Eijaz tiba di hotel tempat ia menginap dengan sepasang mata yang sembab, masih terlihat basah karena air mata yang entah mengapa tak berhenti mengalir meski ia telah berusaha untuk menguasai diri. Membaca isi timeline sosial medianya yang sibuk membicarakan sang kekasih- beserta cuplikan video juga gambar yang menampilkan dialognya dengan media. Hatinya hangat bukan main, tak paham mengapa bisa seorang sosok sederhana seperti Ghaffar mampu dengan cepat mengisi setiap sudut di hidupnya tanpa banyak usaha.
Kakinya melangkah dengan cepat setelah Hugo mengantarnya pulang menuju lift VIP yang membawanya ke lantai tempat suite room-nya berada. Jemarinya yang masih sedikit bergetar itu dengan cepat mengeluarkan access card dari sakunya, namun tubuh mungil itu justru tersentak kaget ketika pintu kamarnya terbuka tiba-tiba, menampilkan sosok Ghaffar Ozanich Kayana yang berdiri dengan senyuman manis yang terpatri jelas di wajahnya, menyambut Eijaz dengan kedua tangan yang sudah ia buka lebar untuk Eijaz.
“Come here…” pinta Ghaffar dengan suaranya yang lembut, membuat sosok mungil itu dengan cepat menghambur ke dalam rengkuhan hangat Ghaffar, “Sorry if I startled you, I ask Kak Hugo for the access card earlier.” ucap yang lebih muda sembari mengusap pelan punggung Eijaz.
“Hm…” Eijaz enggan bersuara, hanya sibuk menyesap aroma manis yang menguar dari tubuh sang kekasih yang dengan cepat menenangkannya jiwanya.
“Masuk dulu ya, Kak? I’ll take full responsibility for your tears, tapi di dalam aja ya?”
Masih enggan menjawab dengan vokal, Eijaz lalu mengangguk pelan tanpa melepas tautan tangannya pada pinggang ramping Ghaffar. Ia menarik nafas panjang dan kemudian merasakan hembusan hangat nafas Ghaffar di puncak kepalanya saat sang kekasih menempelkan pelan permukaan bibirnya di sana.
Tanpa pikir panjang, Ghaffar menggendong tubuh kecil Eijaz dan membawanya duduk di atas sofa yang terletak tak jauh dari keduanya. Eijaz masih tak bergeming, ia justru duduk nyaman pada pangkuan Ghaffar dan mengalungkan kedua tangannya pada leher sang lelaki dan menyurukkan wajah cantiknya di sana, mencari rasa nyaman yang selalu ia butuhkan.
“Kenapa nangis, Kak? Did I do something bad?” tanya Ghaffar lembut.
“Ga ada, cuma emang aku lagi cengeng kali ya? Ngeliat interview kamu tadi tau-tau ngerembes aja air matanya…” tutur Eijaz dengan suara lirih, “You’re so brave, Ghaf. Telling everyone about your story- and, those sweet, warm messages you’ve delivered to us all are just… so beautiful and powerful. I know you’re a strong man, but I never know until today that you’re the bravest one… My baby is the bravest person and I am proud of you even more…”
“You’re the biggest reason behind it all, you know it.” jawab Ghaffar seraya mengeratkan pelukannya pada tubuh mungil Eijaz, “Kamu yang ngedorong aku untuk kembali ngelangkah, Kak. Kamu yang bikin aku berani untuk duduk di sana and said those messages. Harusnya kamu yang aku puji habis-habisan.”
“I did nothing.”
“Mungkin bagi Kakak it’s nothing, but it’s everything to me.”
Eijaz mengangkat wajahnya, menatap wajah tampan Ghaffar yang tak henti tersenyum padanya, “Ghaffar, kamu tau ga kalo kamu juga punya arti kaya gitu? You’re everything to me too…”
“I know,” jawab Ghaffar seraya menyampirkan rambut Eijaz yang menutupi kening dan wajahnya, “We’re on the same boat. We love each other and we can feel it through our bones. And I’m proud to be yours, Eijaz…”
Ribuan kupu-kupu kembali sibuk berterbangan di dalam perut Eijaz kala mendengar namanya disebut tanpa panggilan ‘Kak’ oleh lelaki yang sudah beberapa bulan menjadi sumber bahagianya. Sederhana, namun tak pernah gagal membuat rona merah dengan cepat mengisi paras indahnya. Ghaffar yang juga menyadarinya lalu mendekatkan jarak keduanya, mengusap pipi halus Eijaz dengan ibu jarinya sebelum menyatukan kedua labium mereka ke dalam ciuman hangat.
