you’ve taken all you can bear, alone.

raine.
11 min readFeb 15, 2025

--

cw // this story contains sensitive topics about LGBTQ+, so please, be wise ❤

“Thanks ya, Dim. I really had a good time in here.” ucap Damian pada Dimitri yang tengah sibuk menonton TV sedari pulang kerja tadi, “Berasa berkurang banyak banget kejenuhan gue selama beberapa tahun ini. Ternyata bener, libur itu perlu.”

Lo emang terlalu ambi kalo kata Mama,” Dimitri lalu terkekeh, “No need to thank me, Kak. Me and Bam had a good time too.”

Of course I have to thank you, kalo nggak di sini gue bisa jadi gembel. Makasih udah numpangin gue tinggal di sini selama cuti.”

“Nambah lagi ngga?” tanya Dimitri tiba-tiba.

“Apanya?”

“Cutinya.”

Damian terkekeh pelan, “Maunya sih nambah, tapi gue tetap harus kerja.”

Yang lebih muda lalu mengangguk, “I see, but working in the company nowadays can be done remotely, right? Kenapa ngga WFH aja?”

Damian tampak berpikir sejenak sebelum menjawab, “Ehm.. I guess that’s possible? Nanti deh gue coba, tapi gue tetep harus balik ke Jakarta dulu buat handle projects. Abis itu baru deh gue pertimbangin buat ambil WFH. Tapi emang lo gapapa kalo gue recokin ke sini lagi?”

“Lo emang mau ke sini lagi?” tanya Dimitri kemudian.

“Loh? Lo nyaranin gue WFH bukan karena lo minta gue ke sini lagi?” Damian kembali bertanya dengan wajah bingung.

“Ya, kali aja lo ada tempat tujuan lain, Kak. Biasanya kan ada tempat atau negara lain yang pernah pengen lo datengin. Kalo lo balik ke sini lagi ya, gue seneng-seneng aja. Kan kalo ada lo, jadinya ada yang gue jahilin kalo di rumah lagi ngga ada Bam kaya sekarang.”

Seharusnya Damian sudah paham dengan sikap jahil adiknya, namun ternyata ia masih bisa tertipu dengan wajah tenang yang tampak serius itu.

“Lo harus bertanggung jawab dengan apa yang lo omongin tau, Dim. Kalo lo udah nyaranin gue buat ambil jatah WFH, terus one day gue apply ke kantor dan approved, lo harus siap nampung gue.”

Suara tawa kecil Dimitri itu lalu terdengar merdu di telinga Damian.

“Sekarang juga gue siap, Kak,” jawab Dimi cepat, “Lo ngga pulang sekarang juga gue fine.”

Ada rasa asing yang menyapa Damian kala kedua netra mereka bertemu saat Dimitri mengatakannya. Sorot mata bulat yang kini tengah memandangnya itu terasa hangat, dengan cepat turut membuat isi tubuhnya bereaksi atas hal yang sederhana. Damian yang sedikit terkejut itu lalu dengan cepat menguasai diri, tak ingin tenggelam di dalam kebingungan sesaat yang tak pernah ia rasakan sebelumnya.

Entahlah, mungkin Damian hanya terlalu merindukan presensi Dimitri dalam hidupnya.

“Yah, nanti deh tunggu gue kelarin project gue dulu, baru gue coba apply WFH.”

“Cool then.”

Usai mengangguk pelan, Dimitri kembali mengalihkan pandangannya, kembali fokus dengan televisi yang masih menayangkan film favoritnya sembari mengunyah potato chips kesukaannya. Sementara Damian kini kembali berpikir tentang hal yang baru saja terjadi padanya, juga hal yang sudah sejak lama bersarang di kepalanya.

Perasaan asing yang sedikit mengganggu batinnya.

“Lo kenapa?” tanya Dimi yang ternyata memperhatikannya, “Is there something wrong?”

“Hah? Eh? N-nggak kenapa-napa kok.”

Damian terbata, dan Dimitri menyadarinya.

“You’re thinking about something, I see…” Dimitri lalu meraih gelas whisky yang ada di hadapannya, menenggak minuman alkohol itu sebelum duduk menghadap Damian, “If you want to talk about it, let’s talk. Mumpung kita masih bisa ngobrol langsung, Kak.

Damian menoleh ke arah Dimitri yang sudah menunggunya untuk bicara, “Ngomong soal apa, Dim?”

Yang lebih muda lalu mengangkat kedua bahunya, “I don’t know, sometimes I feel like you’re putting distance on me. I tried to be positive — maybe you’re just missing home or thinking about your work, but, I don’t know, it just feels weird — or perhaps because we’ve just met after 5 years apart, no? Emang lo ngga ngerasa kalo lo rada ngasih jarak ke gue?

