”

“Eh? Pamit? Sama siapa?” tanya Eijaz yang menatap Ghaffar dengan bingung.

“Your parents? Or your siblings or any relatives?”

Ghaffar pikir tak akan ada hal magis lain yang terjadi setelah notifikasi Eijaz yang membuat hatinya riang- ternyata ia salah. Wajah Eijaz yang tersenyum lebar hingga tak menampakkan dua manik sabitnya itu kembali membuat seisi kepalanya lumpuh seketika.

Demi Tuhan, Ghaffar merasa sedikit pusing karena tubuhnya tiba-tiba merasa hangat.

“No need to, Ghaf. My parents are in Bergen, gue tinggal sama sepupu gue udah bertahun-tahun, tapi baru tadi sore gue anter ke bandara…” Eijaz tersenyum sambil memiringkan kepalanya, “No one’s here, Ghaf. Makasih ya…”

“Oh, I see… Makasih buat apa, Kak?”

“For being a gentleman, sopan banget sampe mau pamit kaya remaja, hahaha!”

Lagi, suara tawa yang membuatnya kecanduan itu lagi-lagi membuatnya kehilangan akal.

“I’m still young though, udah tua juga nanti bakal sopan, Kak.”

“You have to! All of us, sopan tuh berlaku selamanya. Dan untuk itu, makasih ya, Ghaf. Nanti kalo pas orang tua gue ke sini, dan lo masih mau jemput gue, I’ll let you in to ask their permissions.

“Noted, Kak.” Ghaffar mengacungi satu ibu jarinya ke arah Eijaz, tanda bahwa ia mengerti, “So, we go now?”

“Ayo!”

Tanpa disuruh, Ghaffar membukakan pintu mobilnya untuk Eijaz. Lelaki itu terdiam beberapa detik, berusaha memproses semuanya yang terjadi dengan cepat. Otaknya berkali-kali mengatakan bahwa Ghaffar melakukan itu sebatas karena mereka berteman, tidak lebih dari itu. Namun sulit bagi Eijaz yang sudah terlebih dahulu menyadari bahwa ia menaruh rasa yang lebih pada sosok lelaki yang sedang menatapnya itu.

Sialnya, Eijaz sendiri dapat merasakan seluruh tubuh hingga wajahnya memanas. Ia tak dapat menahan diri untuk tak tersenyum manis ke arah Ghaffar, “M-makasih ya, Ghaf…”

“I-iya, Kak…” Ghaffar juga total salah tingkah hanya dengan melihat wajah Eijaz yang indah itu tersenyum kepadanya. Satu telapak tangannya melindungi kepala Eijaz agar tak terbentur saat lelaki itu masuk ke dalam mobilnya. Basic manner yang diajarkan oleh kedua orang tuanya dan Stefan.

Ghaffar berlari kecil untuk segera masuk menyusul Eijaz ke dalam mobil. Senyumnya merekah lebar tatkala melihat Eijaz yang sudah menempatkan diri dengan nyaman di sebelahnya.

“Drive safely, Ghaf. Jangan banyak melengnya…”

Eijaz bermaksud untuk menggodanya, namun ternyata hal itu dengan cepat membuat Ghaffar kembali salah tingkah seolah-olah Eijaz sedang menyindir dirinya yang terus mencuri pandang ke arah lelaki yang berada di sebelahnya.

Perjalanan keduanya bisa dikatakan cukup jauh karena toko buku yang mereka tuju berada di pinggiran kota. Eijaz yang sudah sejak lama menyukai hal tersebut tak sengaja bertemu dengan Ghaffar di salah satu toko buku yang sering dikunjunginya. Eijaz berusaha untuk menetralkan laju debaran jantungnya yang dibuat tak tenang karena harus terjebak bersama lelaki yang mencuri perhatiannya- hanya berdua, di dalam mobil. Ia lalu sibuk menyanyikan beberapa lagu yang terputar otomatis dari playlist milik Ghaffar- yang tentu saja bukan lagu miliknya sendiri.

“What a beautiful day…” Gumam Ghaffar di sebelahnya.

“Hah? Lo ngomong apa?” tanya Eijaz yang tak mendengarnya dengan jelas.

“Ah, nothing.” Lagi-lagi Ghaffar tiba-tiba tersipu malu, “Ngga ada apa-apa, Kak Ei.”

Keheningan kembali tercipta di sana. Eijaz yang mulai kebingungan untuk mencairkan suasana itu sedang berpikir untuk membuka topik obrolan dengan lelaki pendiam itu.

“Yang lo baca waktu itu, belum selesai ya Ghaf?” tanyanya pada Ghaffar, merujuk pada buku di mana ia menyelipkan selembar kertas yang membawa keduanya sampai di hari ini.