Eijaz tak ingin menjeda apa yang sedang terjadi di antara keduanya. Batinnya justru berdoa agar waktu terhenti saat ini juga, disaat ia dan Ghaffar bersatu dalam euforia cinta yang dirasakan keduanya. Ghaffar tahu apa yang dimau lelakinya, maka yang dapat ia lakukan hanya memberi apa yang Eijaz inginkan- menenggelamkan diri pada tiap sentuhan hangat yang mampu membuatnya kehilangan akal.
“Kamu flight jam berapa besok?” tanya Eijaz sembari memainkan rambut Ghaffar yang terurai bebas di atas pahanya, “Aku boleh nganter ga?”
“Boleh, Kak.”
Mendapatkan izin, kini kening Ghaffar menjadi sasaran empuk kecupan manis dari Eijaz yang tanpa henti menunjukkan afeksi kepadanya, “Tapi kalo aku nangis di bandara gimana?”
“I’ll hug you.” janji Ghaffar pada Eijaz.
“Kayanya ga cukup deh kalo cuma peluk?”
“I’ll kiss those tears away, air mata ngga cocok buat Kakak yang jauh lebih cakep waktu lagi senyum kaya gini.” puncak hidung Eijaz menjadi sasaran jahil ujung jari telunjuk Ghaffar yang menggodanya, “I’d love to see those smile more in the future.”
Lagi, kalimat cheesy yang harusnya tak membuat Eijaz tersipu itu dengan sukses membuat jantungnya kembali berdebar kencang.
“I really don’t know that you can be this bold, Ghaf…”
Lelaki yang tengah memejamkan matanya itu kemudian terkekeh kecil mendengar komentar Eijaz terhadapnya. Ia lalu mendongakkan kepalanya, menatap Eijaz yang masih tersipu malu, “I can be bold and bolder if you allow me to. You can choose which side you like more.” ucap Ghaffar seraya mengedipkan sebelah matanya ke arah Eijaz- dengan sengaja menggoda sang kekasih yang makin tak karuan di tempatnya.
“I can see you blushing so clearly, Kak. Aku jadi ngga sabar untuk nyaksiin Kakak blushing setiap hari kalo kaya gini terus…”
Eijaz tak mampu menahan dirinya terhadap sikap Ghaffar yang terlalu manis padanya. Jemarinya menyisir pelan rambut hitam halus Ghaffar, mengusap kepalanya pelan. Lelaki yang berbaring di atas pahanya itu kemudian kembali menutup matanya, menikmati sentuhan lembut tangan Eijaz pada kepalanya.
“Kak?” panggil Ghaffar tanpa membuka matanya.
“Iya?”
“Doain aku lancar tandingnya lusa, ya?”
Eijaz tak tahu mengapa permintaan sederhana Ghaffar itu justru membuat hatinya menghangat seketika. Kedua sudut bibirnya terangkat seiring dengan belaian lembut tangannya yang masih sibuk menyentuh sang lelaki penuh kasih.
“Biasanya sebelum tanding, aku pasti pamit sama minta restu Mama sama Papa juga Bang Stefan- dan ke Mason juga lewat doa malam. Ini kali pertama aku punya someone special selain mereka berempat, jadi aku pengen Kakak doain aku juga. Doain aku ya, Kak?”
“You don’t need to ask for something like that, sayang. Aku udah doain kamu tanpa kamu minta. You got my blessings too- walaupun aku sedih karena ga bisa hadir langsung buat dukung kamu, tapi aku selalu dukung jagoanku. Kamu jagoanku, Ghaffar Ozanich Kayana, you’ll win no matter what. You’re the champion.”
Bibir tipis Ghaffar lalu membentuk senyuman hangat yang ikut menenangkan hati Eijaz yang sedikit gundah, “Honestly I’m a bit sad too, tapi aku juga tau kalo Kakak pun sebenernya ngga berani kalo nonton langsung, jadi nanti tunggu aku pulang dan aku menang, aku tagih hadiah khusus dari kamu, Kak.”
“Menang atau belum, kamu pasti dapat hadiah dari aku, Ghaf. Just- please, comeback safe and sound, okay?” pinta Eijaz dengan suaranya yang lembut, “You already a winner for me, sayang…” bisiknya kemudian sebelum mengecup lama kening Ghaffar, “You’re always the winner from the start…”