Damian lalu membalas tatapannya, tampak sedikit berpikir sebelum berucap dengan hati-hati, “Yes, maybe because it feels weird. Kita ga ketemu langsung udah lima tahun, ya walaupun tiap bulan tetap ada agenda vidcall berempat sama Mama Papa, rasanya tetap beda kalo ketemu langsung. Mungkin itu yang bikin gue rada awkward di hadapan lo sekarang.

“Understandable.” Dimitri mengangguk setuju.

“But — ”

“But what?”

“It feels… warm?” jawab Damian pelan, “I don’t know. Sometimes it feels like I’m going home whenever I see you. But the other time, it feels weird — not in a bad way.”

Dimitri kembali terkekeh, “Again, understandable. We’ve been living apart for most of our time, Kak. Living together for days couldn’t beat those years, and of course, it will be weird. I can feel that too. Tapi, apa ya? Something feels off, kayak ada yang miss it feels like you’ve been holding yourself.

Adiknya itu dengan tepat menyadarkannya.

Ya, memang ada hal yang ditahan Damian sejak awal, yang juga merupakan salah satu misi rahasia mengapa ia datang ke New York.

“Shoot it, Kak Dami. No need to worry, it’s just us in here.”

Damian dengan cepat meraih gelasnya, menenggak minuman keras itu sebelum kembali memfokuskan diri dengan Dimitri.

“Lo… Kenapa ga pulang, Dim? Kenapa lima tahun ini lo ga pulang, selalu nolak kerjaan kalo itu di Indonesia?”

Hal yang sudah lama ingin ditanyakannya itu akhirnya lolos dari mulutnya sendiri.

Seolah sudah lebih dulu mengetahui isi pikiran kakaknya, Dimitri tersenyum, namun belum menjawab karena Dami masih hendak lanjut bicara.

Sorry if I offended you with this sudden question , apalagi kalo ini ternyata sensitif buat lo — tapi gue cuma penasaran aja, karena sebelum-sebelumnya lo tetap pulang meskipun kerjaan lo lagi banyak. Tapi sejak lima tahun lalu, lo ga pulang sama sekali, dan yang bikin gue kepikiran adalah waktu gue sadar kalo lo nolak semua kerjaan yang mengharuskan lo untuk ke Indo, padahal waktu itu lo ada event di Singapore yang notabene sejengkal dari Indo.” Damian menatap Dimitri yang tenang, berusaha agar tak menyinggung perasaan adiknya, “Lo boleh cerita apapun ke gue, Dim. Dari dulu gue ga pernah ngasih jarak atau batasan, jadi please, cerita kalo ada yang ganggu lo.”

Dimitri kemudian kembali beralih ke gelas minumannya, sementara tangannya yang lain meraih botol yang berisikan whisky itu untuk kembali ia tuangkan hingga penuh pada gelasnya. Rasa pahit yang membakar tenggorokannya itu tak lagi membuatnya terkejut — sebab ia sudah biasa menghabiskan waktu dengan minuman keras yang kadang kala menjadi pelipur laranya ketika ia tak ingin mengganggu teman-temannya.

“You didn’t offend me at all, I actually don’t know if I’m ready for this — conversation. And, I don’t know if I’m ready to see the aftermath after this too. But since tonight is the last night you’re here, I guess it’s the perfect time — to finally talk about this...” Dimitri memainkan jemarinya di bibir gelas, memberi jeda untuknya memilih apa yang hendak ia akui selanjutnya dengan hati-hati, dan menyiapkan diri untuk segala sesuatu yang tak mungkin bisa ia putar kembali setelahnya. Dimitri kembali menyesap minumannya hingga habis, lalu berucap pelan,“I’m a bisexual, Kak Dami.”

Bagi Damian, waktu bagai terhenti saat itu juga. Damian tak mampu bereaksi sebab apa yang baru saja ia dengar ini jauh melampaui ekspektasinya selama ini. Tidak, bukan jauh. Namun memang tak pernah terbesit sedikit pun di pikiran Dami bahwa adiknya akan mengalami hal ini.

“It was five years ago when I discovered for the first time that I could catch feelings for — a man. He was a fellow talent in my previous agency. I don’t even really remember the details, but things escalated very quickly, I got closer to him, and, fuck, yep — we kissed. That was my first time with a man, and it didn't even feel so wrong. I felt the whole butterflies in my stomach and everything just felt right — until I realized I was in love, with a man…”

Dimitri berhenti, memastikan bahwa Damian masih mengikuti arah pembicaraannya. Kedua netra mereka lalu bertemu kembali kala Damian memberikan sinyal bahwa ia baik-baik saja. Dimitri meraih satu tangan kakaknya untuk ia genggam, menenangkan Dami yang sudah pasti terkejut dengan pengakuan tak terduganya.