“Sudah, Kak.”

“Terus, hari ini ke sana mau baca buku baru lagi?”

“Ngga, I want to spend my time there, I guess? Seneng aja jalan-jalan di daerah sana. Too beautiful to be missed.”

Sebuah ide kemudian terlintas dengan cepat di kepala Eijaz, “Eh? Gimana kalo kita jalan-jalan aja? Ga usah ke toko buku, just enjoy the whole view, gimana menurut lo?”

Senyuman Ghaffar terlebih dahulu tertangkap oleh kedua manik sabit Eijaz sebelum yang lebih muda menjawab, “Brilliant idea! I know a beautiful place around there, Kak Ei mau ke sana?”

“Serius? Mau!” Eijaz tak menyadari nada suaranya yang tiba-tiba meninggi karena antusias, “Tapi ini lo bukan mau culik gue kan?”

“Loh? Ya engga, Kak. Ngga gitu! Aku bukan penculik! Aku bukan orang jahat!” ujar Ghaffar yang terdengar panik, ia dengan cepat menggoyangkan sebelah tangannya agar Eijaz lebih percaya, “We might don’t know each other’s yet, but I can guarantee that I’ll never hurt you, Kak…”

Ghaffar dengan sejuta pesona yang kembali membuat hati Eijaz luluh karena keluguannya.

“Damn, boy, we just met three times but you could make me crazy this much…” ucap Eijaz dalam hatinya.

“I know, Ghaf. Bercanda aja kok, I can see how good you are to me.

“Oh, thank God, I thought that you were serious…” Ghaffar menghela nafas lega setelah mendengar penuturan dari Eijaz yang ternyata hanya bercanda padanya.

Kedua anak adam itu akhirnya kembali melanjutkan perjalanan mereka. Tanpa terasa, mobil yang membawa keduanya ke tempat misterius yang dimaksud oleh Ghaffar. Mata sipit Eijaz terbelalak mengamati pemandangan yang terpampang nyata di hadapannya.

“Ghaf?”

“Iya, Kak?”

“How could you find this gem?”

Ghaffar dapat melihat jelas bahwa Eijaz sama terkesimanya dengan dirinya dahulu saat pertama kali mengunjungi tempat itu beberapa bulan yang lalu, “Just a random find, lagi muter-muter aja terus ngga sengaja ngelewatin tempat ini…”

“Pemandangan di sini cantik ya, Ghaf…” tutur Eijaz jujur dengan kedua mata yang terpaku pada pemandangan indah kota saat matahari hendak terbenam.

“Iya, cantik...”

Tidak. Ghaffar tidak sedang memandang pemandangan yang sama dengan Eijaz saat itu- karena bagi manik bambinya, Eijaz adalah pemandangan yang luar biasa cantik.

“Turun yuk?” ajak Eijaz pada Ghaffar. Beruntung ia dengan cepat mengalihkan pandangannya dari wajah Eijaz.

“I-iya.”

Dengan langkah ceria Eijaz bergegas keluar dari mobil dan berlari kecil ke arah taman kecil yang ada di sana. Ghaffar kemudian menyusulnya di belakang setelah memarkirkan mobilnya tak jauh dari sana.

Semilir angin sore yang bertiup itu menambah kesan indah terhadap apapun yang ada di sana. Ghaffar tak berhenti mengagumi sosok Eijaz yang sedang sibuk memotret pemandangan dari puncak bukit itu.

“Lo kok bisa ya secara random ketemu tempat sebagus ini?”

“I don’t know? I guess it’s my intuition that leads me into the beautiful places…” jawab Ghaffar dengan santai saat posisinya sudah berdiri di sebelah Eijaz.

“Termasuk toko buku tempat kita ketemu?” tanya Eijaz padanya.

“Iya, Kak.”

Seakan tersadar dengan jawabannya sendiri, Ghaffar menyadari bahwa pilihannya untuk secara random berkeliling itu justru membuatnya bertemu dengan hal-hal yang indah; termasuk Eijaz. Satu sudut bibirnya terangkat. Dengan cepat ia menundukkan kepala bermaksud untuk menyembunyikan ekspresi aneh yang mungkin saja sedang tergambar jelas di wajahnya. Namun hal itu justru menarik minat Eijaz yang tak sengaja menoleh ke arahnya.

“Hm? Kenapa, Ghaf? Ada yang aneh ya?”

“Ada.” jawabnya dengan singkat dan pelan, “There’s something weird that I just realized…”

“Apa? Kalo lo mau cerita boleh loh, gue bakal dengerin.” Eijaz dengan cepat memasukkan ponselnya ke dalam saku celana jeans yang dikenakannya.