I’m fine now, I can accept myself even after a long-time battle, and just live with it. That’s why people loved to talk shit about how careless I was, but in fact I was just living my life to the fullest here — being myself. And…” Dimitri kembali memberi jeda untuk menarik nafas, “Mama sama Papa udah tau kalo itu adalah salah satu alasan kenapa gue ngga mau pulang, Kak.”

Bak kembali ditampar kenyataan, Damian kembali bingung, “Apa?”

Anggukan pelan Dimitri yang masih tersenyum itu kembali membuat jantung Damian mencelos, “Mama sama Papa udah tau soal ini dari awal.”

“So it was just me who didn’t know it?” tanya Damian cepat, “Cuma gue yang ga tau soal lo selama ini, Dim?”

“Iya…”

Damian terperangah tak percaya, “Kenapa? Kenapa cuma gue yang ga lo kasih tau soal ini? Lo ga percaya sama gue apa gimana, Dim? Gue ini kakak lo apa bukan?”

Menyadari Damian yang mulai sedikit terguncang dan emosi, Dimitri lalu memajukan tubuhnya untuk mendekat, menepuk pelan lengan Damian untuk menenangkannya, “Of course you are my brother, Kak Dami. I just felt overwhelmed with everything that happened that day. The realization came out all of sudden — I couldn’t even prepare myself for it. The shocks, the fear, the thrill — everything came all at once and I didn’t know what to do with that. Gue bahkan ngga tau harus gimana, ngebayangin hari besok dengan sadar bahwa diri gue udah berbeda aja ngeri, Kak, apalagi ngebayangin bahwa hal ini bakal sulit diterima sama keluarga gue sendiri; terutama lo… It was really, hard. I messed up, and you’re the one that I hope least to know everything about it…

Sulit rasanya mencerna segala sesuatu yang baru saja disimaknya, namun Damian tak mengacuhkan adiknya. Baginya, rasa kecewa yang baru saja ia rasakan itu tak seberapa jika harus dibandingkan dengan bagaimana bingungnya Dimitri saat itu semua terjadi. Dimitri memang sosok yang pendiam, lebih suka memendam segala hal dan bertindak layaknya jagoan yang merasa mampu untuk menghadapi dunia. Namun jauh sebelum ini, Damian sudah paham bahwa Dimitri tidak selalu sekuat itu — terlebih ketika ia harus berhadapan dengan sesuatu yang tak mampu ia kontrol.

“Kenapa cuma gue?” tanya Damian pelan saat ia sudah bisa menguasai diri, “Kenapa cuma gue yang ga boleh tau soal itu?”

Dimitri tersenyum lalu menundukkan kepalanya, “You’ll know the answer when you can see yourself in the mirror right now, Kak.”

“Kenapa emangnya?”

“You scared me the most.”

Merasa bingung, Damian tak langsung menjawabnya. Ditatapnya wajah Dimitri yang masih sibuk memberinya waktu, memindai seluruh sisi wajah Dimi yang baru ia sadari terlihat — lelah.

“Gue ngapain sampe bikin lo ketakutan, Dim?”

Dimitri mengangkat wajahnya untuk kembali membalas tatapan sang kakak, “I’m scared of losing you, Kak Dami…”

Hati Damian kembali mencelos, kali ini lebih hebat dari sebelumnya, “Kenapa lo mikir kayak gitu, Dimitri? Kenapa lo bisa kepikiran kalo lo bakal kehilangan gue?”

“I don’t know. Losing the ones that I love always scared me the most. Hal yang gue alami juga bukan hal lumrah yang bisa diterima oleh semua orang, Kak. Wajar ketika gue ngerasa takut kehilangan lo, karena dari gue kecil, gue selalu ikut ke mana pun tangan kecil lo nuntun gue. Lo hidup di tengah kehidupan yang punya stigma bahwa being a bisexual — or even gay isn’t normal. You’re living the live that I always dreamed of; being a normal-successful person. Sementara gue, anak kecil yang selalu ngikutin lo itu ternyata jalan di jalur yang menurut banyak orang adalah jalur yang salah, gue takut semua orang bakal jahatin lo ketika mereka tau gue bisa suka laki-laki. Dan.. Dan gue takut setelah itu lo benci dan bakal ninggalin gue, Kak… That’s why I keep everything sealed until today.

Damian tak percaya dengan apa yang baru saja diucapkan oleh adiknya. Ia tak percaya bahwa Dimi bahkan mampu berpikiran dangkal tentang dirinya.

“Lo pikir gue serendah itu, Dim?” tanya Damian pada Dimitri dengan suaranya yang bergetar, “Lo pikir gue bakal dengan gampangnya ninggalin adek gue sendiri cuma karena hal ini?”

“That’s what I thought, Kak Dami.”

“Pikiran lo dangkal ya, Dim? Menurut gue, pikiran lo itu ga masuk akal.”

Dimitri lalu kembali terkekeh, namun Damian tahu bahwa Dimitri tengah menahan emosinya, “Menurut orang yang ngga ngalamin hal ini emang ngga masuk akal, Kak. But try to walking on my shoes once, lo bakal paham rasa takutnya seperti apa.”

“We’re family! How can I leave you?!” suara Damian meninggi, terdengar sedikit frustasi, “Lo adek gue, Dimitri. For years already, bukan baru kemaren?! Gue tau kalo kita ga ada hubungan DNA, we never bonded by blood since the day one. But I fucking love you more than I should. The society said that we’re step-siblings, but I never thought you were my STEP brother. You are my brother! And there’s nothing that could make you lose me, Dimitri. Jadi jangan sekali lagi gue denger soal ini. Paham?

Belum sempat Dimi menjawab, Damian sudah lebih dahulu memajukan tubuhnya untuk memeluk tubuh Dimitri yang terguncang— erat sekali.

“Gue sedih, sumpah. Sedih banget denger ini semua — but the saddest part is when you said that I’m the least to know everything about you, when the fact is I’m the one who always wanted to be the first one who knows everything about you,” Damian menarik nafas panjang yang terasa berat di telinga Dimi yang mendengarnya, namun Dimi tak mampu melakukan apapun selain membalas pelukan sang kakak, “Gue masih banyak kurangnya ya, Dim? Masih kurang perhatian dan sayang ya sama lo, makanya lo bisa sampe kepikiran kalo gue bakal jadi orang brengsek yang ninggalin lo cuma karena sesuatu yang udah terjadi di luar kontrol lo sebagai manusia? Maaf ya, Dimi. Maafin gue yang kurang becus ngejaga lo…”

Tanpa melihatnya pun Dimi tahu bahwa Dami menangis. Tubuh kecilnya bergetar di dalam pelukan Dimi, namun Dami enggan menjauh sebab rasa bersalah yang entah mengapa muncul secara nyata di dalam dirinya kali ini.

“Maafin gue karena ga bisa jadi orang yang bisa lo percaya buat ikut nanggung rasa sakit lo itu ya, Dim…”

“Stop saying sorry, Kak. You did nothing wrong.”

“Everything I did was wrong, Dim. I’m not a reliable brother for you…” ucap Damian lirih, mulai merasa ada pengaruh ketidakhadirannya yang turut membuat segalanya terjadi di luar kendali.

Dimitri lalu melepaskan pelukannya, menghapus jejak basah pada pipi Damian sebelum kembali berbicara, “Gue nyeritain ini semua bukan untuk bikin lo ngerasa bersalah, Damian.”

Untuk kali pertama, Dimitri memanggil nama depannya. Hanya nama depannya.

“Gue nyeritain ini semua karena gue rasa udah waktunya lo tau soal ini. Gue juga capek bertahun-tahun nyembunyiin ini dari lo. Gue juga pengen cerita ke lo soal relationship gue kaya lo nyeritain soal Anna ke gue — happily. Gue nyeritain ini semua biar lo paham, biar lo ngerti, biar lo ngga sibuk menduga-duga lagi, biar lo udah ngga heran ketika nanti lo ajak gue pulang, gue tolak lagi — because now you know one of the reasons why I don’t want to come home,” Dimitri menjeda kalimatnya, berusaha menguasai diri agar tak bicara lebih banyak dari ini, “Kalo lo minta maaf kaya gini terus, ketakutan gue jadi nyata…”

“Bukan gitu maksud gue, Dim…”

“I know, but, stop saying sorry. I hate it already…”

Damian tak lagi menyanggahnya. Ia memilih menunduk diam, menggigit bibir bagian bawahnya untuk menahan diri agar tak lagi berucap asal.

Keduanya terdiam untuk beberapa saat, membiarkan kesunyian mencekik mereka hingga sesak. Tak satupun mau memulai kembali pembicaraan, sebab keduanya menyimpan ketakutan sendiri tentang hal yang akan datang.

Untuk kali pertama, Damian merasa takut.

“Oke, gue ga minta maaf lagi, tapi dengan satu syarat,” Damian mengambil satu tangan Dimitri untuk ia genggam di atas pahanya, “Mulai saat ini, biarin gue tau semua hal tentang lo. Apapun hal yang lo alami, yang lo rasain, please, kasih tau gue, libatin gue dan jangan tanggung semuanya sendiri lagi, Dimitri. Biarin gue berperan penuh kali ini, Dim. And please, this time, no more secrets…

--

--

No responses yet