Yang lebih muda itu dapat mendengar suara nafas Eijaz yang mulai memberat. Lelaki itu melihat Eijaz yang tiba-tiba merinding karena udara di sana mulai dingin.

“Pake ini, Kak.” Ghaffar memberikan jaket yang dikenakannya kepada Eijaz, “Aku kebetulan pake kaos tebal, jadi ngga gitu kedinginan.”

“Eh? Jangan ah, Ghaf. Gue masih tahan kok!”

“Kalo tahan ngga bakal kaya gitu…” Ghaffar menunjuk dua telapak tangan Eijaz yang sedang sibuk mengusap lengannya sendiri.

Merasa malu, Eijaz kemudian menerima jaket yang dipinjamkan Ghaffar padanya, “Hehe, makasih ya…”

Eijaz dengan cepat memakainya, merasa jauh lebih baik saat tubuhnya mulai merasa hangat kembali, “Mau lanjut cerita ga?”

Kembali menunduk, Ghaffar menjawab pertanyaan Eijaz dengan rasa gugup yang tiba-tiba menyerangnya, “I just curious about something, jadi ini lebih ke sesi tanya jawab sih ketimbang cerita. But if you feel uncomfortable with my questions, skip aja ya, Kak?”

“Iya, apa ayo coba tanya?”

“I talked to my brother yesterday, he said that I looked very happy lately. So I told him that I met a friend. Terus dia malah curiga…”

“Curiga kenapa?”

“Ngga tau? Dia bilang aku beda aja dari yang biasanya- lebih banyak senyum.”

“Bukannya itu malah bagus ya? Berarti temen kamu bikin kamu seneng dong?”

Ghaffar tersenyum kecil mendengarnya, “Iya, cuma dia curiga aja katanya aku bukan kaya orang yang seneng sama temen? I don’t even know yang dia maksud tuh apa?”

Eijaz terlihat sedikit berpikir, merasa sama bingungnya dengan Ghaffar, “Dia curiga karna lo senyum terus setelah lo ketemu temen lo ini?”

“Iya.”

“Emang senyumnya gimana, Ghaf?”

“Just an ordinary smile…? Gimana ngejelasin senyum sih, Kak?” Ghaffar bertanya sambil tertawa pelan, “Ya senyum aja?”

“Hahaha! Iya sih, maksudnya tuh kayanya lo senyum malu-malu gitu kali ya? Lo sendiri emang ngerasanya gimana waktu dia mergokin lo senyum begitu?”

“Weird.” Ghaffar menyuarakannya dengan pelan, merasa tak yakin dengan jawabannya sendiri, “Aneh sih, jujur. I just never felt that way before.

“Weird? That way?” Eijaz mengenyitkan dahinya karena bingung, “Maksudnya gimana sih? Coba pelan-pelan jelasin.”

Ghaffar menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya dengan perlahan, “Kak Ei pernah ngga kenalan atau temenan sama orang, then there’s excitement whenever you remember them, of simply when the notification popped up in your phone with their names in it?”

“Ya pernah dong, gue kaya gitu kalo tertarik sama orang sih.” jawab Eijaz dengan santai.

“Hm? Tertarik?” giliran Ghaffar yang kebingungan dengan jawaban Eijaz, “Tertarik gimana maksudnya, Kak?”

“Sederhananya; suka. Kalo gue lagi interact sama orang yang gue suka. biasanya bakal kaya gitu.”

“Suka?” Ghaffar semakin bingung, “Maksudnya suka ini tuh kaya jatuh cinta gitu, Kak?”

Eijaz tak mampu menahan tawanya setelah mendengar pertanyaan Ghaffar yang terlewat polos itu, “Iya, Ghaf. Kalo lo ngerasa seneng banget liat notif lo ada nama seseorang, kepikiran dia terus, terus lo deg-degan pas mau ketemu, atau ya lo ngerasa perut lo kaya lagi diserang kupu-kupu; it means that lo suka sama dia. Maybe it’s too soon to call it love, but you’re the one who know how it feels like…

“What feels like?”

“How the love feels like…” Eijaz mengulas satu senyuman hangat kepada Ghaffar yang menatapnya, “Kayanya lo lagi naksir seseorang sih ini, sama siapa hayo ngaku?!”

“Kak…” panggil Ghaffar pada Eijaz yang menjawab dengan kedua alis yang dinaikkan, tanpa melepas senyum yang sedari tadi menghiasi wajahnya.

“It’s you…”

“Hm? Apa? Gue kenapa?” tanya Eijaz yang menatap Ghaffar dengan bingung.

“The one who caused all of those weird yet exciting things to happen to me is you…”

--

--

No responses yet